Belum banyak yang dibaca dari n****+ yang dibacaya. Ada perasaan sedikit bosan. Padahal itu adalah n****+ dari penulis favorit kesayangannya. Seorang penulis wanita dari Amerika, yang mengusung cerita romantis ditemani intrik sebagai misteri yang menegangkan. Biasanya, Danica tidak akan bosan, bahkan ia akan lupa waktu.
Entah kenapa siang ini, ia merasa jenuh. Mungkin karena tujuannya membaca bukan untuk membaca agar sedikit relax sekaligus mendapat input baru, melainkan karena menunggu Agasta selesai bebersih diri.
Karena sudah benar-benar malas untuk melanjutkan ke halaman berikut, Danica meletakkan novelnya ke meja antik bulat, di sebelah tempat tidur. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dipannya dari besi.
Setiap gerakan akan menimbulkan bunyi berderit yang tidak enak, bahkan sedikit menakutkan. Danica sudah minta pada ibunya untuk mengganti tempat tidur kuno ini dengan dipan dari kayu agar kalau ada tamu, deritnya tak mengganggu tidur mereka.
Tapi jawaban ibunya saat itu, "Jangan semua-semuanya diganti. Harus ada kenangan yang ditinggal agar kita bisa kembali ke masa itu. Biar aja begitu. Kalau tamunya takut, biar dia tidur di kamarmu."
Sebuah jawaban yang romantis. Tak melupakan masa lalu. Menjadikan banyak hal sebagai jejak kenangan. Pahit dan manis, adalah catatan bagi ibunya.
Danica mengitari pandangannya ke sekeliling ruangan. Bertanya-tanya, apakah selain tempat tidur, masih ada kenangan lain di kamar tamu ini.
Saat masih ada ibunya, Danica masih sempat masuk ke dalam kamar ini. Tujuannya bukan karena ingin, melainkan karena mencari ibunya. Ibunya lah yang membersihkan kamar tamu ini sendirian. Tak mengizinkan Mbok Min membantu. Bahkan untuk mengganti kain sprei dan sarung bantal guling, dilakukan ibunya sendiri.
Danica tidak pernah bertanya kenapa ibunya memperlakukan kamar tamu begitu istimewa, sampai-sampai harus turun tangan sendiri. Danica sudah melihat ibunya bahkan berada di kamar tamu ini untuk waktu yang sedikit lama—atau mungkin lama. Karena beberapa kali saat dirinya pulang sekolah, Danica mendapati ibunya masih di kamar tamu, meskipun tidak bersih-bersih.
Tak ada yang istimewa di kamar tamu ini. Furnitur yang disediakan juga tidak banyak. Ada dua lemari kayu jati dengan dua ukuran berbeda. Yang satu lebih lebar dari satunya. Yang lebih lebar ada dua pintu. Satu untuk pakaian-pakaian lipat dan satunya untuk baju digantung. Sedangkan lemari yang lebih kecil, khusus untuk pakaian lipat.
Ada beberapa baju atau kain jarit yang dimasukkan ke dalam kedua lemari tersebut, termasuk baju menikah ibunya yang terdiri dari lima setel kain kebaya. Kata ibunya, karena Rahadyan adalah keluarga terpandang, maka perta pernikahan pun dilakukan selama dua hari tiga malam, dengan acara adat yang lengkap.
Danica berdiri dan menuju ke lemari yang lebar. Ia membuka pintu lemari gantung. Ingin ia melihat gaun kebaya pernikahan ibunya. Dikeluarkannya lima gaun ibunya. Semuanya cantik-cantik dengan kekunoannya.
Yang putih dan merah muda adalah kain kebaya dengan bahan brokat yang cantik. Ada benang-benang emas sebagai hiasan untuk mempercantik motiv bunganya. Ibunya mengatakan kalau yang putih digunakan saat ijab kabul dan yang merah muda dikenakan saat malam lamaran.
Tiga gaun kebaya lagi berbahan beludru, bahan mewah di masanya, berwarna hitam, merah, dan hijau. Ada hiasana-hiasan dengan warna emas yang Danica tidak tahu bahan apa dan apa namanya. Yang jelas itu mempertegas kemewahannya sekaligus kecantikannya. Pakaian untuk resepsi yang digunakan bergantian tiga malam berturut-turut.
Hijau yang cantik, menggoda Danica untuk mencobanya. Ia mengeluarkan kebaya beludur hijau dari sarung plastiknya. Membelainya dan masih bisa mesarakan kelembutan bahannya. Danica membuka kancingnya satu per satu. Di bagian dalam tergantung kain jarit yang sangat mewah denan motif batik parang. Simbok strata kelas atas.
Danica tidak berniat menggunakan kain jaritnya karena kain tersebut perlu dililit. Danica hanya mengenakan gaun kebayanya yang ternyata sangat pas di tubuhnya yang mungil. Danica menarik rambutnya lebih ke atas. Membuatnya menjadi semacam cepol kecil.
Danica memandangi bayangannya di cermin. Sepertinya baju kebaya untuk pengantin memang diberi cahaya yang bisa memberikan rasa cantik bagi yang mengenakan. Setidaknya begitu yang dirasakan Danica. Ia merasa dirinya menjadi sangat cantik. Berulang-ulang ia memutar tubuhnya. Mematut dengan wajah sumringah.
"Nica, Nica...." Terdengar suara Agasta di balik pintu sembari mengetuk pintu.
"Apa?" sahut Danica dengan suara nyaring.
"Keluar."
"Iya. Bentar." Danica kembali mematut untuk terakhir sebelum melepas kancing gaun nikah ibunya.
"Sekarang. Buka pintunya, Nica." Suara Agasta terdengar tidak sabar dan itu menular pada Danica.
Gadis itu menuju pintu seperti seorang yang akan melakukan pertempuran. Langkah lebar dan cepat. Pintu dibuka dengan hentakan.
"Apa?" Danica mendongak, menatap Agasta dengan mata lebar.
Agasta yang salah satu tangannya terangkat karena akan mengetuk ulang, bukan hanya terkejut karena pintu yang terbuka tiba-tiba dengan hentakan, ia juga terkejut melihat Danica dengan kebaya pengantin warna hijau. Warna yang menjadi kontras dengan leher Danica yang seputih s**u. Tetapi, kontrasnya justru membuat Danica menjadi sangat hidup. Sangat cantik. Sangat berbinar.
Melihat Agasta yang berubah menjadi patung dengan hanya matanya yang bergerak menelusuri dirinya, otomatis membuat Danica menjadi salah tingkah sendiri sekaligus kesal. Pun begitu, ada rasa senang mendapati reaksi Agasta yang seperti seorang yang kecocok hidungnya. Bengong. Reaksi pria yang terpesona. Sebagai wanita, jelas ada perasaan suka yang membuncah dari dalam d**a.
"Cantik ya, saya?" tanya Danica dengan percaya diri tinggi. Ia mengedipkan kedua mata seperti lampu mobil yang berkedip.
Jantung Agasta belingsatan. Membuat dadanya terasa sesak karena sepertinya jantungnya bermain salto. Ia segera mengalihkan pandangan ke belakang Danica, di mana ia bisa meli ada kain jarit di atas tempat tidur.
"Gak sekalian itu sewek-nya dipakai. Trus kamu jalan keliling kampung. Meski karnaval tujuh belasan agustus masih jauh, sepertinya kamu bisa mengawalinya di bulan ini."
Danica mencebik. Dicubitnya lengan Agasta sekuat-kuatnya. Agasta hanya meringis aja. Setelahnya Danica berbalik dan akan masuk dari pada berhadapan dengan Agasta. Tetapi Agasta dengan cepat memegang pergelangan tangan Dnaica.
"Apa lagi, sih? Mau ngece apa?" bentak Danica kesal.
"Siapa yang ngece, sih? Kan Cuma ngasih saran."
"Saranmu gila."
"Mmm...."
"Lepasin!" Danica mencoba menyentak pergelangan tangannya. "Kan udah urusanmu."
"Memangnya urusan saya apa? Kok, main sudah aja."
"Urusan kamu kan mau liat-liat saya trus ngece."
"Itu kan hanya prasangka Dek Nica aja." Penyebutan Dek dari kata Adek, membuat Agasta geli sendiri. Ia seperti tersenyum malu sendiri dan tubuhnya bergidik.
Tingkah Agasta tak ayal membuat Dnaica yang kesal, berubah menjadi tersenyum geli dan cekikikan lirih.
"Di luar ada si Pras," jelas Agasta setelah menguasai diri menjadi normal kemabli.
"Hah? Mau apa? Ikut makan siang sama kita?" Danica memerhatikan Agasta lebih seksama. Pria itu sudah mandi. Rambutnya basah dan disisir sembarangan, hingga masih ada yang menjuntai di sudut keningnya. Sepertinya hanya disisir dengan jemari tangan.
"Mana saya tau. Saya juga gak nanya. Kan bukan urusan saya."
"Bilang aja saya tidur atau apa kek."
"Gak mau," tolak Prasaja. "Nanti dikiranya saya yang sengaja menghalang-halangi cinta kalian.
"Hoek...."
Prasaja tersenyum mendapati reaksi Danica yang seperti akan muntah. "Jangan begitu. Dia kan jodohmu sejak bayi."
"Sinting." Danica melengos dan melangkah melewati Agasta.
Lagi-lagi dengan cepat Agasta menghalangi niat Danica. Ia memegangi kedua lengan Danica dan menyeret mundur gadis itu sampai masuk ke dalam kamar.
"Eh..., eh..., apa-apaan ini?" Danica menggeliat, tetapi ia kalah kuat dengan Agasta yang terus membawanya masuk lebih dalam ke kamar tamu.
"Apa lagi, sih?" bentak Danica galak.
"Bajumu. Kamu mau temuin dia pakai baju ini? Oh!" Agasta menutup bibirnya dengan gaya gemulai dan pura-pura terkejut. "Saya lupa, kamu ingin menunjukkan sama sang caon kalau kamu mau pakai baju pengantin warna...."
Tak!
Sontak Agasta mengaduh dan melempar tubuhnya ke temat tidur sembari memegangi lututnya yang tulang keringnya habis disepak Danica.
"Rasain," cemooh Danica sembari membuka kancing kebaya hijaunya dengan santai.
"Hei, Nica! Gila kamu, ya!" Agasta meloncat bangun, dibarengi suara mengaduh lagi karena ia merasa tulang keringnya kena sengatan listrik.
"Tunggu saya keluar dulu!" bentak Agasta dengan mata mendelik kesakita sekaligus kesal. Langkahnya setengah pincang menuju keluar kamar Danica dan menutup pintu dengan kasar; tidak dibanting.
Sedangkan Danica menatap kepergian Agasta dengan tatapan bingung. Kepalanya sedikit miring dan mengedikkan bahu tidak jelas. Kembali ia membuka semua kancing gaun kebaya pernikahan ibunya. Di dalamnya, ia masih mengenakan kaos oblong.
***