Danica memandang nanar foto yang ditempel di balik penutup koper Agasta. Foto itu menempel dengan bantuan selotip bening. Danica tak memaksa untuk mencopot karena ia tak mau meninggalkan jejak kalau dirinya sudah mengotak-atik isi tas. Koper Agasta. Jadinya Danica harus membungkuk agar bisa melihat lebih jelas.
Itu adalah sebuah foto yang sudah lama. Siratan warnanya saja sudah cenderung kuning kecolekatan. Istilahnya warna bokeh. Di foto itu Rahadyan, mengenakan kemeja berwarna biru gelap dengan bagian lengan panjang yang dilinting sampai di bawah siku. Celananya berwarna hitam dengan bagian bawah yang sedikit melebar. Salah satu tangannya menekuk di pinggangnya yang ramping karena rajin olahraga dan satu tangannya yang lain, merangkul pundak seorang bocah laki-laki.
Berbeda dengan Rahadyan yang tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat dan sudut bibir tertarik penuh ke atas, si bocah justru memiliki wajah yang merengut. Bibirnya terkatup rapat, sorot matanya sangat tajam, tubuhnya tegak dengan kaku. Benar-benar profil seorang bocah yang galak.
"Agasta...?"
Danica melihat kemiripan-kemiripan dari sosok si bocah dengan dengan Agasta dewasa. Sosok yang angkuh.
Masalahnya kemudian Danica bertanya-tanya, tentang hubungan Rahadyan dan Agasta. Kalau sampai Agasta memasang foto ini di penutup koper, pastilah hubungan Rahadyan dan Agasta bukan lagi sekedar dokter dan pasien, terlebih melihat lamanya usia foto, pastilah hubungan keduanya sudah sangat istimewa.
"Tapi apa? Anaknya temen Papa? Tapi..., memangnya ada gitu ya hubungan orang asing bisa sebegini akrabnya?"
Danica terus mengamati wajah Agasta yang seperti seorang yang marah.
"Ahhh!" pekik Danica tertahan, seolah-olah ia baru saja menaydari sesuatu. Tetapi, kerutan kebingungan muncul di kening mulusnya.
"Gak mungkin, ah. Masak iya Papa nyulik Agasta buat dijadiin anak. Muka kayak begini."
Danica berdiri tegak. Melihat sekeliling kamar sekali lagi dan barulah ia akan keluar. Saat tangannya memegang gerendel pintu, Danica menyadari kalau pintunya tertutup. Ia masih ingat kalau ia tadi tidak terpikir menutup pintu.
Untuk kedua kalinya Agasta melakukan sesuatu saat dirinya tertidur. Harus ditanyakan.
Sayup-sayup, Danica mendengar bunyi alat-alat pertukangan saling beradu. Bunyi palu dengan kayu atau sesuatu semacamnya yang menimbulkan bunyi seperti ketokan pintu. Arahnya dari belakang.
Di dapur, Danica tidak melihat Mbok Min. Tidak yakin di mana Mbok Min, tapi pastinya tidak jauh dari rumah karena tungku bata masih meyala dan ada dandang nasi di atasnya. Danica malas memeriksa isi dandang, duganya kalau bukannya nasi yang sedang dimasak, bisa saja buah pisang atau umbi-umbian yang dikukus.
Suara getokan semakin jelas dari arah kebun. Danica keluar dari dapur dan bisa melihat Agasta yang sibuk sendiri. Danica melihat perkakas pertukangan, seperti gergaji, bor listrik, dan palu—yang sedang digunakan. Ia melihat dua kaleng kecil yang Danica tidak tahu apa itu, namun ia menduga itu adalah cat pelapis untuk kayu dan sejenisnya. Ada juga kertas, pensil, penggaris, dan masih banyak lagi barang-barang kecil bertebaran.
Beberapa papan kayu, bertumpuk rapi di dekat Agasta. Danica melihat ke bawah kakinya, ia mendapati suluran kabel panjang listrik yang sepertinya digunakan untuk menyalakan mesin bor.
Agasta sudah selesai memalu. Ia berdiri dan meregangkan tubuhnya yang panjang. Pria itu sangat sopan bagi Danica. Di tengah terik matahari, Agasta tetap tak membuka kaosnya. Tubuhnya tak dibiarkan telanjang. Perlindungan bukan hanya di tubuhnya, Agasta juga melindungi kepalanya dengan topi caping. Topi yang biasa dipakai para petani ke sawah.
Perasaan iba menyusup di hati Danica. Teringat kalau Agasta pernah menyelimutinya saat tidur, Danica memutar tubuh dan kembali masuk ke dalam rumah. Ia mengeluarkan sirup markisa dan menuangkan ke gelas besar. Manambahkna air dengan pas, barulah memasukkan beberapa balok es batu kecil.
Agasta kelelahan. Posisi duduknya membelakangi dapur, jadi dapat dipastikan Agasta tak melihat siapa ang datang mendekat sembari membawa minuma segar. Agasta tak peduli kebersihan, ia duduk di tanah dengan kedua kaki ditekuk dan terbuka lebar. Topi caping sudah dilepas, beralih fungsi menjadi kipas.
Semakin dekat dengan Agasta, jantung Danica semakin berdebar. Ada keraguan untuk melanjutkan langkahnya. Danica khawatir Agasta akan berpikiran aneh-aneh dengan minuman yang ia bawakan.
Bodo amatlah, batin Danica. Toh, minuman sudah dibuat. Andai Agasta menolak, ia bisa meminumnya sendiri sampai habis.
"Nih." Danica menyodorkan gelas berisi minuman segar, dengan masih tetap berdiri. Pandangannya dialihkan menatap ke sekeliling.
Agasta mendongak. Menatap wajah Danica dan gelas dengan bulir-bulir air dingin menyegarkan, bergantian.
"Ini ambil cepetan," ujar gusar Danica dengan tatapan tetap tidak terarah pada Agasta.
Meski tidak suka dengan cara Danica memberikan minuman untuknya, tetapi Agasta tetap mengambil gelas dari tangan Danica. Alasannya, yang pertama, dirinya menghargai Danica yang mau membuatkannya minuman segar. Sebuah keajaiaban. Alasan kedua, dirinya sudah sangat haus.
Agasta meneguk minumanya dengan rakus. Bunyi geluguk dari aliran air ke tenggorokan, menggugah Danica untuk menoleh. Gadis itu tersenyum senang sekaligus geli.
"Meja utuk siapa?" tanya Danica sembari mengamati meja kecil yang dibuat Agasta. Danica kemudian berjongkok, mengamati hasil kerja Agasta. Pekerjaan yang rapi untuk seseorang yang profesinya berbeda jauh.
"Kamu dokter merangkap tukang?" Danica mengelus meja kayu yang baru dibuat. Ia kagum akan kerapian Agasta. Tak ada sudut tajam. Agasta sengaja membuat lengkungan agar jika ada tumbukan, tak membuat siapa saja terluka.
"Yang jelas saya bisa mengerjakan apa saja. Terima kasih minumannya."
"Memasak memangnya bisa?" tanya Danica meremehkan.
"Kamu ingi dimasakkan apa? Masakan Eropa? Masakan Timur Tengah? Atau masakan Kutub Utara?"
Danica mencibir. Bibir bawah yang sedikit maju, justru membuat Agasta ingin tertawa. Tetapi ia tak ingin memicu kekesalan Danica, Agasta memilih meminum kembali es sirup markisanya.
"Saya memang bisa memasak. Saya sering ditinggal sejak saya kecil. Kalau tiba-tiba lapar di tengah malam, saat libur sekolah, saya pasti akan memasak sesuatu. Itu yang membuat saya mandiri dan bisa memasak."
"Memang orang tuamu ke mana? Kok kamu sampai sering ditinggal."
Agasta diam. Kedua matanya menatap kosong pada gelas sirup di tangan. Ada yang membuatnya enggan menjawab. Tapi, sepertinya diam bukan pilihan untuk Agasta karena Danica adalah seorang yang membutuhkan jawaban.
"Mereka sibuk dengan urusan mereka."
Danica melihat keengganan dari jawaban Agasta dan dia memilih tak menodong paksa jawaban. Itu tidak baik. Kesannya Danica adalah seorang yang mau ikut campur urusan kehidupan pribadi orang lain.
"Tapi, meja sekecil ini buat siapa? Di sini kan gak ada anak kecil," tanya Danica mengalihkan topik pembicaraa.
"Untuk Bapak."
Danica menoleh cepat. Tatapannya menodong Agasta agar menjawab jelas.
"Bapak harus terus bergerak agar sensor motoriknya tidak lemah. Dimulai dari beliau makan sendiri. Asal Bapak bisa duduk, itu cukup," lanjut Agasta.
"Apa kamu begini ke semua pasienmu?" tanya Danica yang penasaran akan betapa besarnya perhatian Agasta pada ayahnya.
"Begini yang bagaimana?"
"Memberikan perhatian, sampai perlu cuti dan membawa Papa pulang."
"Tidak semua." Agasta membuka kaleng-kaleng yang berisi cairan pelapis kayu. Agasta mulai menyibukkan diri menguas caira ke meja kayu.
"Tidak semua berarti ada. Apa kriteria pasien yang kamu istimewakan?" buru Danica.
"Tidak ada."
"Tidak ada? Tidak mungkin kan kamu memilih acak."
Agasta diam dan itu membuat Danica penasaran.
"Kenapa Papa saya begitu istimewa bagimu?"
***