Wajah-wajah kusut dan tegang, berkumpul di ruang makan. Terlihat tak tenang. Hanya satu yang masih bisa santai bermain dengan ponselnya. Paramita. Lainnya, dibungkus diam yang sedang mencari jalan keluar.
Surya berulang kali memghela napas sembari mengeluarkan sisa asap tembakau dari bibirnya. Ketegangannya, membuat Surya berulang kali mengisap rokoknya dengan cepat dan kemudian menyalakannya untuk batang rokok kedua. Ia tak peduli dengan wajah merengut istrinya setiap kali asap diembuskan. Rasanya ruang makan luas itu menjadi berkabut.
Yuni sendiri, tak berkesudahan menghela napas di setiap gerakan tubuh atau tangannya yang berisi. Bunyi gemerincing gelang beradu dengan meja, menjadi bunyi-bunyian lain yang justru menambah kekalutan bagi yang di sekitarnya. Tapi, serupa dengan suaminya, ia juga tak peduli akan reaksi orang lain.
Sedangkan Prasaja si sumber masalah, adalah dia yang paling anteng. Tak banyak bergerak. Tak lagi ada keluhan. Hanya diam terpekur sembari kedua tangan memegang kepala. Sesekali Prasaja meremas rambut di sekitar pelipis, saat pening menyerang.
Belum ada yang memberikan tanggapan lagi setelah kehebohan yang dibuat Prasaja sebelumnya. Rasa terkejut dan kemarahan sudah ditumpahkan pada Prasaja yang bersikap pasrah. Bagai ribut pada kekosongan, akhirnya semua diam dan bergelut dengan pikiran masing-masing mencari jalan keluar.
"Kamu harus bisa buat si Farah menggugurkan kandungannya. Gak ada lagi jalan."
Akhirnya Yuni mengeluarkan keputusannya. Disadari atau tidak, semua memang menunggu apa yang akan Yuni ucapkan terlebih dahulu, sebelum masing-masing mengeluarkan pendapat.
"Mamamu benar. Ya, mau gimana lagi, tujuan kita bukan si Farah. Rugi juga menikahi dia," sahut Surya, menyepakati pernyataan istrinya.
"Saya tahu di mana dokter yang mau kuret. Dijamin aman, bersih juga, ditambah ada penanganan sampai si ceweknya pulih. Komplit dan lengkaplah," ujar Paramita dengan percaya diri.
Sontak semua perhatian beralih pada Paramita. Ekspresi Surya, Yuni, dan Prasaja bukanlah ekspresi senang karena menemukan solusi, melainkan ekspresi terkejut bukan kepalang. Sedangkan yang ditatap, justru senyam-senyum seakan
"Ada dokter yang mau menangani mengugurkan kandungan dengan pelayanan setara rumah sakit?" tanya Yuni dengan mata membelalak.
"Adalah, Ma. Tapi, ya gak di kliniknya sih, Ma. Dokternya kita panggil di apartemen sewaan. Jangan di hotel, Ma. Soalnya nanti kalau noda darah atau apa gitu terkait darah, kita kena chas berkali-kali lipat untuk mengganti biaya properti yang kena noda, terutama sprei.
Nanti setelah dikuret, pasien akan disediain pelayan dua puluh empat jam penuh buat bantu pemulihan si cewek. Kerenlah, Ma. Aman dan sehat."
Paramita mengacungkan ibu jari dengan percaya diri di hadapan ibunya. Paramita berpikir ekspresi terkejut Yuni dan lainnya adalah karena tak menduga jika sistem pelayanan penguguran janin ilegal bisa semewah itu. Selama ini yang orang tahu adalah, menggugurkan dengan berbagai ramuan atau melalui bantuan ekstrim dukun bayi.
"Kok, kamu tau?" tanya Surya penasaran.
"Taulah. Kan saya pernah ke sana."
"Apa!" Yuni memekik dengan suara tinggi. "Kamu pernah ke sana?"
Paramita meringis. Dalam hati memaki dirinya sendiri yang selalu saja tidak bisa mengendalikan ucapannya saat ia sedang antusias dan sedang merasa menjadi pusat perhatian. Mita terlalu bodoh untuk bisa mengerem ucapan yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri meskipun di awali dengan informasi yang dibutuhkan.
"E...e...i...iya, Ma. Pernah, tapi..., anu..., itu apa..., bukan saya yang..., anu..., itu...."
"Ita itu ona nau apa?!" bentak Yuni tidak sabar, memotong kalimat putrinya yang tiba-tiba menjadi gagap. Sangking tidak sabarnya, sampai-sampai Yuni menggebrak meja.
"Temen, Ma". Cepat-cepat Paramita memberikan jawaban. "Temen waktu jaman kuliah kan banyak yang bablas, Ma."
"Halah, temen apa kamu? Cara ngomongmu kayak kamu aja yang kesana."
"Memang ke sana, tapi ngantar, Ma." Kali ini Paramita, berusaha tidak gagap dalam menghadapi ibunya yang kritis.
"Ngantar kok sampai tau banyak gitu. Sudah ngaku saja kamu sama siapa? Kapan?"
"Kok, Mama gak percaya, sih. Lagian saya Cuma kasih saran yang saya tau. Bukan berarti sekarng sidangnya pindah ke sayalah. Diterima sarannya, ya syukur. Gak terima, ya sudah. Gak usah melebar ke saya-saya segala." Paramita mendengkus dan meneguk minuman dinginnya.
Yuni memicingkan mata. Hati kecilnya meragukan pernyataan purtrinya. Ia meyakini jika putrinya itu pernah melakukan hal mengerikan itu. Hanya saja, meskipun hati kecil Yuni sudah mengisyaratkan jika ada kemungkinan mendekati pasti bahwa putrinya pernah melakukan aborsi, Yuni memilih mempercayai saja apa yang sudah disampaikan Paramita.
Setidaknya untuk sementara waktu, Yuni mengendapkan kecurigaannya.
Hal yang paling genting adalah tentang Prasaja dan kehamilan Farah yang bodohnya si putra kesayangan, tidak menanyakan ke Farah berapa usia kandungannya. Atau mungkin Prasaja sudah diberi informasi, tapi karena begitu kalut, Prasaja tidak memerhatikan.
"Apa Farah dibawa ke sana? Dikenalin ke dokternya dulu?" saran cepat Surya.
Hampir sama dengan istrinya, Surya juga tidak mempercayai kejujuran. Tapi, dia sedang tidak ingin memperpanjangnya. Toh, Paramita sekarang tidak hamil.
"Kamu ini bodoh, ya, Pak?" sergah Yuni yang kesalnya sudah sampai puncak. "Prasaja kan sudah jelas bilang kalau si Farah gak mau gugurkan kandungan. Gimana, sih kamu."
"Mungkin Farah gak mau karena takut. Namanya menggugurkan kandungan kan seram juga. Coba ditawari model gugurkan kandungan seperti yang Paramita bilang tadi." Tatapan Surya kemudian beralih pada Paramita. "Coba suruh si Mita yang omong."
"Apa? Kok saya sih, Pa."
"Kamu kan cewek. Temen-temenmu kan sudah banyak yang sering gugurin. Pastinya kamu tau bagaimana bicara dan meyakinkan dia buat gugurin kandungan."
"Lah, merekan kan gugurin kandungan atas kemauan sendiri, bukan disuruh-suruh. Kalau si Farah ini kan dasarnya gak mau gugurin. Jadinya saya mau omong apa nanti? Gak ah, jangansuruh-suruh saya terlibat. Lagian kondom ada di mana-mana jual, bukannya dipakai biar aman," ucap kesal Paramita yang akhirnya terlibat juga. Tatapannya kesal terarah pada Prasaja yang terpekur.
Paramita selalu merasa bahwa adiknya beruntung dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki. Selebihnya tidak ada yang bisa ditonjolkan. Adikya, hampir tidak tahu bagaimana menghadapi suatu persoalan. Sedikit-sedikit perlu bercerita, perlu saran, pada orang tuanya. Sepertinya setiap langkah harus ada catatan yang tersampaikan.
"Ya, dicoba ajalah. Kamu hubungi Farah. Kamu coba temu itu Farah. Kasih pengertian apa gitu. Sudahlah, besok kamu berangkat saja ke Surabaya temui si Farah."
"Gak mau, ah, Pa. Siapa yang berbuat siapa yang kena ribetnya," lirik tajam Paramita untuk adiknya yang seketika menjadi si pandir. "Saya Cuma kasih saran aja."
"Kamu ini Cuma bantu adikmu saja gak bisa! Kerjaanmu apa sih sehari-hari? Cuma jalan-jalan, sopang-soping, haha-hihi entah sama siapa aja, dan itu semua selalu kamu minta duat-duit ke adikmu. Sekarang giliran si Pras ada masalah, malah cuci tangan. Ini lagi ada masalah gawat, bukannya ambil bagian bantu malah nolak.
Otakmu di mana, hah?! Kalau Prasaja sampai tidak bisa menikah dengan Danica, kamu akan kehilangan banyak!"
Surya benar-benar marah pada putrinya yang baginya terlalu manja. Baginya, dalam masalah ini, semua harus terlibat membantu. Jangan sampai gudang emas mereka terlepas gara-gara masalah sepele. Setidaknya begitu yang Surya pikirkan.
"Besok saya sama Mita ke Surabaya," putus Yuni dingin.
"Tapi, Ma...." Pramita tak melanjutkan kalimatnya karena segera menyadari kesia-siaannya.
Yuni adalah pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga. Bukan ayahnya. Ayahnya adalah pendukung terbesar untuk keputusan-keputusan yang dibuat ibunya. Menentang keputusan Yuni, sama saja membuang enegi.
"Gak usah tapi-tapian!" bentak Yuni keras dengan kedua mata mendelik, menciutkan nyali Pramita, meskipun Paramita buka lagi gadis kecil.
"Mikir kamu itu pakai otak. Kalau sampai Prasaja menikah dengan Farah, yang hanya punya satu perusahaan kosmetik, yang ayahnya hanya seorang kepala polis yang tak lama lagi pensiun, yang Farah itu masih ada dua adik laki-laki, kamu pikir kamu bisa dapat apa?
Apa yang dimiliki Farah, tidak bisa benar-benar dimiliki oleh dirinya sendiri. Biarpu aset properti dan kelapa sawit ia miliki, itu masih harus dibagi-bagi. Apa kamu akan kebagian juga?
Beda kalau itu Danica yang anak tunggal. Dia tidak akan membaginya dengan siapa pun selain dengan kita yang akan jadi bagian keluarga baginya. Dan kamu pasti akan kecipratan.
Masalah ini bukan lagi malasah si Pras, tapi kita semua.
Jadi..., besok kita akan Surabaya. Kamu harus bantu Mama untuk meyakinkan si Farah menggugurkan kandungan. Mengerti kamu, Mita?"
Paramita hanya bisa menghela napas saja. Pertanyaan ibunya bukanlah pilihan melainkan penegasan. Pertanyaan itu hanya menuntut satu jawaban yang selurus dengan keinginan ibunya.
"Terserahlah!" Paramita berdiri dan keluar dari kursinya. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan, Paramita menyempatkan berdiri di sisi adiknya. "Besok-besok kalau lagi buang air besar, cebok sendiri. Jangan orang lain yang harus bersihin kotoranmu. b******k!"
"Mita!" sentak ibunya yang tak suka Paramita kasar pada Prasaja si anak kesayangan.
"Saya keluar malam ini."
Tanpa menunggu persetujuan atas pemrintaannya, Paramita keluar dari ruang makan. Ia sudah memiliki rencana untuk membahagiakan dirinya yang merasa tertekan untuk banyak hal atas ambisi kedua ornag tuanya.
"Dan kamu, Pras. Lamar Danica secepatnya. Jangan klemak-klemek jadi lelaki! Lebih baik kamu segera menikah jadi si Farah gak bisa berkutik. Menikah agama saja dulu tidak masalah," ucap Yuni.
"Jangan, Ma," cegah Surya. "Menikah agama ketetapannya lemah. Menikah surat, tetapi gak usah besar-besaran dulu. Yang penting suratnya keluar."
Yuni mengangguk. "Betul. Kalau Mama urusin Farah. Kamu harus urus itu Danica."
***