Prasaja terus saja bicara banyak hal. Sesekali ia bertanya hal-hal tidak penting, yang jawabannya cukup dengan belum, pernah, tidak, dan iya. Jawaban sederhana begitu pun, sudah membuat Prasaja tersenyum senang. Sepertinya juga Prasaja tidak peduli jika jawaban-jawaban yang keluar dari bibir Danica, bukanlah jawaban antusias dua arah, melainkan jawaban seadanya sebagai bentuk kesopanan saja.
Prasaja banyak menceritakan pencapaian-pencapaiannya sebagai seorang yang menjaga aset-aset milik Danica. Ia banyak melakukan terobosan-terobosan baru yang makin mempermaju usaha di bidang peternakan dan perkebunan. Hal-hal yang sering kali Prasaja sampaikan di telepon, pesan WA, atau email, yang bagi Danica hanya berupa pelaporan saja.
Sebuah kesombongan yang tidak pernah memberi efek kagum bagi Danica. Bagi gadis itu, apa yang dicapai Prasaja adalah memang yang seharusnya. Tak perlu dilebih-lebihkan.
Rasa bosan selama perjalanan, akhirnya untuk sementara sudah usai. Danica diam-diam bernapas lega ketika mobil sudah masuk area parkir sebuah restoran favorit Danica. Untuk melengkapi kelegaannya, begitu mobil terparkir benar, sebelum mesin benar-benar dimatikan, Danica langsung membuka pintu dan keluar. Seketika, perasaan sesak di d**a, menjadi lapang.
Tanpa menunggu Prasaja, Danica bergegas masuk ke area restoran.
Restoran favorit Danica adalah restoran yang memiliki dua area amakan. In door dan out door. Nuansa di bagian dalam restoran, kenatal akan nuansa jawa. Furnitur yang dipilih, memiliki ornamen bunga dan naga yang meliuk-liuk.
Di salah satu sudut, terdapat kelengkapan alat musik jawa. Dari gamelan sampai gong besar. Di waktu-waktu tertentu, akan ada pertunjukkan dari para seniman jawa dengan alat-alat musik tradisional tersebut.
Yang paling favorit adalah bagian luar. Ada semacam pendopo-pendopo dengan meja segi empat di bagian tengah. Suasana rindang dengan banyaknya tanaman, memberikan nuansa adem, meskipun mungkin sudah siang hari. Ada kebun-kebun kecil yang ditanami aneka bunga, tomat, cabai, terong, dan lain-lain yang menggugah keinginan mendekat sekaligus membeli jika sudah panen. Ada juga aliran sungai yang melintas dengan bunyi gemericiknya yang menyejukkan bagi yang mendengar.
Pendopo yang disukai Danica adalah yang dekat dengan sungai, yang amat sangat kebetulan sedang kosong.
Melihat senyum Danica, d**a Prasaja semakin membuncah kebahagiaan. Rasa optimistisnya tinggi bahwa Danica mengapresiasi apa yang ia lakukan sebagai upaya untuk menyenangkan gadis itu. Sebenarnya, Danica mau ikut makan siang dengannya saja, Prasaja sudah sangat senang. Mengingat bagaimana paginya, ia merasa terdepak karena status profesi Agasta.
Ditambah, ibunya kemudian menjadi uring-uringan yang kemudian membanding-bandingkan. Tapi, setelah pulang dari rumah Danica pagi tadi, Prasaja mengakui kalau argumen ibunya ada benarnya. Bersama Danica ia bisa memiliki semuanya.
Ia tidak boleh kalah. Agasta mungkin memang terlihat mumpuni. Pekerjaannya sebagai dokter saja, sudah memiliki nilai tambah yang besar. Apalagi, status keluarga Agasta yang dipastikan adalah keluarga terpandang karena mampu menyekolahkan Agasta hingga menjadi dokter spesialis.
"Butuh waktu lama untuk melihatmu tersenyum," ucap Prasaja sembari tersenyum melihat bagaimana Danica bersandar di pagar pendopo dan memandangi aliran sungai yang jernih.
Keduanya sudah memesan makanan dan menunggu untuk diolah. Danica selalu memesan makanan lokal seperti lontong rujak sayur dan es teh lemon. Danica menyukai sayuran-sayuran segar yang disuguhkan dengan sambal ulek kacang yang sangat pedas. Sedangkan Prasaja, selalu memesan menu makanan Eropa. Siang ini, Prasaja memesan spagheti dan squash.
"Jangan berlebihan, ah. Saya kan gak mungkin senyum terus-menerus. Orang akan pikir saya gila." Untuk pertama kalinya, sejak keluar dari rumah, Danica bicara lebih panjang.
"Kamu selalu cantik kalau tersenyum dan saya selalu merindukan senyumanmu."
Danica merapatkan bibirnya. Tidak seperti perempuan kebanyakan, Danica tidak suka dipuji. Tidak punya alasan jelas, selain bahwa pujian yang terlontar bagi Danica, terasa tidak tulus. Tapi, bisa juga Danica tidak menyukai pujian yang keluar dari orang yang tidak Danica sukai. Karenanya ia kemudian berpikir jelak akan maksud dari pujian yang terlontar.
"Tuh, kan. Datar lagi. Senyummu itu kok mahal banget, sih." Prasaja bermaksud menggoda Danica.
Prasaja yang duduk di hadapan Danica, memajukan tubuhnya dan berniat menowel hidung bangir gadis itu. Tetapi, sebelum benar-benar jari telunjuknya sampai di hidung Danica, gadis itu buru-buru menepis tangan Prabu dan mendelik.
"Mau apa, sih?" bentak Danica.
Wajah terkejut yang berlanjut dengan kecewa, tersirat di senyum Prasaja yang pahit. "Saya cuma mau towel hidung kamu, kok. Bukan mau apa-apain kamu."
Prasaja langsung kembali duduk, tidak meneruskan niatnya. Ia dongkol dengan sikap Danica terhadapnya yang seperti seorang berprasangka berat. Setiap ia melakukan hal baik untuk Danica, selalu ditepis dengan terang-terangan oleh gadis itu. Penolakan yang tidak sekali atau dua kali, melainkan hal yang berulang-ulang.
Danica yang mulai merasa kalau dirinya sudah sangat berlebihan sejak berangkat sampai tiba, diam-diam memerhatikan wajah kaku Prasaja.
Pria yang dikenalnya sejak kanak-kanak itu, dikenal Danica sebagai sosok yang baik. Setidaknya, terhadap Danica, Prasaja selalu memperlakukan istimewa. Tak pernah Prasaja benar-benar marah pada Danica di setiap gadis itu tidak tahu atau susah mengerti. Tak pernah juga Prasaja menolak apa saja yang dimintai gadis itu.
Danica teringat bagaimana saat ia kecil, ia selalu membuntuti Prasaja yang usianya tiga tahun lebih tua dari Danica. Prasaja selalu memiliki uang, jadi saat Danica ingin ini dan itu, Prasajalah yang akan membelikannya untuk Danica.
Intinya, di masa kanak-kanaknya, Prasaja adalah pahlawan.
Danica tidak yakin sejak kapan perasaannya terhadap Prasaja berubah. Mungkin saat ia baru masuk sekolah menengah pertama. Saat itu, Prasaja yang sudah lulus, dengan sengaja datang ke sekolah Danica selama seminggu berturut-turut. Ikut memantau kegiatan orientasi studi dan pengenalan sekolah atau OSPEK, padahal bukan lagi siswa SMP.
Prasaja terus mengawasi siapa saja yang sedang meng-OSPEK Danica, memastikan juniornya tak melakukan tindakan berlebihan. Danica harus diperlakukan istimewa atau mereka yang meng-OSPEK Danica akan mendapatkan peringatan tegas dari Prasaja.
Seketika, Danica yang diistimewakan, justru dikucilkan. Tak ada yang mendekati Danica. Dan Danica akhirnya pulang dengan marah-marah pada ibunya. Meminta ibunya menyampaikan ke Prasaja untuk tidak ikut campur dengan kegiatannya.
Tapi, sepertinya itu tak digubris Prasaja. Pria itu tetap memantau Danica. Tak dibiarkannya gadis itu mengalami kesulitan. Tak dibiarkannya Danica mandiri untuk menghadapi problemnya. Selalu ada mata-mata yang akan memberikan informasi pada Prasaja jika sesuatu terjadi pada gadis itu.
Mengingat itu, Danica menghela napas.
Sikap mendominasi Prasajalah yang kemudian membuat Danica menjadi tidak simpati lagi. Memasang radar bagi kehidupan remaja Danica, mengalahkan ibunya sendiri, semakin membuat Danica ingin menjauhi Prasaja.
Danica sudah pernah beberapa kali menyuarakan keberatannya akan adanya Prasaja yang mencampuri kehidupan remajanya. Namun, pengabaian Prasaja dengan tetap beredar di dekat Danica, tak lagi mengulang permintaannya selain mendiamkannya.
Makanan yang dipesan datang dan suasana benar-benar dingin. Tak ada yang bicara. Bahkan menawarkan sesuatu pun tidak. Masing-masing sibuk dengan makanannya sendiri-sendiri.
Bagi Dnaica ini adalah perlakuan tak acuh Prasaja untuk pertama kalinya. Ada perasaan tidak enak hati daro Danica karena ini bisa jadi adalah tanda Prasaja benar-benar marah atau tersinggung.
Dan itu benar adanya.
Prasaja tersinggung akan sikap Danica dan ia sendiri sebenarnya sudah lelah mencoba menjadikan dirinya spesial bagi Danica. Sejak kecil, ia sudah diintimidasi untuk selalu berada dekat dengan Danica. Segala upaya ia lakukan. Tapi tak pernah ada kemajuan.
Andai bukan karena suatu tujuan, meskipun Danica sangat cantik, Prasaja enggan lama-lama bersama gadis yng tidak menganggap dirinya.
"Pras, maafkan saya," ucap Danica setelah selesai makan. Danica menurunkan egonya. Ia menyadari dirinya salah karena membentak dan seharusnya ia tak sekasar itu.
Prasaja yang baru selesai makan dan akan minum, jadi keheranan. Danica hampir tak pernah meminta maaf padanya.
"Ya. Tidak apa-apa Nica. Saya yang salah. Mungkin mood kamu sedang tidak baik dan saya memaksamu keluar untuk makan siang bersama."
"Ya.... Mungkin...." Danica Meng-iya-kan saja karena tidak mungnkin berkata yang sebenarnya ia sakan.
"Danica, Boleh bertanya?"
"Ya, silahkan. Mau tanya apa, Pras?"
"Apa kamu tidak suka saya?"
***