5. Hampir Celaka

1115 Kata
Vei menarik kasar tangannya dan berniat segera pergi. Namun, Gama dengan cepat menahannya. “Tunggu dulu, kenapa buru-buru sekali? Kau tidak mau mengajakku makan siang?” ucap Gama disertai kekehan kecil. “Lepaskan atau aku akan berteriak!” ancam Vei dengan geraman tertahan. Gama segera melepas tangannya dan mengangkat kedua tangan. “Ow, okey, baik lah,” ucapnya seakan takut dengan ancaman Vei. “Kau? Berondong yang kemarin, kan?” Dena menunjuk Gama dengan mata berkedip pelan. Diperhatikannya Gama dengan seksama dan wajah tampannya tak berubah. Gama menggaruk belakang kepala dan mengangguk pelan. “Kukira aku bisa ikut makan siang,” ucapnya. “Eh? Tentu saja! Ayo kita makan siang bersama!” seru Dena yang tanpa rasa malu merangkul Gama. Melihat itu sontak membuat Vei melotot. “Dena!” bentak Vei disertai hentakan kaki kasar. “Ada apa, Vei? Kau tak kasihan padanya? Dia sudah jauh-jauh ke sini demi bisa makan siang dengan kita, loh,” ucap Dena tanpa melepas rangkulan. “Oh, ya, kau yang traktir, kan?” tanyanya pada Gama tanpa rasa bersalah. Gama mengangguk kaku. “Kurasa uangku cukup untuk tiga orang,” ucapnya. “Tuh, kan, Vei. Sebaiknya kita jangan menyiakan rejeki. Oh, ya, siapa namamu?” tanya Dena kembali di akhir kalimatnya. Kedua tangan Vei terkepal kuat di sisi tubuhnya dengan gemeretak gigi terdengar. Jika ada orang paling menyebalkan di dunia, itu adalah Dena. Bagaimana bisa dirinya berteman dengan wanita tak tahu diri macam Dena? “Terserah!” ucap Vei seraya membalikkan badan. Ia sudah muak melihat Gama dan semakin muak melihat Dena yang tak punya otak. Tiin! Tiin! “Awas!” Gama segera menarik Vei saat sebuah mobil melaju dan hampir menabraknya. Vei yang telah dikuasai kekesalan tak menengok ke kanan dan kiri hingga tak menyadari ada sebuah mobil melaju cukup kencang. Kedua mata Vei terpejam rapat-rapat. Saat mendengar suara klakson, dirinya begitu terkejut hingga tak bisa bergerak. Sampai akhirnya ia merasakan tarikan dari belakang dibarengi suara teriakan Gama. Vei berusaha membuka mata dan mendapati jaraknya dan Gama begitu dekat. Ia bahkan bisa mencium aroma buah apel dari tubuh Gama. Parfum apa yang dipakainya? Harum wanginya begitu manis seperti apel segar. “Dasar ceroboh,” ucap Gama yang seketika membuat Vei mendorongnya. Padahal, sebelumnya Vei mencengkram kuat hoodie Gama. “Ya Tuhan, Vei, kau baik-baik saja?” tanya Dena setelah bangkit berdiri. Dirinya jatuh saat Gama mendorongnya untuk segera menarik Vei. “Ini semua salahmu!” bentak Vei kemudian berbalik kembali memasuki gedung. Sepertinya ia tak akan makan siang karena insiden ini. Mood-nya sudah benar-benar hancur. “Hei! Vei! Tunggu!” panggil Dena. Namun, percuma, Vei justru mempercepat langkah. Gama menatap kepergian Vei dalam diam. Entah apa yang ia pikirkan sekarang tapi ia segera menoleh pada Dena yang berdiri di sebelahnya. “Maaf untuk tadi,” ucap Gama. Melihat Vei dalam bahaya, dirinya reflek mendorong Dena yang merangkulnya demi bisa menyelamatkan Vei. “Yah, tidak apa-apa. Lagi pula, kau melakukannya untuk menyelamatkan Vei. Meski bokongku rasanya masih sakit, sih,” ujar Dena dengan mengusap bokongnya. “Kalau begitu, izinkan aku membayar makan siangmu. Anggap saja sebagai permintaan maaf,” tawar Gama. “Waaah! Benarkah?” sahut Dena dengan mata berbinar. Tentu saja ia tak akan menyiakan kesempatan. Makan siang gratis adalah salah satu jalan ninjanya menuju kaya di masa depan. Meski kenyataannya, keuangannya tetap tidak lebih baik dari Vei. Gama tersenyum dan mengangguk. Ia pikir, mungkin bisa memanfaatkan Dena agar bisa lebih dekat dengan Vei nantinya. Beberapa saat kemudian, Dena dan Gama telah duduk berhadapan di sebuah restoran tak jauh dari kantor. Dena menyantap makan siangnya dengan lahap sementara Gama hanya memperhatikannya. “Hei, kenapa tidak makan?” tanya Dena dengan mulut penuh nasi dan ayam. “Aku sudah kenyang melihatmu makan,” ucapnya disertai kekehan ringan. Wajah Dena bersemu merah. Ia segera menelan kunyahan makanannya dan meminum es teh-nya. “Ah, apa aku terlihat tak sopan? Aku bicara seakan kita ini seumuran,” ucap Gama dengan menggaruk pipi yang tak gatal. “Tidak apa-apa, kok. Aku justru senang kau menganggapmu seumuran. Ngomong-ngomong, berapa usiamu? Vei bilang kau baru lulus SMA?” tanya Dena. Gama mengangguk. “Aku sembilan belas,” jawabnya. “Oh, begitu. Lalu, apa kegiatanmu sekarang? Kau kuliah? Bekerja?” tanya Dena kembali. Dirinya tak ingin disebut aji mumpung di mana setelah makan langsung pergi begitu saja karena dibayarkan. Jadi, ia sengaja membuka pembicaraan sekaligus agar lebih tahu banyak tentang Gama. “Kuliah juga bekerja. Aku bekerja di restoran tak jauh dari sini. Tapi hanya di hari Sabtu dan Minggu. Jika ada waktu, mampir lah ke sana.” “Maksudmu, dengan membawa Vei?” Gama terkekeh ringan dan mengedikkan bahu. “Kurasa itu ide yang bagus.” Mendengar itu Dena tertawa dan kembali membuka pembicaraan. “Kalau boleh tahu, kenapa kau naksir Vei? Maksudku, dia itu lebih tua darimu, loh. Kau kan tampan, pasti banyak gadis menyukaimu, kan? Kenapa malah mengejar-ngejar Vei?” Gama terdiam cukup lama tak segera menjawab. Sampai akhirnya ia tersenyum tipis saat setengah tertunduk dan melirik arah lain. “Bagaimana aku menjelaskannya? Yang pasti, aku merasa, telah tergila-gila padanya.” Dena manggut-manggut ringan seakan tahu dan memahami apa yang Gama rasakan. “Jika boleh tahu, apa yang membuat Vei bercerai?” tanya Gama tiba-tiba. Tanpa babibu lagi, Gama menanyakan hal itu berpikir Dena adalah sahabat baik Vei, pasti wanita itu tahu semuanya mengenai Vei dan kehidupannya. Alis Dena tampak berkerut. “Apa? Apa maksudmu?” Dahi Gama terlihat berkerut. “Maksudku?” Dena mengangguk. “Ya. Kau bilang Vei bercerai? Memangnya Vei sudah pernah menikah?” Kerutan di dahi Gama kian menjadi. Ekspresi wajah Dena menunjukkan bahwa wanita itu benar-benar terkejut, benar-benar tidak tahu apapun mengenai masalah itu. Kenapa? Apakah Dena hanya pura-pura? Atau Vei telah sempurna membodohinya? Di sisi lain, Vei misuh-misuh di dalam toilet. Bukan hanya memaki Gama tapi juga memaki Dena. Bahkan, makian utamanya tertuju pada wanita itu. “Bagaimana bisa aku berteman dengan wanita gila sepertinya?” geram Vei teringat tingkah Dena sebelumnya. “Lagi pula, kenapa dia tidak menyerah juga?” Vei seolah lupa bahwa nyawanya telah diselamatkan Gama. Kebenciannya telah menutupi jasa yang Gama lakukan. Tiba-tiba Vei teringat Willy sampai sebuah ide pun tercipta. Dirinya bisa memanfaatkan Willy untuk membuat Gama menyerah. Tapi, sepertinya ide itu harus dibayarnya mahal. Dan apakah dirinya bisa melakukannya? Hanya membayangkan pura-pura pacaran dengan Willy saja sudah membuatnya mual. Kembali ke restoran di mana Gama dan Dena berada, Willy berdiri di depan meja mereka tanpa mengalihkan pandangan dari Gama. “Kau sebenarnya siapanya Vei?” Willy bertanya dengan rasa ingin tahu tercetak jelas di wajah. Teringat Dena mengatakan bahwa Vei tinggal sendiri di rumah membuatnya ragu bahwa Gama adalah benar adiknya. Gama melempar senyuman dan menjawab, “Aku, calon suaminya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN