08 - Berpendirian Teguh

1365 Kata
Alea sadar, pria yang pergi bersamanya tampak acuh dan sengaja menjaga jarak. Beberapa kali Alea menoleh ke belakang untuk memastikan jika Bian tidak hilang. Karena pria itu tampak hanya sibuk dengan ponselnya. Alea tidak peduli dengan bagaimana pandangan orang padanya. Bahkan jika mereka akan menganggap Alea seperti gadis murahan karena terus berusaha menempel pada pria dewasa seperti Bian. Toh Bian sudah resmi menjadi suaminya. “Kamu lebih suka cumi atau udang?” Alea bertanya sambil menoleh. Ini adalah kali pertama ia bersuara, setelah hampir dua puluh menit berkeliling supermarket. Bian melirik showcase di hadapannya. “Terserah. Aku bisa makan apa saja selagi kau bisa mengolahnya dengan benar,” jawab Bian. Alea berdecak. Ingat kembali pada kejadian di mana Bian menolak hasil makanannya. Dari sana ia menyimpulkan jika Bian termasuk orang yang suka pilih-pilih makanan. “Udang sama cumi, doyan dua-duanya, kan? Lalu kalau ikan, lebih suka ikan apa? Biar sekalian aku belanja buat dua minggu ke depan nih,” Alea kembali bertanya. “Aku tidak suka lauk hewani yang sudah berada di kulkas lebih dari tiga hari,” jawab Bian. Ternyata bukan soal pilih-pilih makanan saja. Namun, Bian memang tipe orang yang ribet, menurut Alea. “Terus aku harus belanja lauk hewani tiga hari sekali, gitu?” tanya Alea. Bian tak menjawab, memilih sibuk dengan ponselnya. Alea menghela napas panjang. “Kamu nggak lupa, kan, kalau aku masih berstatus sebagai mahasiswa dan harus kuliah juga?” Bian melirik malas ke arah Alea. “Bukan aku yang memaksamu menikah saat statusmu masih mahasiswa.” Alea kalah telak. Jika Bian sudah membahas soal alasan mereka menikah, maka jelas Alea lah yang pertama harus disalahkan. Alea memilih berpura-pura acuh, mengambil masing-masing satu wadah udang dan cumi, memasukkannya ke troli, kemudian kembali berjalan mendahului Bian. Setelah puas berkeliling dan mendapat beberapa jenis bahan makanan, Alea mengantre di kasir. Ia hanya menoleh sekilas kala melihat Bian berjalan keluar meninggalkannya. Sepertinya Bian malas ikut mengantre dan memilih untuk menunggu di mobil. “Totalnya tiga ratus dua puluh tujuh ribu, ya, Kak,” ucap kasir yang melayani Alea. “Ah iya,” jawab Alea. Ia segera mengeluarkan dompetnya. Benda yang pertama kali ia lihat kala itu adalah kartu debit pemberian Bian. Ia menimbang, apakah ia harus menggunakan kartu itu, atau uangnya sendiri. Dengan keadaan mereka yang seperti sekarang, rasanya Alea ragu untuk menggunakan uang milik Bian - meski isi belanjaannya hari ini juga akan mereka gunakan bersama. “Bagaimana, Kak? Mau cash atau-” “Cash aja, Mbak. Ini!” Alea memilih mengeluarkan uang cash miliknya, tiga lembar uang seratus ribuan dan satu lima puluh ribuan. Setelah menerima kembalian, ia pun segera membawa barang belanjaannya keluar. Meski tidak terlalu banyak, Alea cukup kesulitan membawa barang-barang itu. Ia pikir, mumpung ia pergi bersama Bian, ia bisa mendapat bantuan membawa barangnya sehingga ia juga membeli beras dan gula yang bobotnya cukup berat. Namun ternyata, harapannya itu tak terwujud dan kini ia malah merasa kesulitan sendiri. “Tahu begini hari ini aku nggak akan beli beras, biar belinya gantian aja kapan-kapan lagi,” gumam Alea, menyesali keputusannya. Alea harus berhenti beberapa kali, meletakkan belanjaannya, lalu membawanya lagi. Ia bahkan sempat hampir jatuh karena kesulitan membawa barangnya. Untunglah, saat itu ada seseorang yang menolongnya, menahannya agar tidak jatuh. “Eh? M- Makasih, Mas,” ungkap Alea pada pria yang menolongnya. “Nggak masalah. Kamu bawa barang sebanyak ini sendirian?” tanya pria itu. Alea hanya tersenyum tipis. Niatnya sih pengen dibantu Bian, tetapi akhirnya ia hanya menyusahkan dirinya sendiri. “Bawa mobil sendiri atau mau pesan taksi dulu?” tanya pria itu lagi. Alea mengernyitkan alisnya. Ia tidak tahu kenapa pria itu bertanya demikian. “Biar aku bantu bawanya. Tapi kalau kamu mau pesan taksi dulu, pesan aja sekarang! Aku tungguin,” lanjut pria tersebut. “Oh … aku pakai mobil sih tadi,” jawab Alea. Namun ia ingat, di dalam mobil itu ada Bian, dan Bian tidak akan suka jika ada orang yang tahu tentang status mereka. “Tapi aku bisa bawa ini sendiri, kok. Lagian mobilku udah nggak jauh dari sini. Sekali lagi makasih, ya. Kalau gitu aku dulu-” Ucapan Alea terputus karena keterkejutannya atas sikap pria yang tadi menolongnya. Dia mengambil sebagian barang belanjaan Alea dengan santai. “Kita belum kenalan, kan? Namaku Gio. Kamu?” Pria itu seenaknya malah memperkenalkan diri. “Aku kan udah bilang bisa sendir-” “Jadi nama kamu?” ulang Gio. Alea menghela napas panjang. “Alea.” Gio tersenyum. “Jadi mobil kamu yang mana?” Alea menatap Gio dengan tatapan memelas. Bagaimana ia harus membuat Gio mengerti kalau ia benar-benar tidak bisa menerima bantuan pria itu? Sedangkan Gio, ia masih memasang raut wajah santai, sabar menunggu jawaban Alea. Akkhirnya, Alea hanya bisa pasrah. Ia tidak bisa membiarkan Bian terlalu lama menunggu di mobil. Ia tidak ingin Bian marah. Toh, pria itu juga pasti menunggu di dalam mobil, dan Gio tidak akan melihatnya, kan? Alea berjalan duluan, menunjukkan letak mobilnya pada Gio. “Ini mobilnya. Udah, sampai sini aja biar nanti aku masukin sendiri. Sekali lagi, makasih ya,” ucap Alea. “Bisa?” “Bisa lah pasti. Nggak apa-apa, kamu pergi aja,” balas Alea. Gio mengulas senyum ramah. “Okey, nice to meet you, Alea.” Alea hanya membalasnya dengan seuntai senyum, membiarkan Gio pergi dari sana. Setelah kepergian Gio, Alea membuka pintu belakang mobil Bian. Ia memasukkan belanjaannya, sebelum bergabung dengan Bian di bangku depan. “Pantas lama. Mengobrol dulu sama teman kamu itu?” sindir Bian. Alea menoleh cepat, dengan kedua alis menukik. “Maksud kamu?” “Pria tadi.” “Oh … Gio?” Bian tersenyum miring. “Aku jadi penasaran sama rencana kamu yang sebenarnya.” “Kamu ngomong apa, sih, Bi? Rencana apa memangnya?” bingung Alea. Bian terkekeh. Ia tidak mau menjawab, dan langsung menyalakan mesin mobilnya, membawa mereka keluar dari area parkir supermarket. Sampainya di apartemen, Alea menghentikan Bian yang hendak berjalan duluan meninggalkannya. “Bi, aku nggak bisa bawa semua ini sendirian!” Bian menghela napas panjang. Dari raut wajahnya, pria itu tampak malas sekaligus kesal. Namun, kesal karena apa? Apa mungkin hanya karena Alea yang memberi kode agar ia mau membantunya saja sudah membuat Bian kesal? Atau karena ada hal lain? Bian berbalik. Ia mendorong pelan tubuh Alea yang menutupi pintu, kemudian segera mengambil tiga kantong belanja yang ada di jok belakang mobilnya. “Eh? Nggak usah semua juga kali, Bi. Yang itu aja, berat, soalnya isinya ada berasnya. Yang dua biar-” Ucapan Alea terpotong saat ia menyadari sorot mata dingin Bian yang tertuju padanya. Alea segera menjauhkan tangannya. “Ya udah gimana pengennya kamu aja. Bawa semua juga oke.” Setelah itu, pasangan pengantin baru itu pun segera meninggalkan area basement, menuju ke lift untuk tiba di lantai tempat unit mereka berada. Sampainya di apartemen, Alea langsung menyusun bahan makanan hasil belanjaan mereka di pantry. Sedangkan Bian langsung masuk ke kamar untuk membersihkan dirinya, sebelum pergi tidur. “Besok pagi mau aku masakin apa?” tanya Alea. Ia baru saja bergabung dengan Bian di kamar. Sementara pria itu baru saja keluar dari kamar mandi masih dengan wajah yang sedikit basah. “Terserah.” “Tapi janji bakal dimakan, ya! Lagian kayaknya hasil masakanku nggak buruk-buruk amat. Ke depannya aku juga akan belajar masak buat kamu,” ucap Alea. Ia mengatakannya sembari tersenyum. Meski hubungan mereka terbilang kurang baik, tetapi Alea masih ingin terus berusaha untuk memperbaiki keadaan. “Bi …” Alea memanggil saat Bian tampak acuh, dan malah berjalan ke arah pintu kamar. “Aku mau selesaikan kerjaanku di studio. Kamu tidur aja duluan!” kata Bian. “Studio kantor?” “Mini studio milikku,” jawab Bian. Ah … Alea hampir saja lupa jika ada sebuah studio kecil di unit apartemen mereka. Sebetulnya, ruang itu diciptakan untuk menjadi kamar berkonsep minimalis untuk anak-anak. Namun, karena selama ini Bian hanya tinggal sendirian, maka ruang itu Bian alih fungsikan menjadi studio kecil guna keperluan pekerjaannya. Ia juga sudah memasang peredam suara dan beberapa alat sederhana yang bisa membantunya bekerja. Sehingga saat ia malas pergi ke agensi, atau dalam keadaan yang kurang baik, ia tetap bisa memaksimalkan kreativitasnya. Karena bagi orang yang bekerja di bidang seni, terkadang ide bisa datang kapan saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN