Mbok Min tak menyahut. Diam adalah pilihan yang tepat. Apalagi Mbok Min melihat ekspresi wajah Danica yang seolah-olah sudah jauh. Tatapan gadis itu lurus, terarah sampai ke dalam rumah. Tapi, Mbok Min tahu jika Danica, tidak sedang melihat ke dalam rumah melalui lorong pintu belakang. Danica dengan melihat pada masa lalunya yang tanpa ayah.
Sebagai seorang emban yang sudah mengasuh Danica dari merah, sebagai seorang pelayan rumah untuk waktu yang sangat lama, bahkan sebelum orang tua Danica menikah, Mbok Min hampir tahu segala yang terjadi. Banyak yang ia simpan dalam kotak memori. Tak pernah sekali pun yang ia tutup rapat, terbuka dan dibagi. Mbok Min seorang yang sangat amanah. Melindungi keluarga yang sudah menolongnya dengan tidak membagi-bagi isi perut pada siapa pun.
Tapi, melihat Danica, seorang gadis yang sudah ia buai sejak bahkan baru keluar dari perut ibunya, hati Mbok Min pedih. Ia merasa tidak kuat lagi memegang kotak rahasia lama-lama. Mengingat usianya, mengingat keadaan pria yang menyelamatkan hidupnya dan kedua anak-anaknya, Mbok Min merasa sudah waktunya untuk membagi dengan Danica.
"Mbok Min, suami Mbok Min apa tidak pernah pulang dan mencari Mbok Min atau anak-anak Mbok Minkah?"
Baru saja Mbok Min akan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, menjadi urung karena pertanyaan Danica. Mbok Min tidak tahu apakah itu petunjuk bahwa belum waktunya Mbok Min bicara ataukah suatu kebetulan saja, yang mana saat dirinya akan membuka rahasia, Danica sudah lebih dulu bertanya untuk menahan kalimat Mbok Min.
"Dulu pernah sekali pulang dan diterima oleh Bapak Ibu saya."
"Trus gimana? Anak-anak Mbok Min nerima? Mbok Min sendiri bagaimana?"
Mbok Min segera paham kalau Danica sedang membandingkan penerimaan dirinya sebagai anak dengan penerimaan anak-anak Mbok Min akan kembalinya sosok ayah yang hilang. Ia memutuskan untuk menyampaikan apa adanya.
"Kalau nanya tentang perasaan saya, ya saya ndak bisa terima. Waktu saya dikabari, saya marah. Ibu sepuh dan Bapak sepuh, mengizinkan saya pulang untuk menyelesaikan masalah kemunculan bapaknya anak-anak.
Kalau nanya perasaan anak-anak. Ya..., saat itu anak-anak ndak punya sikap yang tegas. Mereka tidak lupa apa yang dilakukan bapak mereka terhadap saya dan mereka berdua. Tapi, rasa rindu akan sosok Bapak, membuat anak-anak ndak bisa benar-benar membenci."
Sama seperti saya. Saya pun tidak bisa benar-benar membenci Papa. Tetapi..., tetap sulit menerima, batin Danica.
"Kalau Mama masih hidup, apa Mama akan sama seperti Mbok Min, ya? Apa Mama akan langsung mengusir Papa setelah melihat kondisi Papa yang seperti itu?"
Mbok Min tersenyum mahfum. Di masa lalu, saat Danica sekolah dan di rumah hanya dirinya dan majikan perempuannya, Manika, sering kali ada pembicaraan ini dan itu. Baik yang biasa-biasa saja, atau gosip yang terdengar seputar tetangga, atau tentang apa yang sedang dirasakan, dan masih banyak lagi. Terutama, tentang andai-andai yang terkait dengan kemunculan Rahadyan.
"Almarhumah Ibu, sudah memaafkan Bapak."
Danica menoleh, menatap tak percaya. "Iya, gitu? Sejak kapan?"
Mbok Min tersenyum dan mengangguk mantap sembari mengambil air untuk disiramkan ke dalam dandang berisi beras agar beras cepat melembut dan menjadi nasi.
"Sejak lama. Sejak bahkan sebelum Ibu sakit. Sejak pertama kalinya Mbak Nica tanya kenapa Bapak belum pulang. Sejak Mbak Nica ulang tahun ke lima."
"Selama itu...." Danica tak percaya jika ibunya sudah memaafkan ayahnya sejak waktu yang lama. "Tapi..., kenapa Mama tidak menghubungi Papa?"
"Kata Ibu, yang bersalahlah yang harusnya datang. Bukan kita yang mencari yang salah."
"Kalau kamu tanya di mana papamu, Mama sudah tegaskan untuk kesekian kalinya kalau Mama tidak mau memberitahumu. Mama tidak rela kalau kamu yang ke sana untuk menemuinya. Bukan kamu yang harusnya ke sana dan menemuinya."
Terngiang ucapan ibunya saat Danica ingin bertanya di mana ayahnya. Kini Danica paham akan maksud ibunya. Teryata selama ini ibunya menunggu ayahnya kembali pulang untuk Danica. Ibunya sudha memaafkan ayahnya, hanya saja ibunya tidak rela jika dirinya mencari ayahnya yang notabene bersalah.
"Berarti suami Mbok Min lebih cepat sadar diri ketimbang Papa, ya?"
"Hehehe.... Kesadaran yang dibuat-buat dengan kesadaran yang dari hati, itu beda, Mbak cantik." Mbok Min terkekeh sembari menangkup pipi emongannya dengan sayang.
"Bedanya apa?" tanya Danica bingung.
"Butuh waktu lama bagi seseroang untuk memaafkan diri sendiri baru kemudian meminta maaf pada lainnya. Orang yang mengakui punya salah, pasti akan malu. Malu pada dirinya sendiri dan malu pada yang telah dilukainya.
Lagi pula, suami saya bukan manusia yang beradab. Dia b***t sejak awal. Mengusir saya dan anak-anak . Menjadikan kami tidak ada harganya, seperti kotoran. Lalu tiba-tiba datang, cengangas-cengenges, tanpa penyesalan. Ternyata untuk minta uang."
Mbok Min menghela napas. Menarik jeda untuk bernapas. Tatapannya jauh, mengingat kejadian yang lampau.
"Andai dulu Bapak ndak antar saya pulang, mungkin uang saya habis diambil dan saya dibuat babak belur."
"Kok bisa, Mbok?" Danica mulai tertarik. Ia memajukan tubuhnya.
"Bapak ndak percaya suami saya pulang untuk hal baik. Jadi, Bapak yang antar. Ternyata benar. Baru sampai, dia minta uang. Sempat Bapak sama dia ribut, tapi Bapak yang menang. Trus, Bapak suruh saya cerai, orang tua saya juga setuju, anak-anak juga sudah sangat takut sama bapaknya. Dan saya bercerai, dibantu Bapak juga pengurusannya.
Bapak itu orang yang sangat baik. Sangking baiknya, Bapak sampai tergelincir sendiri dengan kebaikannya."
Mbok Min, menatap Danica dengan sangat sayang. Dibelainya lengan Danica.
"Bapak tidak pernah menyangkal kesalahannya. Bapak punya adab sebagai suami dan ayah. Beliau pergi tanpa membawa apa-apa dan memberikan semua bagi Ibu dan Mbak Danica."
Danica tercenung. Hatinya benar-benar galau. Ayahnya tak seburuk yang ia kira. Tetapi tetap saja, memaafkan, dalam kesendiriannya terasa sulit. Begitu lama ayahnya pergi dan Danica tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Selama hidupnya, Danica tidak pernah mendengar ibunya mengatakan hal buruk tentang ayahnya. Ibunya hanya bungkam jika ditanya kenapa ayahnya pergi. Semakin bertambah usia, Danica sendiri yang membuat kesimpulan. Hanya orang bersalahlah yang pergi dan itu pasti kesalahan fatal.
Saat Danica menuntut penjelasan, ibunya berjanji akan menjelaskan semua, setelah Danica dianggap dewasa bagi ibunya. Sayangnya, janji yang tak tuntas. Ibunya pergi tak lama setelah pengumuman kelulusan sekolahnya.
"Masih di sini?"
Danica terlonjak karena terkejut, ia menoleh dan mendapati Agasta dengan kaos basahnya. Kedua tangannya penuh dengan barang-barang perkakas. Sedangkan mejanya, mungkin masih di kebun.
"Mbok, nanti sore tolong bawa masuk mejanya, ya. Atau ingatkan saya aja," pinta Agasta pada Mbok Min yang sedang menggoreng perkedel jagung.
"Baik, Mas. Mau makan sekarang?"
"Mandi dululah, Mbok. Basah banget ini. Mana gerah." Agasta meniup udara, mencoba mengalihkan angin agar mengenai dadanya. Ia kemudian melirik ke arah Danica yang menatapnya dengan tatapan terkejut. "Kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanya Danica bingung. Sebenarnya selain terkejut, Danica terpana dengan kegagahan Agasta. Kaos basah yang menempel di bagian d**a dan perut, menunjukkan bagaimana laki-laki itu menjaga kebugarannya.
"Kenapa masih di sini? Katanya mau makan."
"Suka-suka saya, dong. Mau di sini, di sono, di mana aja."
"Ooo.... Karena suka ada di mana-mana, toh. Kirain...." Agasta tak melanjutkan kalimatnya selain menyengir penuh rahasia dan melangkah hendak ke gudang yang merangkap garasi.
"Kirain apa?" teriak Danica penasaran.
"Kirain nungguin saya," balas Agasta dengan teriak juga.
"Idih! Ogah! Hoek!"
Terdengar ledakan tawa Agasta yang membuat wajah Danica versemu merah. Memang dirinya menantikan Agasta, tapi tak nyaman juga kalau niatnya diketahui oleh seseorang yang masih berada di tim musuh.
Tawa Agasta rupanya menular ke Mbok Min. Dengan kesal Danica menghentakkan kaki dan melotot ke arah Mbok Min yang tidak gentar dengan tawa kekehnya.
"Saya gak lagi nungguin siapa-siapa ya, Mbok. Inget ya, Mbok Min. Saya gak lagi nungguin dia. Huh!"
Danica melengos dan masuk ke dalam dengan langkah seperti seorang yang akan bertempur. Langkahnya dihentak-hentakan. Bagi Dnaica, itu bukan untuk meluapkan kemarahan, melainkan untuk melupakan rasa malu.
***