"Kalau ini, berarti Mbok Min kenal, ya."
Danica mengulurkan foto Ajeng. Satu-satunya foto sahabat ibunya yang juga adalah sepupu ibunya. Saat membaca buku diary ibunya, Danica terkejut karena ternyata ibunya memiliki kerabat. Sebuah kenyataan baru, yang membuat Danica terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Agasta, bahwa sebenarnya sebagai anak, Danica tidak benar-benar mengenali ibunya.
Eskpresi wajah Mbok Min terlihat tegang. Tapi segera mengalihkannya pada kacang panjangnya. Ia menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Terheran-heran karena ternyata foto wanita itu masih tertinggal satu dan kini ditemukan Dnaica.
"Mbok Min kenal, 'kan? Pasti kenal, 'kan?" todong Danica antusias.
Mbok Min tidak bisa menghindar. Akan lucu jika Minah memilih mengelak jawaban setelah dirinya dengan sombong mengatakan mengenali semua teman-teman majikan mudanya. Tapi, berkata jujur dan apa adanya masih terasa sulit. Minah belum siap.
"Mbok Min, liat ini," pinta Danica sembari mendekatkan lagi poto Ajeng.
Mbok Min hanya melihat sebentar dan kembali dengan kesibukannya.
"Mbok Min pernah liat, 'kan?"
"Kayaknya pernah, Mbak." Dengan terpaksa Minah menjawab.
"Kok kayaknya?"
"Agak-agak lupalah, Mbak. Kan sudah lama Ibu ndak menerima tamu."
"Tapi ini kan sahabat Mama. Pasti sering main ke sini."
Minah diam. Di berdiri dan pura-pura memilih empon-empon yang tepat untuk memasak sayur asem.
"Setelah Mama menikah, memangnya Tante Ajeng gak pernah main ke sini?"
Minah semakin tersudut. Sangat terlihat sekali jika Danica tidak akan menyerah dan Minah yang sudah berumur, tidak yakin bisa sanggup menghindarinya.
"Kelak, kalau Danica bertanya-tanya, berilah dia petunjuk. Kasihan anak itu. Orang-orang dewasa yang berbuat dosa, membuat kericuhan, menciptakan aib, tetapi anak itu yang menanggung semua. Saya amat sangat berdosa padanya, Mbok. Saya titip Danica. Tolong asuh dan jaga dia untuk saya, ya, Mbok."
Kata-kata Manika di masa lalu, mengiang sangat jelas di pikiran Minah. Kini Minah sadar makna mimpinya semalam. Manika datang untuk mengingatka Minah akan permintaan Manika sebelum kemudian meninggal. Majikan mudanya itu, di alam lain, bisa merasakan keengganan Minah untuk menyampaikan apa yang diminta Dnaica.
Setelah menghela napas, Minah meletakkan pot yang berisi beragam empon-empon dari jahe sampai kunyit, ke tempat semula. Minah pun kembali duduk di depan Danica.
"Coba saya lihat fotonya."
Danica buru-buru menyerahkan foto Ajeng ke Minah.
Wajah yang sangat cantik dan penampilan yang sangat modis, itulah Ajeng yang Minah kenal jauh lebih dulu dari pana Manika. Wanita itu menjadi teman dekat Rahadyan yang sekaligus kemudian menjadi teman keluarga.
Ajeng selalu datang dengan keceriaannya. Ia akan menyapa semua termasuk Minah di dapur dan Ajeng aka selalu berakhir di dapur karena ia suka melihat Minah memasak sesuatu. Ia kan mencicipi semua makanan yang dibuat Minah dan berakhir dengan seruan kata, "Enak!"
Gadis muda dengan penataan rambutnya suka berubah, yang memberikan efek berbeda juga dengan kepribadian Ajeng. Sekali waktu dikepang dua, membuat Ajeng terlihat sebagai seorang gadis lugu yang ceria. Sekali waktu dikuncir tinggi, mengesankan Ajeng sebagai seorang yang dinamik. Dan beberapa kali dibiarkan terurai, membuat Ajeng seperti seorang gadis yang bebas lepas.
Minah sangat menyukai Ajeng. Di satu waktu, Minah pernah berharap bahwa ada perjodohan kekal antara Rahadyan dan Ajeng. Pengharapan yang di kemudia hari disesali Minah.
"Beliau sebenarnya adalah sahabat Bapak dan sepupu Ibu, almarhumah."
Danica tercengang. Bibirya melongo tanpa ada kata-kata yang lolos keluar meski tebruka sedikit. Setelah semalam ia mendapati kenyataan jika Ajeng adalah sepupu ibunya, kini kenyataa lainnya muncul kalau ternyata, ayahnya dan Ajeng bukalah sekedar teman biasa yang sednag mampir main, melainkan adalah sahabat.
"Dulu saya memanggilnya, Mbak Ajeng. Beliau sering sekali mai ke rumah ini bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga ini.
Orangnya baik, ceria, dan suka makan. Meski begitu, tubuhnya tidak pernah mekar. Setiap kali datang kemari, Mbak Ajeng pasti akan langsung ke dapur menanyakan apa yang saya buat, membantu jika belum selesai, dan menjadi pencicip.
Ibu besar kalau pergi ke mana-mana selalu ditemani Mbak Ajeng, sampai-sampai bayak orang mengira kalau Mbak Ajenglah yang akan menjadi menantu Ibu Besar."
Minah mengembalikan foto Ajeng kembali pada Danica. Gadis itu menatap foto Ajeng lamat-lamat. Kesan Mbok Minah atas Ajeng, sangat sesuai dengan karakter fisik Ajeng. Raut wajahnya menggambarkan apa yang Mbok Min ceritakan.
Senyum yang lebar dan manis, juga mata yang berbinar. Benar-benar sosok yang cantik dan baik.
"Mama ke mana?"
"Ke mana bagaimana, Mbak?" tanya Mbok Min bingung.
"Kalau Tante Ajeng main ke sini, apa Mama diajak juga?"
"Awal-awalya ya, enggak. Juga gak mungkin. Di masa-masa sekolah, Bu Manika belum datang ke kota ini. Mbak Ajeng kalau main ke sini ya sendirian. Tapi, setelah Bapak kenal sama Ibu, barulah Mbak Ajeng kalau mai ke sini, bawa Ibu juga."
"Jadi..., Mama bukan orang sini, ya...," gumam Danica untuk dirinya sendiri. Semakin banyak cerita, semakin Danica merasa jauh dengan ibunya.
"Ibu Manika, dari kota sebelah. Ibunya Ibu Manika, nenek Mbak Nica, meninggal setelah melahirkan Ibu Manika. Dan ayah beliau, meninggal gak lama setelah Ibu Manika naik ke kelas dua. Baru setelah itu pindah ke sini, di bawa oleh ayahnya Mbak Ajeng."
Danica menghela napas. Sepertinya ia harus membaca buku harian ibunya lebih banyak lagi agar ia memahami asal usul ibunya.
"Tante Ajeng sama Mama, cantikan Tante Ajeng. Papa juga kenal Tante Ajeng jauh lebih lama ketimbang kenal Mama. Kenapa Papa gak pacarin Tante Ajeng dan menikahinya?"
"Namanya juga jodoh, siapa yang bisa atur, selain Gusti Allah." Mbok Min terlihat canggung dan mulai berdiri untuk memeriksa nasinya.
"Memangnya Papa tidak pernah tertarik dengan Tante Ajeng, gitu? Sekedar suka, misalnya. Papa apa gak pernah gitu, pacaran sama Tante Ajeng?"
Kali ini, Mbok Min memutuskan diam. Baginya, ada yang memang bisa disampaikan ada yang seharusnya tetap dikunci dulu. Jika takdirnya sebuah rahasia menjadi milik Dnaica, maka rahasia itu akan menemukan jalannya agar bisa tersampaikan pada Dnaica.
"Yang, saya tahu, Bapak hanya mencintai Ibu Manika." Mbok Min harus memberikan pernyataan sebelum majikan mudanya yang kritis itu akan terus memberondongnya pertanyaan yang kurang lebih sama.
Jawaban yang melegakan, tetapi masih terasa janggal bagi Danica. Danica memilih tak mendesak Mbok Min, kiranya Mbok Min pastinya hanya tahu yang dipermukaan saja. Hal-hal yang sifatnya privasi, belum tentu diumbar ayah dan ibunya.
Apalagi ayahnya adalah seorang pria, membagi apa yang dirasakan dalam hati pada seorang abdi dalem, tentunya adalah hal yang absurd.
Ada hal penting yang harus Danica tanyakan sebagai pertanyaan terakhir di subuh ini.
"Mbok Min..., di mana rumah Tante Ajeng?"
***