Mentari pagi sudah tak malu-malu lagi menyembunyikan keemasannya. Kehadiarannya sebenarnya banyak ditunggu untuk memberikan kehangatan setelah malam yang begitu dingin dan panjang. Binarnya, memberikan pantulan unik bak pelangi kecil pada setiap embun yang masih enggan menguap. Ketika tersentuh kulit, embun-embun itu memberikan kesegaran yang jarang didapatkan bagia dua insan yang banyak menghabiskan waktu di kota.
Agasta dan Danica, menikmati perjalan masuk ke area makam dengan jalan kaki. Sepeda motor Danica sudah diparkir di luar are makam.
Sandal Agasta model selop, menyadari bahwa rumput-rumput di pemakaman basah, ia dengan sengaja melepas selopnya. Dalam diri berniat untuk membeli sandal model jepangan. Sedangkan Danika, memainkan tangannya pada setiap kerindangan tanaman puring dan kamboja. Daun-daunnya meneteskan embun-embun yang sedang bertengger manis. Tangan Danica basah, tetapi ia tak keberatan.
Agasta membawa sandal dan jirigennya. Sedangkan Danica membawa kresek berisi bunga.
Keduanya sampai pada sebuah makam yang sangat terawat. Makam tersebut dikijing dengan batu alam. Yak ada lumut, tak ada rumput di dalam bagian kijingnya.Terukir sebuah nama dan tanggal kelahiran sekaligus tanggal kematian di bagian maesan.
Agasta dan Danica berjongkok dan masing-masing menadahkan kedua tangan, menunduk khidmat, lalu bibir mulai membaca doa dengan lirih.
Ma.... Apakah ini alasan Mama mendatangi saya? Mama tau kalau Papa akan pulang? Tapi, Ma..., saya bingung harus bagaimana. Bahkan menatap Papa lama-lama pun saya tak bisa. Ada perasaan marah dan tidak ikhlas akan kedatangan Papa. Kenapa baru sekarang pulang setelah keadaannya yang seperti itu? Dulu waktu masih sehat-sehat saja, Papa ke mana?
Saya harus bagaimana, Ma...? Papa belum tau kalau Mama sudah pergi. Dengan keadaannya, saya tidak tega menyampaikan kebenaran ini. Ya, Tuha.... Saya marah dengan Papa sekaligus saya kasihan dengan Papa. Beritahu saya, Ma. Saya harus apa?
Perlahan Danica membuka matanya setelah selesai berdoa. Terheran-heran mendapati Agasta yang menatap nisan ibunya dengan begitu dalam. Wajah Agasta dari samping terlihat seperti sedang menanggung sedih. Danica tidak mengerti kenapa Agsta terlihat seperti itu.
Danica memutuskan diam tak menganggu Agasta. Sampai kemudian Agasta menoleh menatap Danica dan memberikan senyum yang samar.
"Ibumu seorang wanita yang luar biasa."
Kening Danica mengernyit. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Agasta memuji ibunya.
"Kayak kamu kenal Mama saya aja," cibir Danica.
"Secara personal, pasti enggak. Tapi..., Bapak sering bercerita tentang beliau. Membuat saya merasa kenal saja."
"Memangnya apa yang Papa omongin tentang Mama?" Rasa penasaran tak bisa dibendung Danica.
"Banyak." Agasta mengusap lembut kijing Manika. "Yang jelas, ibumu adalah wanita yang sangat luar biasa. Seorang wanita dengan hati yang sangat mulia. Seorang wanita yang benar-benar terlahir sebagai ibu."
"Tidak dengan ibu saya." Agasta menghela napas. "Seorang wanita, memang tertakdir menjadi seorang ibu. Tetapi tidak semua wanita menjadi seorang ibu yang sebenar-benarnya ibu."
Danica melihat kesenduan yang semakin dalam dari raut wajah Agasta. Bibir yang mengatup, seperti mengerucut.
"Bahasamu hanya membuat pusing aja. Tapi, terima kasih pujianmu untuk Mama."
Agasta tak menyahut. Ia menyorongkan kresek isi bunga ke Danica. Gadis itu mulai menabur bunga dan Agasta menyirami tanah makam.
"Jangan dihabiskan!" cetus Danica sembari memasukkan kembali bungkusan daun pisang yang berisi sisa bunga ke dalam kresek lagi.
"Kenapa?"
"Untuk ke makam satunya lagi."
Agasta mengernyit bingung.
"Udah, ayo."
Danica sekali lagi menunduk khidmat. Menyampaikan perpisaha pada ibunya di dalam hati. Lalu ia melangkah ke bagian lain makam. Agasta hanya mengikuti dengan bingung dan mengira-ngira dalam hati. Mungkin Danica ingin ke makam kakek dan neneknya juga. Tahu begitu, Agasta tentunya akan meminta bunga tambahan pada Mbok Min.
Danica berhenti di depan makan yang jauh lebih sederhana dari makam ibunya Danica. Makam itu hanya dikelilingi batu marah yang sebagiannya dipendam. Mirip pagar. Maesannya pun jauh lebih sederhana. Terbuat dari kapur putih.
Tertera nama Ajeng di sana, dengan tahun kematian lebih muda dari ibunya Danica.
Agasta terkejut bukan kepalang setelah membaca nama yang tertera. Bibirnya hampir terbuka untuk berkata sesuatu, tetapi segera dikatupkannya. Ia memutuskan diam dan mengikuti Danica berdoa.
"Ini makam siapa. Nica?" tanya Agasta setelah yakin melihat Danica selesai berdoa.
"Sahabat Mama. Sahabat dari kecil."
"Ibumu cerita apa tentang beliau?"
Danica menoleh, "Banyak. Kenapa? Kamu mau tau?"
Agasta hanya meringis malu. Ia memang ingin tahu, tetapi cara bertanya Danica seolah-olah menempatkan Agasta seperti ibu-ibu arisan yang pingin mengorek-ngorek sesuatu.
"Kamu pasti sangat dekat dengan beliau?" tanya Agasta dengan tatapan menyelidik.
"Tidak terlalu. Saya mengenal beliau ketika masih SMP. Mama mengajak saya ke rumah sakit."
"Beliau sakit? Sakit apa?"
"Bisa gak kalau tanya itu santai aja." Lirik Danica menyindir. Sikap Agasta terasa berlebihan saat melihat makam Ajeng. Seperti seorang yang antusias bisa menemukan sesuatu. Hal yang aneh.
"Hehehe..., penasaran aja."
"Sakit kanker paru-paru."
Danica memberi isyarat menghentikan pembicaraan dengan mulai menabur sisa bunga sampai habis dan Agasta pun menyirami tanah makam sampai air dalam jirigen habis. Baru setelahya keduanya memutuskan pulang.
Saat akan naik ke atas motor, Prabu bertanya pada Danica.
"Bagaimana perasaanmu saat melihat almarhumah Tante Ajeng untuk pertama kali?"
***
"Duh.... Bener kan mereka datang," keluh Danica yang bisa didengar Agasta.
Keduanya bisa melihat mobil Prasaja terparkir. Juga melihat Prasaja berdiri bersama dua orang wanita yang berbeda usia.
Wanita satunya yang lebih tua, ia duga adalah ibu Prasaja. Penampilannya terlalu istimewa untuk sekedar berkunjung di pagi hari. Menggunakan gaun terusan warna jingga dan aksesoris emas lainnya, ibu Prasaja di mata Agasta terlihat seperti penjual emas keliling yang ikonik. Menyilaukan suasan pagi ketimbang membawa kecerahan.
Wanita lainnya, lebih muda. Agasta mengira-ngira kalau bukan kakaknya Prasaja ya adiknya Prasaja. Rambutnya panjang terurai. Terlihat sangat lebat. Ia mengenakan kaos putih polos yang sangat ketat di tubuh dan celana hitam yang juga ketat di kakinya. Seperti sengaja menonjolkan lekuk-lekuk tubuh dengan sengaja.
Ketiganya pun sudah melihat Agasta dan Danica. Ketiganya berdiri berjajar menanti motor Agasta mendekat.
"Nica! Kok, digembok pagarnya? Itu si Min mana? Di bel berkali-kali kok gak dibuka," keluh Yuni dengan wajah masam.
Danica yang baru turun dari motor, mendekati Yuni dengan langkah santai dan mencium tangan Yuni.
"Maaf, Bude." Itu saja yang Danica ucapkan. Ia malas menjelaskan panjang kali lebarnya kecuali jika ditanya.
"Memangnya kamu ke mana, toh? Pagi-pagi pergi sama siapa toh ini?" Yuni menelusuri sosok Agasta yang masih duduk di atas motor. Dalam hati mengangumi ketampanan Agasta yang melampaui putranya sendiri.
"Agasta, Bude. Permisi, Buda, saya buka pagarnya dulu."
Danica menyapa lirih Paramita dan kemudian membuka gembok pagar. Ia mempersilakan semua masuk dan menunggu di teras karena pintu rumah dikunci dari dalam. Jadi Danica harus masuk dulu lewat belakang.
"Merepotkan, sih. Memangnya kenapa pakai digembok segala? Dikunci segala? Biasanya juga enggak kalau sudah pagi."
Danica hanya diam mengangguk dan berlalu diikuti Agasta yang sudah memarkirkan motor Danica di dekat mobilnya.
Langkah Danica berhenti setelah di dapur. Ia berbalik menatap Agasta serius.
"Jagain Papa. Jangan biarkan Papa keluar dari kamar. Tutup aja pintu kamarnya. Bisa, kan?"
Agasta melihat kekhawatiran di mata Danica. Bukan malu. Tapi lebih ingin menjaga sang ayah dari para tamunnya tadi.
"Saya bisa aja. Tapi kalau mereka maksa masuk dan ingin melihat Bapak bagaimana?"
***