Dengan hati-hati, Minah menuangkan air panas ke dalam dua baskom berbeda ukuran. Satu lebih lebar dan satunyanya sedikit lebih kecil. Yang lebih lebar sudah diberi garam laut kasar sebanyak-banyakya dan wadah satunya diberi handuk kecil. Minah menambahkan air biasa agar air yang tadinya panas, bisa menghangat dan ama untuk kulit jika direndamkan ke dalamnya.
Setelah dirasa pas, Minah pelan-pelan membawa baskom yang yang lebas masuk ke dalam, ke kamar Manika. Suara batuk-batuk yang serak, terdengar sejak Minah masuk ke ruang tengah. Batuk yang bagi siapa saja yang mendengarnya, bisa ikut merasakan betapa gatalnya tenggorokan. Seperti ada binatang-binatang kecil yang menggaruk liang kerongkongan dan sulit dikeluarkan.
Manika tidur terbaring dengan posisi meringkuk. Selimut menutupi tubuhnya hanya sampai sebatas pinggang. Saat Minah masuk kamar, kembali Manika terbatuk-batuk. Di setiap batuknya, Manika harus meringkuk lebih dalam agar otot-ototnya tak terlalu sakit.
"Bu..., air buat kakinya sudah siap." Minah mengatakannya dengan sangat lirih. Pelan-pelan ia meletakkan baskom berisi air hangat garam di lantai, dekat tempat tidur.
Manika tersenyum mengangguk. Perlahan ia mencoba bangun dibantu Minah. Semakin hari, rasanya semakin payah bagi Manika menggerakkan tubuhnya, bahkan untuk sekedar bangun dari tidur. Manika hanya memiliki kekuatan tegar untuk bangun adalah hanya saat ada Danica.
Manika tidak ingin putrinya tahu akan kesakitannya. Cukup Danica tahu kalau Manika tahu, tapi ia tak mau Danica tahu kalau penyakitnya semakin menggerogoti dirinya. Manika hanya membagi rasa sakitnya dengan Minah.
Sembari sedikit meringis, Manika dibantu Minah, memasukkan kedua kakinya satu per satu ke dalam baskom air hangat. Ia duduk sembari kedua tangannya memegang kuat pinggiran tempat tidur.
Minah kemudian kembali ke belakang untuk mengambil wadah baskom untuk menyeka wajah dan tubuh Manika. Sekembalinya dari belakang, Minah melakukan tugasnya. Melepaskan pakaian Manika, menyekanya lembut, yakin sudah bersih, barulah Minah memakaikan pakaian baru untuk Manika.
Selama proses itu, Minah hanya bisa meringis menatap tubuh Manika yang semakin pucat dan semakin kurus. Setiap batuk, Minah bisa merasakan tulang-tulang di tubuh majikan mudanya itu bergetar. Rasanya ngilu sekali. Padahal Minah tidak ikut sakit.
Setelah menyeka wajah dan tubuh Manika selesai, setelah Manika dibantu mengenakan pakaian baru, Minah ke belakang membawa pakaian kotor dan baskom kecilnya.
"Airnya sudah, Bu?" tanya lembut Minah setelah kembali lagi dari belakang.
Manika hanya mengangguk lemah. Manika mengangkat kakinya dan dibantu Minah, Manika duduk bersandar di atas tempat tidur. Ia terlihat kelelahan, meski hanya duduk saja. Duduk tanpa sandaran membuat tenaga Manika terkuras.
Minah mengambil minyak Zaitun dan mulai memberi pijitan ringan di kaki Manika.
"Kapan Ibu periksa?" tanya Minah yang terus menerus mengkhawatirkan keadaan Manika yang terasa semakin parah.
"Gampang, nanti. Tunggu Danica selesai ujian."
"Tapi ini sepertinya makin sakit saja."
"Ah, endak kok. Cuma ini cuaca dingin bikin batuknya menjadi-jadi. Coba kalau agak siangan, pasti gak pa-pa."
Minah diam. Sulit berdebat dengan majikan mudanya itu jika terkait kesehatan. Tak ada pilihan selain Minah menurut saja dan berdoa terus agar Manika lekas sembuh.
"Saya ndak mau bikin Danica kepikiran, Mbok. Dia masih muda. Apalagi ini, Danica lagi ujian negara. Anak itu butuh fokus yang lebih."
Minah hanya mengangguk saja.
"Mbok...."
"Dulu waktu Danica usia lima tahun, saya membawannya ke sana."
Minah terkejut. Pijatannya pun berhenti. "Iya Bu? Trus bagaimana?"
"Pagar rumahnya digembok, saya tidak bisa masuk."
"Pindah, Bu?"
Manika diam sesaat. "Mungkin. Saya juga ndak berani tanya-tanya."
Minah menarik napas dan menghelanya perkahan. Memahami apa yang dirasakan Manika saat itu.
"Waktu Ajeng pulang. Saya kembali ke sana, tetapi kali itu saya gak bawa Nica. Mereka ada, tetapi saya tidak diizinkan masuk. Saya tidak diberi asalan, tetapi saat itu saya bersyukur karena tidak membawa Nica."
Minah masih setia mendengarkan sedangkan Manika kembali terbatuk-batuk. Minah kemudian mengambil air jahe hangat yang ada di meja kecil. Manika meminumnya cepat-cepat agar rasa gatal di kerongkongan mereda.
"Mbok...."
Minah yang baru meletakkan gelas, kembali ke meja kecil, bergegas mendekat. Tepukan tangan Manika di sisinya adalah isyarat halus Manika agar Mbok Minah duduk di sisinya, tidak lagi di ujung kakinya. Minah menurut.
"Iya, Bu." Minah menatap wajah majikan mudanya yang semakin tirus. "Kenapa, Bu?"
"Saya minta tolong, ya, Mbok."
"Apa, Bu?"
"Kelak, kalau Danica bertanya-tanya, berilah dia petunjuk. Kasihan anak itu. Orang-orang dewasa yang berbuat dosa, membuat kericuhan, menciptakan aib, tetapi anak itu yang menanggung semua. Saya amat sangat berdosa padanya, Mbok. Saya titip Danica. Tolong asuh dan jaga dia untuk saya, ya, Mbok."
***
Dibarengi embun yang enggan bergulir jatuh. Suara shalawat yang berkumandang dari masjid. Kegelapan yang masih menyeluruh. Dan keheningan akan subuh yang menanti mentari. Mbok Min menangis tanpa suara dengan posisi berjongkok menghadap tungku kuno yang apinya baru saja ia nyalakan.
Semalam ia bermimpi akan majikan mudanya, Manika. Wanita yang ia jaga sesuai dengan amanat Rahadyan, pria yang sudah menyelematkan hidupnya dan kedua anak-anaknya.
Dalam mimpinya, Mbok Min melihat Manika berdiri di ambang pintu kamar pribadinya. Memunggungi Mbok Min yang muncul dari dapur hendak ke ruang tengah. Mbok Min merasa keheranan kenapa Manika tidak masuk saja ke kamarnya dan malah berdiri bengong di depan kamar.
Perlahan Mbok Min mendekat dan menyapa, "Bu..., Bu Manika...."
Manika menoleh dengan air mata yang mengalir deras. Tangisnya menular. d**a Mbok Min digempur kesediha akan sesuatu yang belum bisa ia maknai. Tak ada kata-kata yang keluar, sampai kemudian Mbok Min terbangun dengan d**a sesak karena tangis yang terbawa sampai dunia nyata.
Jika diingat mundur jauh ke belakang, Mbok Min menjadi sangat sedih sekaligus marah.
Saat Rahadyan menikah dengan wanita yang ia cintai; Manika, saat itulah yang diinginkan Mbok Min adalah kebahagiaan bagi keduanya. Mbok Min juga mengikrarkan diri untuk setia pada Manika yang untungnya adalah seorang wanita bersahaja sekaligus berhati mulia.
Sepanjang waktu, dalam selipan doanya untuk kedua anak-anaknya, Mbok Min juga mendoakan Rahadyan dan Manika.
Doa Mbok Min dikabulkan akan kebahagiaan Rahdyan dan Manika. Tak pernah ada keributan. Satu sama lain saling mendukung. Selalu ada kebaikan-kebaikan beruntun bagi keduanya, meskipun kemudian di tahun pertama pernikahan, kedua orang tua Rahadyan meninggal akibat kecelakaan. Tapi, mendung itu tak lama. Manika menjadi penguat bagi Rahadyan.
Setidaknya begitu yang tampak. Tapi, kenyataannya salah.
Ada yang terluka akan pernikahan Rahadyan dan Manika. Keluh kesahnya didengar Rahadyan terus-menerus. Dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena Rahadyan ingin menjaga hati Manika.
Badai pun tak bisa terelakkan dan yang salah memilih pergi.
"Mbok Min...."
Suara Danica mengejutkan Minah yang sedarian tadi banyak melamun perihal masa lalu. Dengan napas yang sempat tertaha, Mbok Min berdiri dan berbalik menatap Danica dengan wajah memelas karena terkejut. Danica yang melihat Ekspresi Mbok Min, tertawa kecil.
"Kaget, ya, Mbok?" tanya Dnaica yang sudah tahu jawabannya.
"Ya, iyalah, Mbak. Tiba-tiba di sapa begitu. Mana masih gelap. Kan merinding."
Danica tertawa makin menjadi. Ia melangkah ke dipan bambu dan duduk. Salah satu tangannya memegang foto Ajeng yang sejak semalam, terus ia pegangi.
"Mbok..., Mbok Min apa kenal teman-teman Papa atau Mama?"
"Sebagian besarnya sih kenal." Mbok Min meletakkan dandang nasi ke atas tungku.
"Siapa aja, Mbok?"
"Banyak, Mbak. Pokoknya yang pernah dibawa ke rumah ya saya kenal. Kalau lupa namanya, saya pasti ingat wajahnya," jawab Mbok Min sembari nendekati Dania dan duduk di hadapan Danica. Ia mengambil kancang panjang dan berniat memotongnya menjadi pendek-pendek.
"Kalau ini, berarti Mbok Min kenal, ya."
***