"Karena beliau, saya masih hidup."
"Kenapa bisa begitu?"
Dan Agasta menutup mulutnya rapat. Ia sudah tak ingin menjawab apa-apa. Sikapnya yang terus sibuk menguas pelapis kayu pada meja, menunjukkan jawabannya untuk Danica, bahwasannya pembicaraan sudah selesai. Tidak ada pertanyaan lagi dan tidak ada jawaban lagi.
Danica terus mengamati wajah Agasta yang baginya terlihat jauh lebih kaku dan keras. Meskipun tatapannya serius pada meja yang sudah dibuat, namun Danica bisa melihat jika kedua mata itu sudah menarik jiwa Agasta pada tempat yang berbeda, entah di mana.
Pasti terlah terjadi sesuatu pada Agasta. Sesuatu yang membuat nyawa pria itu sempat melayang dan ayahnya, Rahadyan memiliki andil penting untuk keselamatan Agasta. Itu yang bisa Danica simpulkan. Entah apa bentuk musibahnya, Danica berpikir akan menanyakannya lain waktu.
"Ini masih lama, gak?"
Sepertinya pertanyaan santai begini yang bisa menggugah perhatian Agasta. Pria itu menoleh sembari memicingkan mata karena silau.
"Kenapa?"
"Saya lapar, mau makan."
Danica langsung berbalik dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah, diiringi tatapan mata Agasta yang kedua alisnya saling melengkung. Setelah bayangan Danica hilang, Agasta bergumam, "Lapar ya makan. Apa urusannya sama lama? Aneh-aneh aja."
Agasta geleng-geleng kepala, menganggap aneh pertanyaan terakhir Danica.
Sedangkan Danica, terus melangkah tanpa jeda. Bahkan tatapannya yang tidak fokus, membuat lututnya sempat meyenggol dipan bambu. Mbok Min yang sedang mengupas bawang, terlonjak terkejut karena dipan bambu yang ia duduki, menjadi bergeser sedikit.
"Gusti Allah! Ono opo, Mbak?" tanya Mbok Min setengah berseru.
"Gak..., gak pa-pa," sahut Danica terbata-bata. Ia kemudian duduk di hadapa Mbok Mi, sembari menarik napas berulang-ulang.
Ada perasaan malu menyergap Danica karena menawari makan bersama. Ya, meskipun tidak secara terang-terangan dirinya mengatakan perihal makan bersama, tetapi tetap saja, ucapan yang disampaikan merupakan kode.
"Kode...? Arghhh...! Kenapa jadi seperti ABG begini, sih? Koda-kodean buat apa coba?"
Danica kemudian, merapatkan tubuhnya pada dinding dapur yang terbuat dari anyaman bambu yang kuat. Selalu ada celah lubang kecil-kecil untuk mengintip, Danica mencoba dari situ. Tetapi, celah-celah anyaman terlalu kecil bagi kedua maik hitam matanya untuk bisa melihat jelas Agasta.
Bukan tidak bisa melihat, justru masih bisa melihat. Hanya saja ini tentang kepuasan dan Danica tidak puasa melihat punggung Agasta yang lebar. Tanpa sadar ia mendorong tubuhnya lebih rapat lagi, terlalu rapat, sampai-sampai wajah Mbok Min yang tadinya pensaran berubah menjadi khawatir.
"Mbak, Mbak, jangn terlalu mepet. Aduh, ini kalau roboh, harus manggil orang lagi buat benerin," ujar Mbok Min sembari menepuk lengan dan paha Danica berulang-ulang.
"Aduh, iya, Mbok. Ssttt..., jangan teriak-teriak," ujar Danica panik sembari mengibaskan tangan agar Mbok Min diam. "Nanti dia dengar gimana?"
Danica kembali mengintip dan kemudian bernapas lega karena Agasta masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Setelahnya, rasa malu justru semakin berlipat-lipat. Danica bingung sendiri untuk apa ia bereaksi seperti ini. Mengajukan ajakan makan bersama, pada seseorang yang tinnggal satu atap, harusnya bukanlah suatu kekeliruan apalagi harus menjadi malu sendiri.
Konyol.
Mbok Min yang masih memerhatikan raut wajah anak asuhanya itu, tak bisa menahan tanyanya.
"Ono opo to, Mbak? Abis ribut sama Mas Agas?"
"Enggak," jawab Danica sembari memutar duduknya, membelakangi tembok anyaman bambu, dan menatap ke perapian.
"Terus tadi kenapa tadi Mbak Nica kayak orang bingung?"
Danica pu menanyakan hal yang sama pada diri sendiri, kenapa ia malah bersikap aneh.
"Agasta itu orangnya bagaimana menurut, Mbok Min?"
"Wong bagus. Orang yang baik. Terlalu baik malah, Mbak."
"Terus?"
"Sepertinya seorag yang suka kerja keras. Itu..., malah bikin meja. Padahal ka dokter itu pekerjaannya priyayi, malah nukang kayak kuli. Tapi, Mas Agas ndak malu akan itu.
Tadi saya bilang kalau di sini ada yang bisa nukang dan bikin ini itu. Mas Agas malah bilang gini, 'Kalau bisa dikerjakan sendiri, ya dikerjakan sendiri. Orang hidup jangan sekedar diam saja."
Dari omongannya itu, berarti Mas Agas orangnya pekerja keras. Laki-laki kalau di pikirannya kerja, kerja, kerja, pasti jalan hidupnya lurus."
"Ah, Mbok terlalu berlebihan. Ini apa, Mbok?" Danica membuka tutup dandang dan langsung menerima aroma manis yang khas. "Lemet, ya?"
"Oh, iya. Sudah matang itu." Mbok Min berdiri, masuk ke dalam dan mengambil dua piring saji lebar dan dua piring kecil ditemani dua sendok kecil juga.
Danica mengeluarkan isinya dan membaginya ke atas dua piring saji. Lalu mengambil dua bungkus lemet yang dibaginya lagi ke atas dua piring kecil. Mbok Min sendiri, menukar dandang yang isinya sudah kosong, dengan dandang lain yang di dalamnya sudah ada beras untuk dijadikan nasi.
Danica berkutat membuka bungkus daun pisang dari makanan yang diolah dari parutan singkong dengan diberi gula merah agar terasa manis dan gurih. Makanan kesukaa Danica yang hanya bisa ia nikmati kalau pulang ke rumah. DI Jogja ada, tetapi tidak tersaji panas atau hangat. Sedangka Lemet kalau sudah dingin, teksturnya justru terasa padat. Masih manis, tapi tidak enak kalau memadat.
"Satu ini buat Agasta?" tanya Danica.
"Iya. Mbak Nica yang antar, ya."
"Gak ah. Mbok aja. Nih." Danica menyodorkan piring kecil dengan Lemet yang sudah dibuka daunya.
Mbok Mi tersenyum geli dan membawa Lemet tersebut ke Agasta. Lagi-lagi Danica mengintip. Memerhatikan Agasta yang tersenyum senang menerima Lemetnya. Entah apa yang dibicarakan, kemudian keduanya tertawa.
Tiba-tiba kepala Agasta menoleh ke arah dapur. Seketika Danica terlonjak, terkejut, dan menjadi salah tingkah. Wajah Danica bersemu karena ketahuan mengintip, meskipun belum tentu juga Agasta tahu. Begitu malunya, Danica memukul-mukul kepalanya dengan lembut sembari mengatakan diri sendiri bodoh.
"Kenapa, Mbak. Pusing?" Mbok Min yang sudah kembali langsung panik. "Tak panggil Mas Agas."
"Jangan!" Danica mendelik dan memegang pergelangan tangan Mbok Mi kuat-kuat. Kedua matanya mendelik penuh ancaman. Bisa malu sepuluh kuwadrat kalau Agasta datang dan memeriksa keadaan dirinya yang tidak apa-apa.
"Kok, jangan? Itu tadi kepalanya."
"Udah..., saya gak pa-pa. Ayo, duduk. Kupas-kupas apa gitu." Danica mengarahkan Mbok Min untuk kembali duduk di dipan bambu bersamanya.
Meskipun ada perasaan khawatir, tetapi tetap saja Mbok Min menurut. Ada sayur bayam yang perlu ia poting-potong.
"Mumpung ada dokter, kalau sakit itu ya tinggal bilang saja," ucap Mbok Min yang sembari memotong sayur bayang menjadi beberapa bagian kecil, menatap khawatir Danica.
"Saya beneran gak apa, kok." Danika memotong Lemetnya dan memasukkan ke mulut dengan keikmatan yang tidak dibuat-buat. Makaan favorit yang ia rimdukan.
Mbok Min pun perlahan hilang rasa khawatir melihat anak asuhannya biasa lagi. Ia kembali fokus dengan urusan memasaknya.
"Memangnya, kalau cowok itu fokusya keja dan kerja, jalannya pasti lurus?" tanya Dnaica yang masih penasaran dengan filosofi Mbok Min, walaupun di awal dirinya sudah menolak.
"Pasti. Karena, apa lagi yang akan mengisi pikirannya selain tujuan baik."
"Tujuan baik...?"
"Iya. Seperti untuk keluarganya. Mastiin kalau keluarganya, orang tuanya, anak dan istrinya, tidak kekurangan atau kesusahan."
"Pendapat dari mana itu, Mbok?" tanya Danica terkekeh. Diam-diam ia menananyakan apakah ayahnya bukanlah pekerja keras?
Ayahnya adalah seorang yang kaya-raya. Memiliki banyak tanah. Perkebunan terluas dan peternakan terbanyak adalah milik ayahnya. Bekerja sebagai pelaut, bukanlah karena gaji yang tinggi, melainkan hanyalah hobi.
"Jika seorang lelaki bekerja dan bekerja adalah seorang yang lurus, berarti Papa yang bekerja karena hobi, bukanlah seorang yang lurus."
***