"Pokoknya saya gak mau mereka melihat Papa."
Tatapan Danica ke arah luar, teras rumah. Dari tempatnya berdiri, akan leluasa melihat keluar, meskipun tak terlalu jelas. Tapi dari luar akan kesulitan melihat ke dalam.
Agasta pun mengikuti arah pandangan Danica. Sekilas saja ia sudah bisa menilai bagaimana tamu-tamu Danica. Wanita yang berdandan ala ibu-ibu pejabat, sudah terlihat sebagai wanita pengatur sekaligus penuntut. Agasta yakin wanita itulah yang akan banyak mendorong Danica dan Agasta tidak yakin batas kemampuan gadis itu.
"Setidaknya.... Untuk saat ini, saya tidak ingin dilihat dalam keadaannya yang tidak baik-baik saja," sambung Danica lirih.
"Memangnya mereka siapa?" tanya Agasta penasaran akan hubungan mereka terhadap Danica.
"Sahabat keluarga. Mereka yang selama ini mengurus perkebunan dan peternakan sapi perah."
"Kirain kerabat."
"Kerabat juga sih. Tapi jauh. Kerabat dari pihak Papa."
Agasta mengangguk-angguk. Tubuhnya menjingkat saat si ibu-ibu ala pejabat menempelkan kepala ke kaca di pintu, begitu juga wanita muda di sisinya yang Agasta duga adalah putri si wanita.
"Saya akan coba jaga Bapak. Tapi...." Agasta memeriksa jam tangannya. "Sepertinya Bapak akan tidur lebih tenang dan agak lama."
"Kamu bius?"
Agasta tertawa dengan bibir terkatup, khawatir tawanya justru mengundang rasa penasaran dari mereka yang ada di teras depan.
"Tadi subuh, jam tiga saya periksa Bapak, beliau ternyata sudah bangun. Saya tanya, katanya udah bangun dari jam satu."
"Kenapa Bapak bangun dari jam satu? Kesakitan?"
Agasta menatap jauh ke dalam mata Danica yang tulus dengan kekhawatirannya. Agasta semakin yakin, bahwa jauh di lubuk hati Danica, rasa rindu dan sayang itu ada.
"Sepertinya teringat masa lalu. Bapak meminta selimutnya diganti. Sepertinya ibumu almarhumah, tidak merubah susunan pakaian, kain sprei, dan lain-lain di dalam lemari. Bapak langsung menunjuk lemari mana yang harus saya buka dan selimut mana yang dia mau."
Akhirnya Danica tahu, bagaimana ayahnya bisa berselimutkan selimut milik ibunya.
"Bapak baru tidur lagi saat adzan. Jadi kemungkinan, sekarang akan tidur lebih lama," sambung Agasta.
"Nica...! Mana sih? Lama banget pintunya dibuka!" seru Yuni sembari mengetuk-ngetuk pintu.
"Udah sana. Saya akan coba jagain Bapak." Agasta menepuk lembut lengan Danica. Memberikan keyakinan pada gadis itu atas apa yang dipintanya.
"Makasih," ucap lirih Danica.
Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, Danica mendorong pintu ganda bersamaan. Biasanya, Mbok Min kalau pagi-pagi nyapu, akan membuka kedua pintu ganda dan menguncinya dalam keadaan terbuka. Jadi, orang bisa keluar masuk melewati gebyok, tanpa harus mendorong pintunya dulu.
Danica dengan sengaja membuka pintunya sedikit dan ia keluar rumah, baru menutup pintunya lagi. Ia berdiri di depan pintu, menjadi palang agar tidak ada seorang pun masuk.
"Maaf Tante. Tadi cari kuncinya dulu," dusta Danica.
"Emang ditaruh di mana sih, kucinya. Lagian pake dikunci-kunci segala." Kedua mata Yuni bergerak sengit ke arah Danica.
"Takut dicuri kali ya isi rumahnya." Paramita mengucapkannya dengan senyum manis, tetapi jelas kalimat yang terucap adalah sindiran tajam yang tidak perlu.
Danica memilih tidak meladeni. Ia diam saja dengan senyum dipaksakan.
"Ya, udah kamu minggir. Tante masuknya gimana?"
"Mmm..., di luar aja, ya, Tante."
Ekspresi Yuni dan kedua putra putrinya langsung tidak enak. Kedua kelopak mata masing-masing membuka lebar. Terhenyak dengan penolakan Danica yang tanpa kata-kata kiasan.
"Maksud kamu apa? Kamu anggap Tante ini apa, hah?" Ketidaksukaan terlontar dari bibir Yuni.
Prasaja mendekati Danica dan membelai lengan gadis itu. Hanya satu usapan karena Danica menghindar dengnan jelas.
"Nica, biarkan kita masuk, ya," ujar Prasaja dengan nada lembut. Harapannya adalah Danica mau menurut dan tidak berulah. Ibunya, kalau sudah ngamuk, ngomelnya pun akan mejadi panjang.
"Maaf, Tante. Papa baru istirahat tadi sibuh. Khawatirnya kalau ada keramaian, malah justru mengganggu."
"Kamu pikir, Tante ini di dalam bakalan teriak-teriak, hah? Kamu samakan Tante dengan orang tidak beradab? Kamu ini makin lama kok makin lancang bicaranya, ya? Punya dendam apa kamu?"
"Ma, sudah, Ma. Kayaknya, Nica berpikir kita ini cuma sekedar bawahan biasa karena Papa dan Prasaja kan bekerja di peternakan dan perkebunan miliknya. Makanya dia gak kasih ijin kita masuk," ucap Paramita yang merangkul lengan ibunya.
Menjadi kompor untuk banyak kejadian adalah ciri Paramita yang tidak disukai Danica. Wanita itu yang usianya lima tahun di atas Danica, tak pernah sekali pun bersikap dewasa. Ia selalu bisa menyela hanya untuk membuat hal yang kecil, seketika besar.
"Saya ndak pernah berpikir begitu, Mbak. Saya gak senaif itu."
"Ya, kalau gitu kenapa kita gak boleh masuk? Takut kotor rumahnya? Belum lagi, tadi pakai digembok segala. Kamu udah duga kita mau datang, 'kan? Makanya dengan sengaja kamu gembok pagarnya, biar kita enggak masuk," serang Paramita.
Rasanya, Danica ingin sekali mencekik Paramita dan menarik lidahnya sampai habis agar tidak banyak bicara yang bukan-bukan. Danica tidak suka ekspresi Pramita yang setiap mengatakan hal buruk, disampaikan dengan senyuman. Hal itu seperti Paramita ingin menjatuhkan orang, tetapi harus terlihat elegan. Seorang munafik.
"Emang tadi kenapa sampai harus digembok, sih, Nica?"
Danica menoleh ke arah Prasaja. Laki-laki itu tak ubahnya seperti kakaknya. Ia seperti seorang pengekor yang mendukung hal buruk menjadi buruk. Bukannya menenangkan, Prasaja seperti seorang yang dengan sengaja menyirami api dengan bensin. Ini satu alasan kenapa ia tak suka Prasaja, meskipun laki-laki itu sebenarnya sangat baik.
"Papa baru bisa tidur, subuh tadi, Tan." Dengan berani, Danica menatap langsung ke mata Yuni. "Dan Papa itu lagi sakit berat. Suara kecil saja, bisa membangunkan Papa. Kasihan kalau Papa yang sakit, harus kaget dan terbangun.
Saya gembok pagar bukan bermaksud, bagaimana-bagaimana terkait dengan Tante dan keluarga. Tapi kan sejak kemarin saya laporan, warga sudah tau kalau Papa pulang. Takutnya saya, ada aja warga yang datang pagi-pagi, dan tidak tahu apa-apa, akhirnya mengganggu istirahat Papa."
Sebagiannya yang diucapkan Danica adalah benar adanya. Tapi yang sebenar-benarnya adalah, Danica tidak ingin keadaan ayahnya menjadi bahan penilaian lalu digunjingkan.
Yuni yang ditatap setajam itu dengan penjelasan yang setegas itu, menjadi goyah sekaligus kesal. Danica sangat berani melawan dirinya sejak lulus sekolah, atau tepatnya sejak meninggalnya Manika. Andai bukan karena apa yang dimiliki gadis itu, Yuni tidak akan sudi punya menantu yang tak bisa diaturnya. Apalagi berani menjawab dengan cara seperti itu.
"Ya, udahlah kalau kita gak boleh masuk. Kita pulang aja." Yuni dengan ketus mengarahkan kepalanya ke rantang yang ada di meja teras. "Itu Tante bawakan bubur buat kamu, Rahadyan, sama buat tamu kamu itu."
"Lho, Ma...?" Protes terlihat dari raut wajah Paramita yang tidak ikhlas jika harus pulang. Tujuannya bukan itu dan harusnya ia sudah bisa berkenalan dengan pria yang tadi bersama Danica.
"Lah loh, apa? Wong kita ditolak begini. Apa mau ngemis-ngemis buat bisa masuk?"
Danica menelan liurnya. Tidak ingin berkomentar. Sementara itu, Paramita menatap Prasaja dengan tajam, meminta bantuan agar mereka tidak langsung pulang.
"Nica, Mama ini ke sini pagi-pagi, Cuma mau jenguk, Om. Memastikan bahwa Om baik-baik saja. Kalaupun kita gak bisa menjenguk, Om Dyan, ya setidaknya biarkan Mama melepas rindu denganmu. Tapi ya gak diluar begini. Nanti tetangga mikirnya kita ini apa."
Prasaja segera berlagak sebagai sang bijaksana. Ucapannya lembut, tetapi tekanan kalimatnya jelas sebagai titah.
"Kita masuk, ya. Ayo, Ma."
Danica mendelik sedangkan Prasaja berbalik dan dengan cepat menyelipkan jemarinya ke dalam sela-sela jemari Danica, mengunci tangan gadis itu agar tidak terlepas.
Danica gelisah. Keinginannya kuat untuk menyentak Prasaja sekaligus memakinya. Hanya saja, itu tak berani Danica lontarkan karena sinyal panas sudah ada dari pihak Yuni. Bisa-bisanya, budenya itu akan mengomel lagi dengan suara nyaring dan menarik perhatian warga sekitar.
Tepat setelah Prasaja mendorong sedikit pintu rumah, Agasta pun sedang menarik pintu ke dalam. Tubuhnya yang menjulang, menatap dingin pada orang-orang di hadapannya dan berakhir pada Danica.
"Maaf. Tamunya ndak masuk aja?" tanya Agasta terarah pada Danica yang medelik. Kemudian Agasta berpaling menatap Yuni dan memberikan senyum terbaiknya. "Sebaiknya bicara di dalam, tidak apa-apa. Tapi...."
***