6. Menolak sebelum Ditembak

1544 Kata
Willy tak melepas pandangan dari Gama sedetikpun sampai tiba-tiba ia tersenyum hingga matanya menyipit. “Lelucon yang sangat bagus. Kau benar-benar adik yang posesif, ya,” ucapnya. Gama mendengus. “Sayang sekali ini bukan lelucon. Jadi, sebaiknya anda berhenti mengejarnya,” ucap Gama yang kini memasang raut wajah begitu dingin dan datar. Ia tak peduli tengah bicara dengan orang yang lebih tua atau bicara dengan pria yang memiliki jabatan, dirinya hanya ingin memberi peringatan bagi siapapun yang berniat menjadi saingannya. Senyuman Willy seketika lenyap. Dirinya benar-benar berpikir Gama adalah adik Vei yang egois, tak ingin siapapun mendekati kakaknya. Tapi, melihat bagaimana tatapan Gama sekarang, ia mulai menyadari Gama adalah saingannya. Dena menatap Gama dan Willy bergantian di mana tangannya dengan cekatan dan cepat mengetikkan pesan dan dikirimnya pada Vei. [Vei, gawat! Dua pangeran tengah memperebutkanmu!] Di tempat Vei, dahinya terlihat berkerut setelah membaca pesan dari Dena diikuti pesan gambar berusia foto Willy dan Gama yang saling tatap tak ada yang mau mengalah seolah keduanya tengah berperang lewat tatapan mata dan mempersiapkan diri beradu di atas ring. Mata Vei melebar sesaat kemudian tangannya memijit kecil kepala disertai gemelatuk gigi terdengar. Untung saja ia tidak di sana, jika tidak mungkin kepalanya sudah berasap melihat dua pria itu saling memperebutkannya. Beberapa saat setelahnya, Dena berjalan cepat keluar dari lift. Dirinya tak sabar ingin memberitahu Vei apa yang baru saja terjadi. “Vei, Vei! Kau harus dengar ini, kau harus dengar! Tadi hampir saja terjadi perang dunia ketiga! Harusnya kau tadi di sana, Vei, harusnya kau tadi ikut!” seru Dena antusias hanya dengan satu tarikan nafas. Dirinya begitu heboh menceritakan apa yang terjadi di restoran. Setelah ia mengirim pesan pada Vei, Gama berdiri dan menabuhkan genderang perang, mengatakan bahwa mereka adalah rival. Vei terus mengabaikan Dena tak peduli temannya itu terus saja nyerocos seperti ibu-ibu di kondangan. Vei masih kesal, sangat-sangat kesal hingga akhirnya ia pun mengambil sikap. Tangan Vei yang sebelumnya memangku rahang, jatuh ke atas meja membuat Dena terkejut terlebih karena Vei menatapnya dengan tatapan menusuk. “Mulai sekarang, pertemanan kita berakhir. Kau harus membayar semua utang-utangmu,” ucap Vei. Sebenarnya dirinya tidak begitu memikirkan uang-uangnya yang Dena pinjam. Tapi, kelakuan Dena barusan membuatnya sangat jengkel dan terpaksa meminta Dena mengembalikan uangnya. “Heee? Kenapa begitu, Vei?" pekik Dena yang terkejut. Derit kursi terdengar saat Vei bangkit dari duduknya dan melangkah pergi untuk ke toilet. Masih ada waktu sebelum jam kerja dimulai dan ia ingin kembali menenangkan diri dari suara Dena yang membuat telinganya sakit. Saat Vei hendak berbelok menuju lorong ke toilet, tanpa sengaja ia bertemu Willy. Dengan cepat Willy menahan tangan Vei melihat Vei bergegas seakan berniat kabur darinya. “Vei, tunggu,” cegah Willy dengan menahan tangan Vei. Vei menatap tangan Willy yang memegang tangannya membuat pria itu melepaskan tangannya perlahan. “Ah, maaf. Vei, ada yang ingin aku tanyakan mengenai laki-laki yang kau sebut adikmu kemarin. Sebenarnya … siapa dia? Maksudku, tadi kami bertemu di restoran tapi dia–” “Maaf, Pak Will, apa Bapak menyukaiku?” potong Vei. Ia ingin menyelesaikan ini dengan segera. Wajah Willy tampak memerah. “Apakah sangat terlihat?” ucapnya dengan menggaruk pipinya yang tak gatal. “Ya … dan sebenarnya, itu sedikit mengganggu.” Jantung Willy mencelos seketika. Padahal ia belum memulainya tapi, angannya telah dipatahkan begitu saja. “Ta– tapi … ke– kenapa, Vei?’ tanya Willy dengan tubuh gemetar. Sepertinya ia belum siap menerima penolakan. “Jadi benar kau dan laki-laki memilin hubungan?” tanyanya kemudian. “Tidak, tidak, Pak. Kami sama sekali tidak punya hubungan apapun. Sebelumnya aku ingin minta maaf, aku tidak bisa menerima perasaan Bapak dan jika Bapak tanya kenapa, karena aku tidak bisa. Supaya lebih jelas, baik itu adalah bapak dan pria lain, aku tidak bisa menerimanya. Kuharap Bapak mengerti dan tidak lagi bersikap sekaligus menunjukkan pada siapapun bahwa Bapak tertarik padaku. Permisi.” Setelah mengatakan kalimat panjang itu, Vei melanjutkan langkahnya menuju toilet. Ia harap setelah ini Willy berhenti mengejarnya. Harusnya Willy lebih dewasa dan memahami apa yang ia katakan dibanding Gama. Willy masih berdiri di tempat dengan tubuh kaku. Ia tahu resiko mencintai adalah diterima atau ditolak. Tapi, rasanya ia belum siap. Willy tersenyum kecut dengan kedua tangan terkepal kuat. Ia tak akan menyerah begitu saja. *** Langit hampir senja saat Vei tiba di rumah. Ia membuka helm-nya kemudian turun dari motor dan segera masuk ke dalam rumah. Jika ada hari paling melelahkan, itu adalah hari ini. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga lelah pikiran memikirkan Gama dan Willy. “Hah ….” Vei menghela nafas panjang saat baru duduk di tepi ranjangnya. Kedua tangannya berada di balik punggungnya menekan kasur dengan kepala mendongak melakukan peregangan leher. Tiba-tiba perhatian Vei tertuju pada tas selempangnya di mana ponselnya berdering. Ia melirik tasnya itu tapi memilih mengabaikannya. Namun, ponselnya itu terus berdering membuatnya terpaksa melihat siapa yang menghubunginya. Melihat nomor asing yang tertera pada layar, Vei menebak itu adalah Gama. Dirinya pun terus bertanya-tanya, bagaimana bisa Gama tahu nomornya? Padahal, ia baru saja membeli nomor ponsel baru. Benar-benar mengabaikan panggilan itu, Vei bangun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Vei keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian. Ia berdiri cukup lama di depan lemari memilih baju yang akan dipakainya nanti malam. Ia berniat menghirup udara segar untuk merilekskan pikiran. Dan di sana lah Vei sekarang, duduk di depan meja bar dengan segelas minuman bening di hadapan. Vei bukan peminum, hanya saja, setiap kali mendekati tanggal yang sama di bulan yang sama dengan kejadian hari itu, dirinya merasa sangat frustasi seakan begitu trauma dengan kejadian di masa lalunya tersebut. Vei meraih gelas kecilnya dan menenggak minumannya dalam satu kali tenggak. Kemudian ia kembali meminta bartender mengisi gelasnya dan hendak meminumnya kembali sampai tiba-tiba sebuah tangan mencegahnya. Vei menoleh, melihat siapa yang saat ini menahan tangannya. Matanya pun sedikit melebar melihat orang itu adalah Gama. Kenapa selalu ada Gama di manapun ia berada? Tadi siang di kantor dan sekarang, pemuda itu berada di sana sekarang. “Orang dewasa benar-benar bodoh, berpikir dengan minum semua masalah akan selesai? CK, lucu sekali,” ucap Gama mencemooh. Vei menarik kasar tangannya membuat cairan bening dalam gelasnya tumpah. “Jangan menceramahiku,” ucap Vei. Dirinya bersikap lebih lunak meski Gama telah membuatnya menumpahkan minumannya. Gama duduk di sebelah Vei kemudian tangannya memangku rahang sambil menatap Vei tiada henti. Sementara itu Vei berusaha mengabaikan Gama dan kembali meminta bartender mengisi minumannya. Saat gelasnya telah terisi, ia melirik Gama berpikir jika Gama akan kembali menahan tangannya. Namun, ia salah. Gama membiarkannya begitu saja. Bunyi 'tak' terdengar saat Vei meletakkan kembali gelasnya sebelum cairan bening itu kembali melewati tenggorokan. Pinggiran gelas bahkan belum sampai menyentuh bibirnya dan ia memutuskan meletakkannya kembali. Vei pun menoleh seakan bertanya kenapa Gama tidak mencegahnya minum lagi. “Setelah kupikir-pikir, sebaiknya aku membiarkanmu terus minum agar kau mabuk. Dengan begitu, aku bisa melakukan apapun saat kau tidak sadarkan diri,” ucap Gama disertai senyuman miring. Gemeretak gigi Vei terdengar. Ia meraih kerah hoodie Gama dan menariknya membuat tubuh Gama condong ke arahnya. “Kau!" geramnya dengan wajah merah. Bukan hanya merah karena marah, tapi akibat reaksi minuman yang diminumnya. Gama terkekeh dan menutupi hidungnya dengan tangan. “Nafasmu sangat bau. Bagaimana bisa kau minum minuman berbau aneh seperti ini?” Lagi-lagi Gama mengucap kalimat sarkas membuat Vei makin muak. Vei mendorong Gama saat melepas cengkraman tangan pada kerah hoodienya. Apakah ia harus kembali lari? Atau kembali menekankan pada Gama agar berhenti mengganggunya? Kedua pilihan itu bagai simalakama. Jika ia pergi, Gama akan merasa menang telah berhasil membuatnya pergi dari sana. Tapi jika dirinya tetap di sana dan Gama benar-benar menunggunya mabuk, itu adalah pilihan yang lebih buruk. Vei menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di saat ia ingin menenangkan diri, Gama justru membuat suasana hatinya makin kacau. “Kenapa?” ucap Vei dengan suara pelan. Ia tertunduk menatap minumannya. Gama menjatuhkan kepala di atas kedua tangan yang saling bertumpu di atas meja bar. Ia menatap Vei dari posisi dan mengatakan, “Kenapa aku begitu tergila-gila padamu?” Vei tersenyum kecut dan menoleh. “Kenapa kau seperti hantu? Kau selalu ada di manapun dan kapanpun. Tidakkah kau tahu itu sangat mengganggu?” ucap Vei yang terdengar mengiba di akhir kalimat. Meski terdengar mustahil berharap Gama akan mengerti tapi, rasanya ia tak tahu lagi harus bagaimana memperlakukan Gama. Dirinya sedang tak ingin berdebat sekarang. Gama terkekeh kemudian mengangkat kepala dan kembali memangku rahang dan menatap Vei. “Apakah juga mengganggu pikiranmu? Jika benar aku sangat senang. Artinya kau mulai memikirkan aku, bukan? Oh, apa kau sudah jatuh cinta padaku?” Vei mendecih. “Ya, kau benar. Aku sangat memikirkanmu. Berpikir bagaimana cara membunuhmu agar kau berhenti menggangguku," ucapnya kemudian kembali menenggak minumannya hingga habis. “Ish, kata-katamu terlalu kasar.” Vei menoleh dan melempar senyum miring. “Aku memang wanita kasar. Hanya orang bodoh yang jatuh cinta padaku. Kau tahu apa artinya? Kau adalah salah satu orang bodoh itu,” ucapnya dan dengan sengaja menunjuk wajah Gama. Gama menggenggam telunjuk Vei yang menunjuknya kemudian menurunkannya dari depan wajahnya. Ia setengah mencondongkan tubuhnya ke arah Vei membuat jarak wajah mereka cukup dekat. Tiba-tiba mata Vei melebar. Bukan karena menatap Gama dari jarak dekat, melainkan karena pandang matanya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki bar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN