“Pagi, Gam. Tumben jam segini baru masuk, biasanya kau kan berangkat pagi,” sapa gadis berwajah manis yang saat ini berdiri di hadapan Gama.
“Aku bangun kesiangan tadi,” ujar Gama yang kembali menguap kemudian kembali melanjutkan langkah.
Gadis itu menyamakan langkahnya dengan Gama dengan sesekali mencuri pandang. Sesekali senyumannya terukir dengan wajah tampak merona. Namanya adalah Sofia, teman satu kelas Gama yang menyukainya saat pertama kali bertemu.
“Oh, ya, Gam, akhir minggu ini kau ada waktu? Aku ada dua tiket ke taman hiburan tapi bingung harus ajak siapa. Kau mau pergi denganku?” tawar Sofia bernada penuh harap. Ia sedikit malu-malu saat mengatakannya tapi berharap Gama mau pergi bersamanya.
“Aku tidak bisa. Aku harus kerja,” jawab Gama.
“Eh? Kerja? Kau kerja di mana?” tanya Sofia penuh rasa penasaran.
Gama melirik Sofia sekilas dan kembali menatap ke depan. “Di restoran tak jauh dari Ramajaya,” jawabnya.
Sofia menghentikan langkahnya sejenak berpikir di mana lokasi yang Gama maksud. Sadar Gama terus melangkah, ia kembali menyusul Gama menyamakan langkahnya.
“Jadi di hari libur kau bekerja?” tanya Sofia kembali dan mendapat jawaban anggukan dari Gama. “wah … keren sekali. Aku tak mengira kau kuliah sambil kerja. Kalau begitu, aku akan ke sana nanti.”
“Oi! Gama!”
Gama menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Ia pun menemukan seorang pemuda seusianya berlari ke arahnya dan merangkulnya.
“Ck, kukira kau sudah di kelas,” ucap pemuda tersebut. Pemuda itu bernama Galih, teman satu kelas Gama yang juga teman Gama saat SMA. “Oi, apa yang kau lakukan di sini? Pergi sana, hush, hush.” Galih mengusir Sofia membuat gadis itu mengerucutkan bibir kesal.
Sofia membuang muka dan mengumpat memaki Galih. Tak tahu kenapa tapi sepertinya Galih tidak mendukungnya yang berusaha mendekati Gama.
Tiba-tiba langkah Galih terhenti dengan ia yang menarik bahu Gama dan berbisik di telinga. “Gam, kau habis ngamar sama cewek semalam, kan?”
Seketika dahi Gama berkerut. Ia menatap Galih dengan sebelah alis meninggi.
Galih tertawa dan meninju bahu Gama. “Cih, jangan pura-pura bodoh. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau menggendong wanita ke hotel.”
“Apa?!”
Gama dan Galih terkejut mendengar teriakan Sofia. Gadis itu bahkan kini melotot menatap Galih.
“Ish, kau mau membuatku tuli?!” gerutu Galih dengan mengorek telinga menggunakan jari kelingking.
“Kau, ulangi ucapanmu tadi!” tuntut Sofia.
“Apa?” kata Galih yang sengaja memasang wajah bodoh.
Sofia menunjuk Galih tepat di wajahnya. “Tadi kau bilang Gama ke hotel dengan wanita?”
Gama menatap Galih dan Sofia bergantian kemudian memutuskan pergi dari sana tak ingin ikut campur. Terserah apa yang mau Galih katakan pada Sofia, dirinya sedang malas bicara. Meski cukup terkejut Galih mengetahuinya tapi, itu memang kenyataan, dirinya memang membawa Vei ke hotel.
“Siapa yang bilang? Kau salah dengar,” ucap Galih dan mendorong jidat Sofia. “Hei, Gam! Tunggu aku!” Tak ingin meladeni Sofia, Galih berlari menyusul Gama melihat Gama melenggang pergi tanpa mengatakan apapun.
Sofia masih berdiri di tempat dengan nafas mulai tak terkendali dan kedua tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya. Dengan jelas ia dengar Galih memergoki Gama ke hotel dengan wanita. Siapa? Siapa wanita itu? Apakah pacar Gama? Atau hanya wanita panggilan yang tak pantas menjadi saingannya?
Di sisi lain di tempat Vei, dirinya terkejut saat Willy menyodorkan beberapa kaplet obat dan vitamin.
“Kudengar kau tidak enak badan,” ucap Willy seraya meletakkan obat yang ia bawa ke atas meja di hadapan Vei.
“Te– terima kasih,” ucap Vei yang seakan tengah berpikir. Ia kira Willy akan menyerah dan tak berani menunjukkan batang hidungnya di hadapannya kecuali untuk urusan pekerjaan. Tapi, sepertinya ia salah.
“Kau harus jaga kesehatan. Banyak minum air putih dan jangan lupa minum vitamin,” ucap Willy. Setelah mengatakan itu Willy pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Vei mengikuti langkah Willy hingga pria itu tak lagi terlihat. Entah kenapa ia merasa ada sedikit hal aneh pada Willy.
“Dor!”
Vei terjingkat saat Dena mengagetkannya. Padahal Dena dan Willy berpapasan tapi Vei sampai tak menyadarinya.
“Hahaha, Vei, Vei, apa yang kau lihat sampai seperti itu? Jangan bilang kau mulai naksir sama pak Willy,” kelakar Dena dengan memegangi perut. Ia yang baru menjatuhkan bokongnya di kursinya seketika berteriak mengaduh sakit saat kakinya mendapat injakan maut dari kaki Vei.
“Bayar hutangmu tiga kali lipat,” ucap Vei dengan penekanan di setiap kata.
Dena memegangi kakinya dan merengek. “Vei, aku kan hanya bercanda. Kau mau buat jari kakiku diamputasi? Dasar jahat,” rengek Dena. Namun, tak ada yang peduli bahkan rekan-rekannya yang sudah di sana hanya menertawakannya.
Vei menghela nafas berat nan kasar lalu menatap obat dan vitamin di hadapan. Namun, yang ada di pikirannya saat ini bukan lah Willy melainkan kejadian semalam antara dirinya, Gama, dan mantan suaminya yang sialan.
Tak terasa jam kerja Vei telah habis. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore dan dirinya telah bersiap untuk pulang.
“Vei, aku nebeng sampai perempatan rumahku, ya,” ucap Dena memohon.
Vei menghela nafas berat. Sampai kapan Dena berhenti merepotkannya?
“Ya sudah, cepat. Aku mau segera pulang,” ucap Vei seraya melangkah setelah mendorong kursinya ke bawah meja.
Dena tersenyum senang. Ia tahu meski Vei ngambek tapi Vei tidak pernah bisa benar-benar membencinya.
Beberapa saat kemudian Vei dan Dena telah dalam perjalanan dengan Dena yang membonceng di belakang.
“Vei, ada yang ingin aku tanyakan. Ini serius tapi kau jangan marah, ya,” ucap Dena. Sebelumnya mereka mengobrol ringan meski Vei tampak malas meladeni celotehan Dena.
“Jika pertanyaanmu aneh-aneh, bayar hutangmu empat kali lipat.”
“Aaa, Vei, kenapa hutang terus, sih?” rengek Dena berpura-pura merajuk.
Vei menghela nafas lelah dan berkata, “Ya sudah, apa.” Meski kerap dibuat kesal oleh Dena, tapi Dena lah yang menjadi temannya menghibur diri melupakan masalahnya walau sejenak.
Dena menelan ludah susah paya. Mulutnya tertutup terbuka seakan takut mengutarakan pertanyaannya. “Tapi, janji jangan marah, ya.”
“Kalau sudah sampai perempatan aku tidak mau jawab,” ucap Vei melihat perempatan menuju rumah Dena hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.
Dena menarik nafas panjang dan megembuskkannya perlahan kemudian bertanya, “Vei, apa kau sudah pernah menikah?”
Vei menarik rem tangan tiba-tiba membuat motor yang ditumpanginya berhenti mendadak dan membuat kepala Dena terantuk membentur helm Vei.
“Aw, aduh duh, aduh.” Dena mengaduh sakit memegangi kepalanya. Ia meringis dan mendesis sampai tiba-tiba Vei kembali melajukan motornya.
“Ya,” jawab Vei dengan suara pelan.