Terus-menerus Rahadyan membelai motor barunya. Motor idaman yang dipesan khusus dari Jakarta. Motor yang dibeli dengan gaji pertamanya sebagai seorang pelayar. Motor yang orang tuanya bilang sudah sampai di rumah, tetapi dirinya masih berlayar, dan harus menunggu dua bulan kemudian untuk bisa menyentuhnya. Benar-benar sebuah motor istimewa.
"Dilihat terus, apa ndak lecet motornya?"
Seorang wanita ayu dengan sanggul buatan tersemat di belakang kepala, dan mengenakan kebaya, keluar dari dalam rumah. Menatap Rahadyan dengan senyum lebar juga menggoda dengan kedipan mata, lalu tertawalah mereka berdua.
Wanita tersebut mendekati Rahadyan dan ikut-ikutan menatap motor tersebut dengan berbinar.
"Kamu bisa makenya apa ndak, toh, Dyan? Kok, dari kemarin Cuma diliatin tok motornya?" Si wanita mulai mengelus motor milik Rahadyan dengan kekaguman.
"Bisalah, Bu. Ngecelah Ibu ini."
Tawa kembali terdengar dri keduanya.
"Ya, kalau bisa, mbok ya dipake jalan-jalan atau apa gitu, lho. Ke peternakan sana, liat bapakmu. Ah...! Sekalian kamu aja ya, yang bawa rantang buat Bapak. Kasiahn kalau Ujo yang bawa. Sekali-kali dia biar istirahat. Dan ngengkol sepeda jauh-jauh."
"Ya wes, mana, Bu," jawab Rahadyan antusias.
Ibunya langsung sumringah dan beranjak ke dalam sembari memanggil seorang asisten rumah tangganya. Ia meminta si asisten untuk mengambilkan rantang makan siang suaminya.
Rahadyan sendiri, mengambil jaket berbahan jeansnya dengan semangat, di dalam kamar. Sempat ia mematut diri di cermin. Rambutnya masih terpotong rapi, tidak mengikuti jaman yang deras dengan model potongan rambut gondrong ala band ternama Inggris, 'The Beatles'.
"Ini. Bisa kamu bawanya?"
Baru keluar kamar, ibunya sudah menyodorkan rantang hijau dengan uliran batik yang aneh berwarna putih. Rahadyan menerima dan menimbang berat rantang tiga susun itu. Lingkar rantang tidaklah besar, tingginya juga biasa saja, tetapi dalam hati Rahadyan yang tadinya yakin, tiba-tiba jadi ragu bisa membawanya.
Motor Kawasaki Binter Merz-nya, bukanlah motor bebek yang memiliki sandaran penghubung dibagian tengah antara setir dengan jok motor. Mau tidak mau, Rahadyan harus menggantung di stang motor sisi kiri.
Setelah keluar rumah, ternyata Rahadyan agak kesulitan. Ia berulang kali mengeluh. Hati-hati Rahadyan membawa motornya, khawatir si rantang jatuh.
Rahadyan melihat seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu, berjalan tenang di sisi jalan. Ia melihat kesempatan. Bukan untuk menggoda, melainkan untuk membantunya.
Rahadyan langsung memacu motornya sebentar, melewati si perempuan dan ia langsung berhenti.
Rahadyan turun dari motor, meletakkan rantang makanan di sadel motor, sembari dengan sabar menanti mendekatnya si perempuan.
Perempuan itu seperti seorang gadis remaja yang sepertinya masih berusia belasan tahun, tapi Rahadyan menduga usianya sepantaran dengan dirinya, wajahnya saja yang imut mengesankan jauh lebih muda. Wajahnya sangat manis, bahkan termanis dari para gadis; teman-temannya yang ia kenal. Rambut pendeknya, model bob, membingkai wajahnya yang oval. Mengenakan gaun terusan warna biru, si gadis terlihat segar sekaligus menonjol.
Rahadyan tersenyum manis. Dalam hati bertanya-tanya siapa gadis itu. Ia belum pernah melihatnya.
Si gadis yang sadar sedang dipandangi, hanya bisa mengeluh lirih, kesal dalam hati, dan menunduk untuk menghindari tatapan mata si pria. Gadis itu tetapi memiliki rasa penasaran juga. Sesekali ia mengangkat kelopak matany, untuk melihat sekilas si pria. Pria yang tertampan dan terapi. Si gadis yang awalnya khawatir, menjadi biasa. Ia tak takut karena penampilan si pria yang sangat kalem.
"Hai," sapa Rahadyan yang langsung menghentikan langkah si gadis.
Si gadis yang berhenti di hadapan Rahadyan, menatap sekilas Rahadyan dan kemudian beralih pada rantang makanan.
"Saya Rahadyan." Rahadyan mengulurkan tangannya dengan antusias.
Si gadis awalnya ragu, tetapi akhirnya menyambut juga uluran tangan Rahadyan. "Saya Manika."
***
Perlahan, Rahadyan membuka mata. Ia mengerjap berulang kali dan menatap ke sekeliling. Mulai mengenali kembali keberadaannya. Lemari di sisinya. Meja rias di sudut lain. Meja dan kursi di dekat jendela dan lemari lainnya yang Rahadyan ingat adalah lemari untuk menyimpan sprei dan selimut bersih.
Ia berada di kamarnya. Kamar yang sudah lama ditinggalkannya. Sangat lama.
Jantung Rahadyan berdegup kencang akan kerinduan yang menggebu. Kedua bola matanya berair-air, meyakinkan diri sendiri kalau ia sudah pulang.
Perlahan Rahadyan bangun dan duduk. Bibirnya gemetaran, menyebut sebuah nama, "Manika.... Saya pulang...."
***
"Kamu terbiasa ya bikin janji atau harapan untuk para wanita?" tanya ketus Danica sembari menatap Agasta yang baru masuk setelah mengantar kepergian Yuni dan dua putra putrinya.
"Maksudnya?" tanya Agasta balik dengan bingung.
"Lain kali, mungkin kita bisa jalan-jalan." Danica mengulang kata-kata Agasta dengan mimik wajah yang dibuat aneh. Bibir dimonyongkan dan kepala bergerak-gerak seperti boneka kayu dengan pir di bagian lehernya.
Agasta menunduk, menyimpan tawa agar tak keluar menjadi bahak yang akan membuat Danica makin emosi.
"Apa kamu ounya ide bagaimana cara mengusir mereka? Kamua aja banyak diamnya."
"Ya, karena saya gak suka menjanjikan apa-apa."
"Oke.... Kalau kamu sudah mengkritik saya, lalu apa saran buat saya nantinya?"
Danica menelan ludah. Dirinya ditodong padahal ia tak punya apa-apa sebagai jalan keluar. Budenya, Yuni dan putri sulungnya, Paramita, adalah seorang yang akan jauh lebih ngotot. Jika belum mendapatkan kepuasan, keduanya tidak akan berlalu. Prasaja pun sebenarnya begitu, hanya saja, Prasaja masih bisa diberi pemahaman agar tak mendesak.
"Ya pokoknya gak usah menjajikan apa-apa kalau tidak bisa," jawb Danica seada-adanya. Sedikit memalukan karena itu jawaban anak kecil yang sepertinya cemburu akan sesuatu.
"Bisa, kok. Saya juga ingin melihat-lihat apa isi kota ini. Bapak selalu menceritakan banyak hal menarik di kota ini. Tapi, saya belum ada kesempatan ke sini. Jadi..., gak ada salahnya saya menerima ajakan mereka untuk jalan-jalan."
"Alasan klasik laki-laki. Kamu sebenarnya hanya ingin bersama si Mita."
Agasta memberikan sengiran menggoda sembari berjalan perlahan mendekati Danica. Matanya tak beralih dari manik mata Danica. Mengikat gadis itu agar tak lari.
Jantung Danica berlarian. Gengsinya menghalangi Danica memalingkan wajah atau berbalik badan. Tetapi deburan jantungnya, membuat Danica tidak keruan. Langkah Agasta yang semakin mendekat, membuat Danica semakin blingsatan.
Sebuah towelan lembut mendarat di ujung mancung hidung Danica.
"Kalau cemburu, bilang, Bos." Agasta terkekeh dan berlalu meninggalkan Danica yang kemudian menjadi kesal sendiri.
Berlalunya Agasta, kembalinya Danica. Ia merapatkan bibir dan menarik napas. Tidak terima dengan ucapan Agasta, Danica berbalik dan mengejar langkah Agasta yang sudah masuk ke dalam kamar ayahnya.
"Yang cemburu sa...."
Ucapan Danica yang awalnya menggebu-gebu, seketika menguap. Bibir Danica yang terbuka, tak bisa ditutup. Kedua mata yang membeliak karena kesal, kini semakin lebar kelopaknya membuka. Danica sedang tidak marah, ia sedang sangat terkejut.
Ayahnya, bangun, duduk dan menatap Danica dengan senyumnya yang membuat Danica pedih.
"Nica...." Rahadyan menyebut nama yang ia berikan pada gadis di ambang pintu, dulu saat bayi. Nama istimewa yang ia susun dengan pemikiran matang. Nama oenuh cinta tanpa kesudahan. "Danica.... Papa pulang...."
***