Chapter 21

1223 Kata
Tak ada deskripsi untuk dirinya sendiri, Danica hanya mematung di ambng pintu. Menatap nanar lelaki renta yang duduk di tepi ranjang, yang selama hidupnya Danica, ranjang itu hanya ditiduri ibunya. Yang sepanjang hidupnya bersama sang ibu, diam-diam Danica membayangkan di sisi mana ibunya akan tidur jika ayahnya pulang; kanankah atau kirikah? Dan pertanyaan itu kini terjawab, dengan ibunya yang tak ada di sana. Tubuh Rahadyan sangat kurus. Postur tinggi tegapnya, melayu; tubuhnya cenderung bungkuk. Lelaki itu tak sepenuhnya botak, masih ada rambut-rambut beruban yang sudah tak lebat lagi. Kedua tangannya yang seperti tak berdaging, menonjolkan urat-urat tua bagaikan lilitan ribuan anak ular. Rahadyan gemetar. Tubuhnya tak kuat jika harus duduk tanpa menyandarkan tubuh. Ia sedari tadi menguatkan dirinya pada kedua tangan yang menumpu kuat di dipan ranjang. Kedua mata yang bagian bawahnya seperti menyimpan gumpalan gemuk, terdapat lipatan-lipatan yang menggelambir, berkedut, berbinar, dibarengi senyum bahagia, bak anak kecil yang baru saja melihat hadiah. Agasta berbicara dengan lirih, menanyakan ini dan itu, yang tak satu pun dijawab Rahadyan. Tapi, meskipun Rahadyan tak merespon dirinya, Agasta tetap sibuk dengan kegiatannya memeriksa Rahadyan. Dirasa tubuh Rahadyan semakin bergetar, tanpa bertanya Agasta dengan mudah mengangkat tubuh Rahadyan, merubah posisi duduknya, menjadi bersandar pada bagian kepala dipan yang terbuat dari kayu mahoni. Tatapan Rahadyan tak berpaling dari Danica. Ekspresinya pun tak berubah. Seorang yang antusias setelah sekian lama tak bertemu. Agasta yang duduk di sisi ranjang dengan menggunakan kursi kecil yang diambilnya dari bagian meja rias, memasang kembali kancing kemeja Rahadyan yang tadi ia buka semua untuk bisa memeriksa dadanya. Tangan kiri Rahadyan yang masih terpasang selang infus, terangkat dengan gemetaran. Tangan itu menempel kuat di punggung tangan Agasta yang baru memasang setengah kancing kemeja piyama Rahadyan. "Gas...Agas...." Suara parau Rahadyan, menghentikan sepenuhnya aktifitas Agasta. "Ya, Pak...?" "Itu...itu...itu Nica, Gas." Tanpa aba-aba, sebulir air mata meleleh dari sudut mata. "Itu Danica, Gas...." "Iya, Pak. Itu Danica." Agasta menoleh pada Danica yang tubuhnya seperti terpaku di ubi, tepat di ambang pintu. "Nica...." Danica tak merespon apa-apa. Ia bahkan seperti tak mendengar apa pun. Wajahnya terlihat panik, seperti sedang diserang sesuatu. Dengan bagian kening berkerut ke atas, begitu juga alis mata yang beradu sama dekat, sedangkan kelopak mata melebar. Ya, Danica diserang kepanikannya sendiri. Ia terkejut. Ia gamang. Tidak tahu apa-apa. Seseorang yang diam-diam ia rindukan, bangun, dan memanggil namanya dengan suara paraunya yang membuat hati Danica ngilu. Antara mau menangis, tetapi tak ada air mata yang keluar. Antara mau berpaling dan berlari, tetapi tubuhnya menahan Danica kuat-kuat untuk terus menatap Rahadyan. Jemari tangan Agasta diremas kuat Rahadyan. Bukan sekuat seorang yang sehat, tetapi sekuat seorang yang selama ini hanya terbaring lemah. Remasannya seperti sebuah permintaan tolong. Agasta menoleh dan menatap iba pada reaksi Danica. Ia sangat memahami jika Danica syok. Dengan lembut, Agasta menyisihkan tangan Rahadyan, dan berkata lirih, "Sebentar." Agasta mendekati Danica. Semakin dekat, Agasta semakin kasihan. Ada bagian dari dirinya yang ingin memeluk Danica dan memberikan kekuatan. Tetapi akal sehatnya, mencegah Agasta melakukan itu, karena yakin Danica akan berontak. "Nica..., ayo ke sana. Bapak memanggil," ucap lembut Agasta. Besar harapan Agasta, Danica akan memberikan respon yang positif. "Nica...." Agasta mencoba sekali lagi. Tetapi kali ini ia membelai lengan Danica lembut. Berharap, gadis itu mau meresponnya. "Bapak memanggilmu, Nica." "Tidak...." Akhirya Danica bisa bersuara. Tatapannya masihlah nanap ke arah Rahadyan yang justru tersenyum penuh damba. "Tidak...." Kaki kanan Danica terseret ke belakang. Tindakan bersiap untuk mundur. Agasta langsung memegang lembut lengan Danica. Menjaga agar Danica tidak berbalik dan kabur. "Saya temani. Ayo..." "Tidak...tidak.... Saya tidak mau." Danica menggelengkan kepala dengan wajah yang semakin panik. "Nica, jangan gitu. Kasihan Bapak. Ayo." Danica merasakan jika lengannya dipegang kuat. Ia menoleh dan menatap tajam Agasta. Masih dengan suara tertahan agar volume tidak naik, Danica berkata, "Lepaskan saya!" "Jangan egois, Nica." "Lepaskan saya! Atau saya akan lebih ganas dari ini!" Danica sudah kembali pada dirinya sendiri. Kemarahan menguasai dirinya. Ia sedang tidak ingin melihat ayahnya. Ia bahkan tidak peduli. Disentaknya tangan Agasta. Agasta tak memaksa. Ia lebih memilih menuruti mau Danica ketimbang membuat keributan di depan Rahadyan. Segera Danica berbalik dan akan berlalu. "Manika...? Manika mana..." Danica yang baru akan melangkah, jadi urung. Bersamaan Danica dan Agasta menoleh menatap Rahadyan yang mulai melihat ke sekeliling kamar. Kedua bola matanya mencari-cari. Agasta langsung tahu, jika Rahadyan sudah menarik diri dan ingatannya hanya berpusar pada Manika, almarhumah istrinya. "Bapak jarang ingat akan banyak hal Nica," ucap lirih Agasta. "Bapak tidak pernah ingat apa pun. Bapak tidak pernah ingat saya." Danica langsung keluar kamar. Agasta mengkuti dan menggapai lengan Danica begitu sudah di luar kamar. Danica berbalik dengan kasar, untuk kedua kalinya ia menyentak tangan Agasta. "Apa?!" bentak Danica. "Beri kesempatan pada Bapak begitu beliau ingat, Nica." "Hah!" Danica pura-pura tidak mengerti lalu kemudian tertawa geli. "Kesempatan? Kesempatan katamu?" tanya Danica geram. "Dua puluh empat tahun berlalu, apa tidak pernah ada kesempatan untuknya, hah? Nunggu dia sekarat dulu, baru kesempatan itu dicari-cari, gitu?" Ada jawaban yang akan keluar dari bibir Agasta, tetapi pria itu menelannya lagi. Ia merasa ini bukanlah saat yang tepat. Apalagi Danica sedang marah-marahnya. "Apa? Mau omong apa kamu? Mau belain dia, ya?" Danica tidak bodoh untuk bisa membaca mimik wajah Agasta yang bersiap untuk bicara, tetapi diurungkan. "Saya tidak melakukan pembelaan. Hanya saja, setiap orang pernah bersalah dan setiap orang selalu diberi kesempatan untuk memperbaikinya, meskipun mungkin perbaikan itu tidak utuh. Dan ayahmu, kebetulan di saat lemah-lemahnya, baru menggapai kesempatan itu." "Kenapa nunggu sudah lemah kayak gitu baru ambil kesempatan?" "Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri, Nica?' tantang Agasta dengan tetap menjaga suaranya agar tak meninggi. Ia tak ingin jika Danica semakin tersulut dengan kemarahannya sendiri. "Tidak. Saya tidak mencari jawaban. Saya sudah biasa hidup dengan segudang pertanyaan yang tak terjawab," jawab Danica ketus. "Kalau begitu, mungkin saat ini adalah kesempatan bagimu untuk mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaanmu." Danica melengos. Kata-kata kesempatan ini menjadi berbalik pada Danica. "Bapak menderita Dementia. Saya yakin sejak subuh itu saya mengatakan apa sakit Bapak, kamu pasti sudah mencari informasi dengan sejelas-jelasnya. Bapak mengalami kemunduran dengan memorinya. Karenanya, saat ia berhasil menarik ingatannya, jangan kamu sia-siakan, Nica. Tanyalah. Tanyalah apa saja yang pernah terlintas dalam hidupmu. Jika Bapak, sudah kamu anggap terlambat dalam mengambil kesempatan sepanjang dua puluh empat tahun ini, maka..., sebaiknya kamu tidak terlambat mengambil kesempataan saat Bapak kembali dengan ingatannya." "Jangan mengajari saya!" "Saya tidak mengajarimu. Saya mengingatkanmu. Beliau sudah sangat tua. Penyakitnya bukan hanya sekedar Dementia. Tidak ada yang tahu seberapa lama lagi ia mampu bertahan. Saya rela meninggalkan semua, hanya agar saya tidak kehilangan kesempatan untuk membantu Bapak. Saya harap, kamu pun begitu. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan dan menyesal di sepanjang hidupmu." "Saya tidak akan menyesali apa pun." Pernyataan yang tak terdengar kuat. Pernyataan yang dipaksakan keluar hanya agar dirinya tidak lemah. Ia sudah sangat membenci ayahnya dan Danica ingin ayahnya tahu akan itu. "Kamu pasti akan menyesalinya, Danica." "Kenapa saya harus menyesal? Saya tidak bersalah apa-apa." "Sama sepertimu yang menganggap Bapak bersalah karena menyia-nyiakan banyak kesempatan, maka kamu pun tidak ada bedanya." Agasta menghela napas. Ia harus menyudahi pembicaraan ini. Rahadyan di kamar sendirian. "Tenangkan dirimu, Nica. Mungkin setelahnya kamu mau mencoba mengambil kesempatan untuk berdamai." Agasta berbalik dan kembali ke kamar. Meninggalkan Danica yang ingin berteriak. Danica segera kembali ke kamarnya. Ia akan menangis dan marah di balik bantal. "Manika mana, Gas?" tanya Rahadyan begitu melihat Agasta masuk. Agasta memberikan senyuman palsu dan mendekat. "Ibu sedang tidur, Pak." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN