Vei segera menunduk dan menutupi wajahnya dengan tangan. Jantungnya bergemuruh hebat dengan tubuh gemetar dan Gama dapat melihatnya dengan jelas.
Gama merasa ada yang aneh. Ia bahkan yakin Vei tidak mendengar apa yang baru saja ia katakan.
Vei mengambil selembar uang dari dla tas kemudian meninggalkannya di atas meja bar lalu bergegas pergi. Melihat itu Gama pun tak tinggal diam. Dia berjalan cepat mengikuti Vei di belakangnya.
Sementara itu, pria yang membuat Vei tampak ketakutan, duduk di kursi tak jauh dari kursi yang sebelumnya Gama duduki. Pria itu pun tak menyadari saat Vei berjalan cepat lewat di belakangnya.
Langkah kaki Vei semakin cepat hingga perlahan mulai melambat saat telah cukup jauh dari bar. Hingga akhirnya, langkah kakinya terhenti saat tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya.
Gama tak tahu apa yang terjadi pada Vei. Tidak mungkin Vei mabuk, bukan? Dan saat mendengar Vei terisak menahan tangis, ia tahu Vei tidak sedang mabuk.
Vei terduduk di tanah dengan bahu gemetar menahan isakan. Meski begitu, tangisan samar tetap terdengar bahkan terdengar pilu. Gama yang berdiri tak jauh di belakangnya, hanya bisa menatapnya dalam diam mengumpulkan kekuatan untuk mendekatinya. Saat ini di matanya, Vei bagai kaca yang begitu rapuh, akan hancur hanya dengan sentuhan kecil sekalipun.
Vei menekan dadanya yang terasa sesak. Bagaimana bisa pria itu muncul? Dirinya berhasil menghadiri masa lalunya itu selama beberapa tahun tapi kenapa, tiba-tiba ia melihatnya kembali?
Gama berdiri tepat di belakang Vei dan dengan perlahan tangannya terulur dan bertengger di bahu. Ia merasa saat ini bukan waktunya menarik perhatian Vei dengan membuatnya jengkel seperti yang sudah-sudah.
“Apa karena ucapanku?” tanya Gama. Meski ia yakin bukan karena itu.
Vei tak bergeming mengabaikan Gama. Ia masih tenggelam pada ingatan masa lalu sampai tiba-tiba dirinya jatuh pingsan tak sadarkan diri.
***
Gama tak berhenti menatap Vei yang terbaring di atas ranjang hotel. Ia membawa Vei ke sana karena tak mungkin membawa Vei pulang ke rumahnya. Jika ia pria b***t, mungkin ia akan memanfaatkan situasi, mengambil kesempatan dalam kesempitan yang Vei alami. Namun, dirinya bukan pria seperti itu. Kata-kata yang diucapkan saat di bar pun hanya gurauan semata untuk menarik perhatian Vei.
Tiba-tiba dahi Vei tampak berkerut diikuti kedua matanya yang perlahan terbuka. Ia tampak mengerjap dan berusaha meraih kesadaran.
Gama yang melihatnya hanya diam. Ia tetap duduk tenang di sofa di sisi ruangan tanpa mengalihkan pandangan dari Vei.
Tatapan Vei tampak kosong selama beberapa saat sampai akhirnya ia menyadari sesuatu. Ini bukan kamarnya. Ia pun berusaha mengingat-ingat sampai akhirnya teringat apa yang terjadi sesaat sebelum ia jatuh pingsan.
Menyadari itu, Gama bangkit dari duduknya dan menghampiri Vei berdiri di sisi ranjang. “Sudah sadar?”
Mata Vei melebar, tapi hanya sesaat sampai akhirnya ia tersenyum kecut. “Kau benar-benar berondong b******n,” ucap Vei mencemooh. Namun, setelahnya lengannya terangkat menutupi kedua matanya yang mulai basah.
“Ck, sudah dua kali aku menolongmu tapi tidak pernah mengucapkan terima kasih. Justru sebaliknya, kau terus saja mengolok-olokku," kata Gama.
Vei hanya diam kemudian miring ke kiri menghindari tatapan Gama. Ia telah berpikir yang tidak-tidak mengingat yang Gama katakan di bar.
Gama menghela nafas kasar dan kembali berdecak. “Tsk. Apa kau berpikir aku melakukan sesuatu padamu? Sayang sekali, harapanmu harus pupus karena aku sama sekali tidak menyentuhmu. Maksudku, aku menyentuhmu saat menggendongmu ke mari dan membaringkanmu ke ranjang, hanya itu,” ucapnya.
Vei hanya diam. Ada sedikit kelegaan mendengarnya terlebih, ia juga tidak merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya.
Vei terdiam cukup lama tanpa mengubah posisi. Ia termenung memikirkan mantan suaminya yang kembali dilihatnya setelah sekian lama. Wajah mantan suaminya itu tidak berubah, masih tetap tampan. Namun, rasa ngilu seketika menusuk ulu hati Vei teringat pengkhianatan yang mantan suaminya itu lakukan.
“Istirahat lah, besok kau bekerja, bukan? Tenang saja, aku tidak akan melakukan apapun kecuali kau yang memintanya.”
Vei tersadar dari lamunan saat mendengar suara Gama. Gama yang sebelumnya berdiri di sisi ranjang, kini kembali ke sofa dan berbaring di sana untuk beristirahat. Ia sengaja tak ingin meninggalkan Vei khawatir terjadi sesuatu lagi pada wanita itu.
Beberapa saat setelahnya, Vei membalikkan badan dan melihat Gama telah tidur. Pemuda itu terbaring dengan tangan bersedekap d**a dan mata terpejam, dengkuran halus pun samar terdengar.
Dengan hati-hati Vei bangun menegakkan punggungnya dan duduk. Di saat bersamaan, Gama mengubah posisi miring membelakanginya.
Vei menatap punggung Gama dalam diam. Tiba-tiba sedikit rasa bersalah merasukinya. Tadi siang Gama sudah menyelamatkannya tapi ia justru memarahinya. Dan sekarang, Gama kembali menyelamatkannya tapi ia tetap bersikap jahat, tak mengucapkan terima kasih. Jika Gama tidak menolongnya tadi, entah apa yang terjadi padanya sekarang, mungkin masih tergeletak pingsan di jalanan. Masih beruntung jika tidak ada orang jahat yang memanfaatkannya, jika tidak, entah apa yang terjadi.
Vei memijit kecil kepala disertai desisan samar. Kepalanya terasa berat. Entah karena efek minuman sebelumnya, atau karena terlalu memikirkan mantan suaminya.
Keesokan harinya, Gama bangun di waktu yang masih pagi. Sayangnya, Vei sudah pergi. Dirinya benar-benar tertidur pulas hingga tak menyadari kapan Vei pergi.
Gama mengacak kepala belakangnya. Bukan ia marah karena Vei pergi begitu saja tapi ia menyesal belum sempat mengetahui apa yang terjadi pada Vei semalam.
“Tsk, mungkin belum saatnya,” gumam Gama kemudian memutuskan segera check out.
Di sisi lain, Vei telah tiba di rumah. Ia segera membersihkan diri dan bersiap pergi bekerja. Beberapa waktu kemudian Vei telah sampai di kantor setengah jam sebelum jam kerja dimulai.
“Vei! Tunggu!”
Vei tetap melangkah memasuki gedung meski mendengar Dena memanggil. Dena berlari menyusul Vei dan merangkul tangannya setelah berhasil meraihnya. Nafasnya terengah dengan sebulir keringat menetes melewati pelipis.
“Hah … kau ini, kenapa tidak menungguku?” ucap Dena yang bersikap seperti tidak terjadi apapun kemarin. Ia pikir Vei sudah melupakan semuanya dan kembali seperti biasa. Namun, Vei tak memedulikannya.
“Vei, ayo lah, kau masih marah?” tanya Dena.
Vei tetap diam bahkan melepaskan tangan Dena yang merangkulnya dan berjalan cepat.
“Vei, kumohon, maafkan aku. Jangan marah padaku, kita ini teman, kan?” rengek Dena. Ia mulai khawatir sekarang karena baru kali ini Vei benar-benar marah hingga mendiamkannya padahal sudah berganti hari.
“Tidak ada teman yang mengkhianati temannya,” ucap Vei sarkas dengan nada suara begitu dingin.
“I– iya, Vei, maafkan aku. Aku tahu aku salah, kumohon maafkan aku.” Dena berdiri di hadapan Vei dengan mengatupkan kedua tangan memohon agar Vei mau memaafkannya. Ia bahkan berlutut membuat Vei pada akhirnya memberinya maaf meski masih menyimpan kekesalan.
“Ya sudah. Kalau kau mengulanginya lagi, aku tidak akan memaafkanmu. Kau harus mengembalikan hutang-hutangmu dua kali lipat," ucap Vei kemudian berjalan melewati Dena.
“He? Vei? Sejak kapan kau jadi rentenir?!”
Beberapa saat kemudian Vei sampai di lantai tempatnya bekerja. Ia menjatuhkan bokongnya dengan sedikit kasar dan mendesah berat. Suasana hatinya masih tidak baik-baik saja dan Dena menambahnya menjadi lebih buruk.
“Ada apa, Vei, kelihatannya kau tidak baik-baik saja,” tanya Jovan yang datang beberapa saat setelah Vei duduk di kursinya. Ia dapat melihat Vei tampak jengkel juga seperti banyak masalah.
“Tidak ada. Aku hanya sedikit lelah,” jawab Vei disertai senyuman ringan.
“Eh? Kau sakit?”
Vei mengusap tengkuknya dan menjawab, “Yah … sepertinya sedikit tidak enak badan.”
Tanpa Vei sadari, Willy mendengarnya. Pria itu tidak menyerah dan berniat menyapa Vei seperti tak terjadi apapun kemarin. Mendengar Vei tidak enak badan, ia memutuskan berbalik untuk membeli obat.
Di sisi lain, Gama berjalan melewati lorong kampus menuju kelasnya di lantai 2. Satu tangannya tersembunyi ke saku hoodie yang dipakainya dan satu tangannya mengusap tengkuk kala ia menguap. Lehernya sedikit sakit karena tidur di sofa semalam.
“Gama!”
Gama menghentikan langkah kala mendengar seseorang memanggil. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis berlari ke arahnya.