Chapter 22

1090 Kata
"Nah, ini blendernya." Mbok Min keluar dari gudang dengan membawa blender makanan dan buah berwarna putih. "Apa masih bisa dipakai, ya?" Mbok min menyodorkan blender yang terlihat sangat bersih, dengan mesinnya ke Agasta yang duduk di dipan dekat kompor kayu. Agasta pun segera berdiri dan menerima blendera yang tadi dia minta. "Masak pakai kayu begitu apa tidak kelamaan, Mbok?" tanya Agasta sembari memeriksa mesin dan tabung blendernya. "Kalau masak air untuk mandi, ngukus atau bakar-bakar, enak pakai kayu, Mas. Gak boros gas. Juga matengnya makanan itu pas. Rasanya juga beda. Coba dites di sini, Mas." Mbok Min menunjukkan colokan listrik di dekat meja segi empat. Agasta menurut dan mulai menguji mesin blender yang ternyata masih berputar. Agasta tersenyum dan bergegas masuk ke dalam. Ia keluar dengan membawa sekaleng sereal gandum, sekotak s**u tanpa lemak, dan buah pisang. Agasta melepaskan tabungblender dari mesinnya dan berniat mencucinya dulu. Mbok Min memaksa untuk melakukannya, tetapi Agasta lebih keras lagi. Dengan terkekeh, Mbok Min membiarkan Agasta melakukan apa pun. Agasta mengeringkan semua tisu karena daya serap tisu lebih baik ketimbang kain lap biasa. Ini lebih mengnhemat waktu karena akan segera digunakan. "Mbok Min kerja di sini sudah lama?" tanya Agasta yang menutul-nutulkan tisu ke pisau mesin blender. "Lama banget, Mas. Dari sebelum Mbak Nica lahir, malah." "Awet ya, Mbok Min. Pasti karena di sini keluarganya baik." "Iya. Kerja di sini, saya dan keluarga saya dihargai, Mas. Anak-anak saya bisa kuliah juga karena keluarha di sini. Terutama almarhumah Ibu." "Oh, ya? Berarti Mbok Min, punya anak sudah kuliah semua sekarang?" "Malah sudah kerja, Mas. Saya punya anak itu dua. Laki sama perempuan. Yang laki kerja di tambang. Yang perempuan jadi guru." "Sudah sukses semua, putra putrinya. Tapi, Mbok Min masih setia kerja di sini. Anak-anak ndak minta Mbok Min berhenti?" "Sudah sering. Sayanya gak mau. Saya mau mengabdi di sini sampai saya benar-benar tidak kuat dan tidak diinginkan lagi. Hutang budi saya banyak dengan keluarga ini. Saya ingin membalasnya. Apalagi, Bapak pulang. Saya mau mengabdi dulu sama beliau. Kalau ndak ada Bapak, saya mungkin sudah menjadi..., wong gak beneh, dodol awak." Agasta terkesiap. Terkejut mendengar pernyataan Mbok Min. "Kenapa bisa begitu, Mbok?" "Saya diusir dari rumah. Mantan suami saya bawa perempuan lain tinggal di rumah. Padahal saya lagi meteng wolu bulan, Mas. Keleleran saya di jalan dua hari, Mas. Bawa anak yang pertama, usianya tiga tahun juga meteng. Mau pulang, isin yo mesakno orang tua, Mas. Untung ketemu Bapak. Saya di ajak ke rumah ini. Itu Bapak belum menikah, baru lulus sekolah. Trus setelah saya istirahat, saya diantar pulang. Dijanjiin, setelah anak lahir, saya kuat, saya siap kerja, saya dibolehin kembali ke sini. Ya, sudah trus saya kerja di sini." "Lama juga berarti ya, Mbok." Mbok Min mengangguk sembari tersenyum. "Orang baik dapat orang baik, Mas. Bapak dapat Ibu yang sangat baik." "Mbok Min.... Mmm.... Kalau misalnya.... Ibu masih hidup, kira-kira apa Ibu akan menolak, Bapak, ya?" "Pasti Ibu menerima. Ibu sudah lama memaafkan Bapak. Hanya saja, Ibu nunggu Bapak yang pulang bukan Ibu yang nyuruh pulang." *** Agasta sudah selesai dengan Rahadyan. Lelaki itu kembali tidur setelah makan. Rahadyan memang kembali lagi menjadi bayi yang kerjanya hanya makan dan tidur. Penyakitnya membuat Rahadyan menjadi sering lelah meskipun hanya sekedar duduk-duduk saja. Apalagi, sebelumnya sudah melakukan perjalanan jauh. Sekarang, urusan Agasta adalah dengan Danica. Gadis itu belum sarapan. Bahkan belum makan apa-apa selain gorengan pisang yang hanya digigit belum ada separuhnya. Tidak peduli akan bagaimana reaksi Danica, yang jelas Agasta harus bisa membuat Danica keluar kamar dan sarapan bersamanya. Agasta mengetuk pintu kamar tamu yang sekarang menjadi kamar Danica, berulang-ulang dan pintu dibuka dengan hentakan. "Apa?" tanya Danica kesal. "Mau ajak ribut?" "Mau ajak makan. Ayo, sarapan," ajak santai Agasta. "Saya kenyang. Makan aja sendiri." Danica sudah akan menutup pintu, tetapi Agasta menahannya dengan satu tangan. "Apa, sih? Budek, ya? Saya gak mau makan. Saya sudah kenyang." "Kamu kenyang memangnya abis makan apa? Gorengan aja, tadi Cuma sedikit." "Sedikit itu buat saya dah mengenyangkan." "Usus halus manusia itu panjang normalnya enam meter. Usus ini gak berhenti melumat. Kalau kamu gak kasih masuk makanan, yang ia lumat Cuma cairan asam dan udara. Itu penyebab Magh. Atau yang parah lagi, lambungmu akan terluka. Kalau lambungmu terluka, tindakan medianya adalah kamu harus...." "Arghhh!" Danica menghentak pintunya lebih lebar terbuka, mendorong tubuh Agasta, dan keluar dari kamar dengan langkah kaki sengaja dihentak-hentak. Danica duduk di kursinya pun dengan kasar. Membuat Prabu mendelik, khawatir akan keselamatan b****g Danica. "Mungkin setelah ini, kamu perlu rontgen," ucap Prabu yang menyusul Danica ke meja makan dan duduk di sebelah Danica. "Maksud kamu apa?" Danica melirik sengit. Api seperti keluar memercik dari sudut mata Danica yang marah. "Kamu mau bilang kepala saya retak, hah? Karena saya marah-marah terus, begitu?" Agasta dengan sangat kalem, mengambil piring Danica dan berniat untuk menuangkan nasi hangat di atasnya. Tapi Danica menarik piringnya dari tangan Agasta. "Jawab! Kamu mau ngatain saya, kan?" Agasta menghela napas. Sepertinya Danica terlalu salah paham. "Saya gak suka ngatain orang. Lagi pula apa urusannya sama kepalamu. Memangnya tadi kepalamu terbentur sesuatu?" "Tru kenapa suruh saya rontgen?" "Itu bokongmu. Tadi kamu duduknya kasar gitu sampai bunyi 'bug'. Kan saya jadi khawatir ada tulang ekor retak atau apa." Wajah Danica bersemu. Ia salah sasaran. Malu membuatnya tidak mau kalah. Sembari mengambil nasi. Danica berkata, "Perhatian amat sama b****g orang. Berarti matamu suka lihatin b****g setiap orang terutama perempuan, ya, kan?" "Kenapa jadi ke sana-sana segala? Itu tadi kan karena kamu duduk." "Iya, jadi kamu terbiasa perhatian ama duduk orang. Memastikan keadaan b****g tiap orang." "Ya gak gitu juga, Nica. Ngapain juga saya perhatian sama b****g orang, sih." "Nah itu pertanyaannya. Ngapain juga kamu perhatian ama b****g saya? Mau retak, kek. Mau patah-patah, kek. Mau linu, kek. Gak ada urusan sama kamu." Agasta menarik napas dalam-dalam. Andai dirinya saat ini kesusupan apa saja yang gahib, ia ingin makan meja makan, mengunyahnya, dan menyemburkannya ke Danicaa. Bicara dengan gadis itu, hanya membuat darah tingginya naik. Setelah Danica mengambil nasi lengkap dengan lauk pauknya, ganti Agasta. Pria itu mengambilnya dengan kasar dan tergesa-gesa. Sempat mendengkus saat sepotong tempe yang akan diletakkan di piringnya malah terjatuh di meja. "Emosi, Pak?" sindir Danica. "Enggak. Saya lapar. Dan saya kalau sudah lapar, kamu pun bisa saya makan!" Agasta menatap tajam Danica. Kini ganti percikan api keluar dari mata Agasta. Danica memilih aman dengan diam dan mengunyah makanannya. Tetapi, tak lama sebuah senyum kecil terukir di bibir Danica. *** Catatan kecil: wong gak beneh, dodol awak = orang yang gak bener, jual diri. meteng wolu = hamil delapan mesakno = kasihan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN