Baik Danica ataupun Agasta sama-sama memendam dongkol atas ucapan Paramita yang sembarangan dan sesuka hatinya sendiri. Membagi-bagi orang menjadi berpasangan. Seolah-olah dirinyalah di pemegang takdir.
Danica membayangkan dirinya berhasil loncat melewati meja tamu. Berdiri di hadapan Paramita dengan perkasa. Menempelkan pirimg kecil dengan pisang goreng yang sudah digigit sebagiannya, ke wajah Paramita. Lalu pamungkasnya adalah menjambak rambut Paramita, penuh ke belakang, dengan sentakan kuat. Rasanya pasti sangat lega.
Tanpa sadar Danica tersenyum sendiri sembari arah kepala tertuju ke Paramita. Meski seperti menatap Paramita, tetapi sebenarnya tatapannya tidak fokus. Lebih seperti melamun.
Bibir Agasta gatal ingin bertanya apa yang dipikirkan gadis itu. Agasta yakin itu adalah sesuatu yang jahat.
Sedangkan Yuni, Paramita, dan Prasaja, tersenyum sama lebarnya dengan Danica. Ketiganya berpikir kalau Danica menyetujui saran Paramita. Jalan mulus. Sesuai rencana, begitulah yang terpikir di benak Yuni dan kedua putra putrinya.
"Kalau begitu, kapan kita double date? Seru nih kayaknya. Kita ajak Agasta jalan-jalan." Dengan antusias dan semangat menggebu, Paramita menatap Agasta. "Di sini, wisata alamnya adalah yang terbaik. Kamu yang terbiasa di kota denga kesibukan dan kebisingannya, perlu relaksasi,lho."
Agasta tak menanggapi. Ia keheranan dengan ekspresi Danica yang keceriannya statis.
Perlu disadarin nih bocah. Sebelum kesurupan, batin Agasta.
Agasta memajukan tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan Danica. Merasa kuranh dekat, ia menarik kursinya mendekat dengan kursi Danica. Baru setelahnya, dengan sangat lembut, Prasaja membelai lengan Danica. Tubuhnya maju lebih dekat, begitu pula wajahnya. Wajah Agasta bahkan hanya berjatak beberapa inci dengan pipi Danica.
Pemandangan yang intim di pagi hari. Harusnya manis jika pelakunya seperti yang diharapkan Paramita dan Prasaja. Tetapi, ini jadi memanaskan hati. Debar-debar yang dirasakan adalah debar menahan emosi.
"Danica…. Dan...Danica…." Prasaja berusaha menyadarkan Danica dengan terus mengusap lengan gadis itu.
Perlahan, Danica kembali pada realita. Ia merasakan hangat tak biasa di lengannya. Ia merasakan semacam siur angin yang berbeda di pipinya. Danica mengerjapkan mata dan terkesiap saat menoleh. Jaraknya dan jarak Prasaja sangatlah dekat. Bahkan, jika ia menoleh tanpa refleks, alhasil yang terjadi adalah bibirnya akan menempel di bibir Prasaja.
"Apa?!" bentak Danica gugup. Ia memdorong tubuh Prasaja dengan gelisah. Jantungnya berdegup cepat. Danica berpikir ini gara-gara Agasta yang sudah membuatnya terkejut.
"Kamu yang kenapa? Cengar-cengir gak jelas," dumel Agasta.
"Gak jelas buatmu, buat saya sih jelas-jelas aja," elak Danica. Padahal dalam hati ada rasa malu. Ia tak mengira kepuasannya menghajar Paramita dalam imaji, bisa keluar dan dilihat lainnya.
Danica merasakan tatapan-tatapan mengandung tanya dari Yuni, Paramita, dan Prasaja.
"Jadi…, kita double date siang ini, 'kan? Menurutmu kita ke mana enaknya, Nica?" tanya Paramita. "Sepertinya kamu tadi senyam-senyum sendiri karena udah bayangjn kita akan ke mana. Jadi…, ke mana kita?"
Danica gelagapan karena dirinya ditodong begitu saja. Ia merasa tidak melakukan sesuatu, tapi sepertinya senyam-senyumnya sudah menjadi problema tersendiri. Danica menatap Agasta dengan memelas. Ia tidak bisa berpikir apa-apa.
"Kalau mau pergi, ya pergi aja. Saya tidak bisa ikut. Saya punya kewajiban merawat dan menjaga Bapak."
Pernyataan Agasta adalah kelegaan bagi Danica. Ia bisa meloloskan diri dari todongan licik Paramita.
"Saya juga tidak bisa pergi. Saya harus memastikan bahwa Papa baik-baik saja."
"Kok, kompak begini, ya?" tatapan penuh senyum di mata Paramita berubah menjadi tatapan kekesalan yang tak berusaha disembunyikan. Jelas sekali jika dua orang dihadapannya ini sedang menghindari ajakannya.
"Ya, masak dua-duanya jaga berbarengan?" celetukan Yuni, menandakan kalau sebagai yang dituakan, ia tidak suka. Karenanya ia menyindir dengan jelas. "Kan bisa salah satunya."
"Yang pasti saya tidak bisa," jawab tegas Agasta.
"Saya juga tidak bisa, Bude. Selain memastikan Papa baik-baik saja, saya juga dikejar setoran naskah."
"Ya, udah kita pulang."
Prasaja yang sedari tadi tak banyak bicara karena gondok dengan sikap Danica juga kesombongan Agasta, langsung berdiri dan keluar rumah tanpa basa-basi lebih lanjut.
Yuni yang memandangi punggung putranya, jadi ikut sakit hati. Ia paham kekecewaan Prasaja pada Danica. Tetapi, dia juga belum tahu apa yang harus dilakukan. Agasta terlalu unggul dibanding putranya.
Agasta tampan dengan tubuh yang tinggi tegap. Dibandingkan dokter, pemuda itu lebih cocok menjadi seorang perwira negara. Tetapi, menyandang status dokter apalagi dokter spesialis, membuat pemuda dihadapannya itu berada di atas langit. Begitu hebat. Sebuah cita-cita yang masih menjadi impian semua ornag tua.
Sedangkan Prasaja, hanya seorang pegawai saja. Bekerja pada orang lain. Meskipun kedudukan Prasaja sangat tinggi. Tetap saja, Prasaja berada di bawah kaki Danica. Menyadari itu, sakit hati Yuni semakin dalam. Ia tidak terima putranya disakiti.
"Harusnya kamu itu jaga hati Prasaja, Nica. Dia itu kan selalu ingin membuat kamu senang juga bahagia. Mbok ya kamu hargai," ketus Yuni yang kecewa. "Apa iya ibumu dulu ndak ngajari gimana bersikap sama orang baik?"
"Kok, Bude bawa-bawa almarhuma Ibu? Ini apa hubungannya?" tanya Danica dengan suara mulai meninggi.
"Ya, terus saya bawa-bawa siapa?" tanya Yuni santai tapi tak mengurangi sengitnya. "Yang urus kamu kan ibumu. Harusnya kamu itu bisa jaga perasaan orang lain kalau kamu gak mau disakiti. Opo sih yang kurang dari Pras? Asal kamu nyeletuk minta 'A', ke ujung dunia pun akan dia datangi Cuma untuk memenuhi kemauanmu. Mosok diajak jalan-jalan aja, pakai nolak segala."
"Bude, yang ajak jalan-jalan kan bukan Pras," ralat Danica.
"Ooo..., jadi kamu nyalahin saya?" Paramita menghentakkan kakinya.
"Yang nyalahin Mbak Mita siapa? Saya kan Cuma meluruskan."
"Jadi..., kalau saya yang ngajak, kamu akan langsung menolak, gitu?"
Agasta mulai merasa kalau ini akan mengarah pada situasi yang tidak benar. Semua kalimat dibolak-balik dan itu menyudutkan Danica berlebihan. Secara naluri, Agasta tidak suka pengintimidasian yang tidak imbang begini.
"Di dalam ada orang sakit. Sebaiknya kita tidak memvuat kegaduhan apa pun. Saya harap masing-masing dari kita bisa saling mengerti. Danica penulis dan dia punya tempo penyelesaian. Saya dokter dan saya punya pasien yang harus dijaga. Masalah jalan-jalan, masih ada waktu lain untuk membicarakannya."
Agasta menatap Paramita dengan intens. Wanita seperti Paramita adalah wanita seperti kebanyakan yang menyukai dirinya. Tipe wanita dasar alias umum. Wanita yang mudah dimanipulatif dengan pujian juga kelembutan. Wanita yang silau akan pernampilan permukaan. Agasta sangat yakin, jika Paramita sudah sering kali dimanfaatkan.
Senyuman terbaik diberikan Agasta untuk Paramita. Sebuah senyum tipas tetapi dengan sedikti kerlingan, adalah daya pikat Agasta.
"Lain kali, mungkin kita bisa jalan-jalan."
Senyuman andalan Agasta sudah diterbangkan. Tak sulit untuk melihat jika Paramita langsung tunduk dengan bahagia.
***