Tidak hanya Danica yang mendelik terkejut, Prasaja dan lainnya juga sama-sama terkejut. Prasaja dengan santainya, muncul dan membukakan pintu, tepat saat Prasaja memegang gerendel pintu.
"Maaf. Tamunya ndak masuk aja?" tanya Agasta terarah pada Danica yang medelik. Kemudian Agasta berpaling menatap Yuni dan memberikan senyum terbaiknya. "Sebaiknya bicara di dalam, tidak apa-apa. Tapi, Bapak belum bisa dijenguk dulu. Mari masuk."
Dengan sopan Agasta membuka pintu lebih lebar dan minggir. Memberi jalan bagi siapa saja dari luar yang akan masuk. Senyumnya terukir manis. Dengan sengaja Agasta menghindari konfrontasi mata dengan Danica.
Paramita semakin terpesona dengan sosok Agasta. Jantungnya sudah mulai berdegup sejak melihat pria itu dari kejauhan dengan motor Danica yang terlihat kekecilan. Tubuh yang tinggi, tegap, atletis, tampan, adalah syarat awal pria pilihan Paramita. Kaya raya, adalah syarat mutlak berikutnya.
Tadi Paramita sudah melihat mobil harga milyaran terparkir di halaman samping rumah, tepatnya di depan garasi. Sudah bisa diduga jika Agasta pastilah bukan dari keluarga sembarangan. Agasta adalah paket komplit dan Paramita harus bisa mendapatkan Agasta.
"Ayo, Ma, masuk," ajak Paramita yang masih merangkul lengan ibunya. Paramita bisa merasakan keengganan ibunya yang sepertinya sudah terlanjur kecewa dengan sikap Danica. Paramita pun begitu, tapi demi pria yang masih berdiri di ambang pintu dengan senyum menawannya, Paramita cepat melupakan.
"Ayo, ah, Ma." Paramita memaksa. Ia tak peduli dengan tatapan ibunya yang terarah padanya dengan melotot kesal. Yang penting bagi Paramita, masuk dulu, lalu memulai obrolan awal.
Mendapat pemaksaan dari putrinya, Yuni tidak punya pilihan. Lagi pula ia sebenarnya penasaran akan sosok Agasta. Ia merasakan kalau pria itu adalah ancaman bagi putrinya. Untuk banyak hal terkait fisik, pria itu adalah bibit unggul.
Yuni perlu tahu lebih banyak tentang si pria. Ia pun menurunkan kekesalannya dan mengalah. Dengan langkah tegap, dagu terangkat setara air, Yuni melangkah masuk. Sempat ia melirik dongkol ke arah Danica.
Sampai di dalam, Yuni duduk bersisian dengan putrinya, sedangkan Prasaja duduk di kursi tunggal dekat pintu, menghadap ke bagian dalam rumah. Yuni memerhatikan dengan taja, bagaimana Agasta mengambil rantang dari tangan Danica dan tanpa komando membawanya ke belakang.
Danica dengan canggung, duduk di kursi tunggal yang posisinya menghadap keluar, yang artinya dirinya berhadap-hadapan dengan Prasaja. Situasi yang amat sangat tidak nyaman baginya. Menyesal ia terlanjur memberikan rantang makanan pada Agasta.
"Siapa itu?" tanya Yuni membuka percakapan. Pertanyaan yang melegakan Danica karena ia tak perlu capek-capek berbasa-basi setelah percakapan kurang apik di teras depan.
"Dokter yang merawat Papa."
"Jadi beneran dia itu dokter? Wah...." Wajah Paramita dengan tatapan ke arah dalam. Matanya berbinar-binar menanti kemunculan Agasta.
"Dokter apa?" tanya Yuni lagi.
Emangnya si Pras gak ada omong gitu? Kan dia dengar apa pekerjaan Agasta saat lapor ke RT. Danica menatap Prasaja yang juga menatapnya.
"Spesialis penyakit dalam."
"Emang bapakmu sakit apa, toh?"
Danica menahan napas sekaligus menahan kesal. Hal-hal begini yang ia malas. Ditanya dan dia harus menjawab. Kesannya, ia sedang diinterogasi, dikorek-korek, untuk memenuhi kepuasaan rasa ingin tahu yang besar dan kemudian informasi yang ia berikan, akan menjadi bahan perbincangan hangat di meja makan.
"Sakit tua, Bude."
"Kamu ini kalau ditanya, mbok ya jawab yang bener gitu lho," dumel Yuni.
Sebenarnya Yuni tidak pernah suka dengan Danica. Gadis itu lebih sering bersikap acuh tak acuh ketimbang peduli. Bahkan gadis itu dengan sombongnya berkata pikir-pikir dulu saat ia ditawari pertunangan secara resmi dengan Prasaja. Jual mahal, istilahnya.
Kalau bukan karena apa yang dimiliki Danica, Yuni tidak akan sudi berhadapan dengan gadis bau kencur yang sombong ini.
"Ya, memang begitu, Bude," ujar Danica dengan anda tidak sabar. Ia mulai kesal dengan lamanya Agasta di belakang. Udah lancang nyuruh masuk, sekarang malah ditinggal gitu aja.
"Bikin apa Mbok Min?" Yuni mengalihkan pandangan ke belakang Danica.
Danica menoleh. Mbok Min muncul dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat gorengan yang entah gorengan apa. Di belakang Mbok Min, berjalan bak prajurit, Agasta yang juga membawa nampan dengan lima cangkir minuman yang entah apa minumannya.
"Ada pisang kayu, Bu Yuni. Sudah mateng dari pohonnya. Monggo di dahar." Mbok Min meletakkan piring saji berisi pisang goreng di tengah meja, bersama dengan piring-piring kecil dan wadah garpu-garpu kecil.
"Ambil di kebun?" tanya Yuni sembari mengambil piring kecil dan garpu, lalu mengambil salah satu pisang goreng yang masih sangat hangat itu. Ia menawari putra-putrinya untuk melakukan hal yang sama, dan keduanya menurut.
"Injih, Bu." Kali ini, Mbok Min menyuguhkan minuman dari nampan yang dibawa Agasta. Tiga teh dan dua kopi untuk para pria.
"Enak, Mbok, pisangnya. Manis dan benyek juga," puji Yuni.
"Iya. Wong mateng dari pohon, ya pasti manisnya." Mbok Min terkekeh kecil dan berpamitan hendak ke belakang lagi.
Danica dan Agasta menyeruput minuman masing-masing. Keduanya tidak ada niat untuk ikut menikmati pisang goreng, meskipun pisang gorengnya menggiurkan.
"Katanya kerja di Rumah Sakit Sentosa Internasional, betul?" tanya Yuni di sela-sela makannya.
Bibir Danica mencebik kecil sembari pura-pura minum. Budenya sedang menguji Agasta. Padahal sangat jelas jika Yuni tahu perihal pekerjaan dan di mana Agasta bekerja.
"Betul, Bude," jawab Agasta.
"Rumah sakit keren itu."
Agasta hanya nyengir saja sebagai balasan.
"Tapi semuda ini bisa jadi dokter spesialis, kalau bukan karena koneksi ya pasti karena sangat pintar."
"Sepertinya hanya kebetulan bisa menjawab soal ujian saja, Bude," jawab santai Agasta atas pertanyaan sinis wanita di hadapannya yang kata Mbok Min bernama Yuni.
Mata Agasta bergulir pada wanta yang lebih muda, yang namanya juga Agasta dapat dari Mbok Min. Paramita, si sulung dari keluarga Surya. Kakak perempuan Prasaja.
Agasta mendapati bagaimana tatapan Paramita padanya yang begitu bersemangat. Serupa dengan tatapan para wanita di rumah sakit. Senyum yang menggoda dan tatapan mata tajam yang mengharap Agasta memberikan repon positif. Demi kesopanan, Agasta mengangguk dan tersenyum ke Paramita.
"Sudah punya pacar?" tanya agresif Paramita.
"Tidak ada yang mau sama saya, Mbak." Jawaban yang amat sangat legendaris. Terkesan merendahkan diri sendiri padahal meninggikan kwalitas diri yang artinya, dirinya sangat sulit untuk didapatkan orang lain.
"Ah, bohong. Masak iya orang sepertimu gak ada pacar."
"Pasti punyalah. Dia jawab gitu kan untul jaga perasaan orang-orang yang terlihat sangat naksir dirinya. Ya, kan, Bro?" sahut Prasaja dengan sikap sok akrabnya. Padahal sebelum-sebelumnya, sangat terlihat jika Prasaja tidak menyukai Agasta. Tatapan Prasaja juga terarah pada Danica. Sindirran apda gadis itu yang dianggap juga terpikat pada Agasta.
"Enggak juga. Memang begitu adanya."
"Apaan sih, Pras. Sengit amat. Cemburu? Danica pasti setialah sama kamu. Ya, 'kan Danica?" Pertanyaan licik dari Paramita untuk Danica. "Kamu setia, 'kan sama Pras? Agasta buat saya aja. Oke?"
***