Cara Kerja Peri Cinta.

1044 Kata
Belum menjawab pertanyaan sang Dosen, Feeya terkekeh hingga membuat Revan bingung dan mengangkat kedua alisnya serta menggedikan dagunya. Feeya memberi kode dengan tangannya menyentuh wajahnya sendiri kalau di dagu Revan ada saus yang menempel. Tapi Revan tidak paham dan dia mengelapnya di sisi yang salah. Akhirnya Feeya mengambil selembar tisu dan membersihkan dagu Revan. Perhatian yang Feeya lakukan pada Revan membuat pria berdarah setengah Jepang itu jatuh cinta pada pandangan pertama, Ups! Pandangan ketiga sih tepatnya karena ini ketiga kalinya mereka bertatapan muka langsung dan ini yang paling dekat. Di parkiran, di kelas dan di taman ini. "Terimakasih," ucap Revan seraya mengulas senyum dengan dua lesung pipi yang memikat hati Feeya saat itu juga. Seperti ada Peri cinta yang muncul di tengah keduanya dan memanah panah asmaranya tepat di hati keduanya. Masing-masing memiliki getaran yang sulit mereka ungkapkan satu sama lain. *** "Burgernya enak, apa besok bisa buatkan lagi untuk saya?" pinta Revan. "Hah? Masa setiap hari makan burger?" "Y-ya gak apa-apa kan?" "Gak apa-apa sih, tapi lebih sehat itu makan nasi dan lauk pauk yang lengkap." "Tapi saya gak bisa masak, heum, tepatnya gak sempat masak." "Bagaimana kalau saya pesan makan siang sama kamu? Saya bayar," sambung Revan seketika idenya muncul agar bisa terus berkomunikasi dengan Feeya. Feeya berfikir sejenak. "Baiklah, tapi gak bisa request menu ya. Saya masak buat Bapak lauk yang sama seperti yang saya makan." "Boleh request satu aja?" tanya Revan. Kening Feeya menyernyit. Pasalnya, baru saja dia bilang tidak bisa request. "Request jangan panggil saya Bapak, karena saya belum jadi bapak-bapak," canda Revan, berhasil membuat Feeya tertawa lepas. Tawa yang cantik dengan deretan gigi yang rapih dan putih, membuat Revan tambah jatuh cinta dan pikirannya traveling seketika ingin menyusup masuk menikmati area di dalamnya dengan kata lain mencium gadis itu. "Baiklah, saya harus panggil apa kalau begitu? Saya gak bisa panggil nama karena Anda adalah Dosen saya. Kalau kemarin saya panggil nama karena saya kira Anda mahasiswa baru." Feeya sesekali masih tertawa kecil. Mengingat kejadian kemarin. "Panggil apa saja, kalau di kelas boleh lah panggil Pak karena status saya sedang menjadi Dosen kamu, nah, kalau di luar seperti ini lebih baik panggil ... Heum ... Apa ya?” "Mas aja boleh?" tanya Feeya. Revan langsung mengangguk setuju. "Iya, boleh. Lebih cocok kan? Dari pada Bapak, kesannya tua banget." Kembali Revan bercanda dan Feeya tertawa lagi. Waktunya istirahat berakhir, Feeya harus kembali ke kelas karena ada satu mata kuliah lagi yang harus dia ikuti, Revan juga harus mengajar di kelas lainnya. "Ouch!" pekik Feeya ketika dia berdiri, dan tubuhnya terhuyung mencari pegangan. Beruntung Revan cepat tanggap dan memegangi Feeya. "Kenapa?" tanya Revan khawatir. "Heum, gak apa-apa, cuma —” "Duduk, biar saya periksa kaki kamu," paksa Revan. Mau tidak mau Feeya kembali duduk dan Revan jongkok di depannya. Mengangkat satu kaki Feeya yang dia duga sedang tidak beres, memijitnya pelan. "Akh!" Feeya teriak. "Sakit?" Feeya mengangguk. "Pantes kamu gak bawa motor," ucap Revan. Tebakan pria itu benar karena Feeya mengangguk. Kakinya yang sakit penyebabnya. "Apa ini karena kemarin ketiban motor?" tebak Revan. "Biasanya lebam atau sakit karena ketiban gak langsung terasa. Esoknya baru lebam muncul dan rasa sakit itu muncul, saya sudah menduganya," papar Revan, masih memijat pelan kaki Feeya. "Sudah, Mas, cukup. Sudah enakan kok." Feeya mendorong tangan Revan, dia merasa tidak enak hati jika sang Dosen harus memegang kaki dan memijitnya meski jujur rasanya memang enak jika di pijit, rasa sakitnya berkurang. Tapi dia tidak mau jadi perhatian dan bahan cibiran orang-orang. Pasalnya, mahasiswa yang lewat langsung menoleh kearahnya. "Saya ada obat khusus untuk kaki kamu, biar rasa sakitnya berkurang dan kamu bisa aktifitas dengan leluasa lagi. Tapi ada di rumah saya. Besok saya bawain ya." Feeya mengangguk. "Ayuk saya antar kamu ke kelas," ajak Revan. Dosen muda itu memegang lengan Feeya, memapah sang mahasiswi yang kakinya sedang keseleo sedikit bengkak karena kejadian kemarin di area parkir. *** Feeya merasa canggung ketika mendapat tatapan dari para mahasiswi yang merasa iri padanya karena Revan-Dosen Muda yang tampan itu membantunya berjalan bahkan sampai ke dalam kelas dan dia duduk dengan nyaman. "Terimakasih, Pak," ucap Feeya pelan. "Kok —” Revan baru saja hampir protes karena Feeya memanggilnya dengan sebutan 'Pak' saat sang mahasiswinya itu melempar pandangannya ke tempat lain, tepatnya ke arah para mahasiwi yang duduk berkumpul sedang menatap ke arah mereka. Revan tersenyum tipis pada para mahasiswinya itu kemudian kembali fokus pada Feeya. "Pulang kuliah tunggu saya di lobby kampus, saya antar kamu pulang." "Tidak perlu, Pak, saya bisa —” "Saya tidak terima penolakan." Revan pergi setelah itu. *** Satu mata kuliah selesai, dengan tertatih Feeya berjalan pelan di bantu oleh Kristal yang memapah dirinya. "Lo pulang pakai apa, Fee?" tanya Kristal ketika mereka berdua sudah sampai di lobby gedung Fakultas Sastra. "Gak usah khawatir, tar gue pesan ojol." Tidak enak berkata jujur pada Kristal kalau dia akan di antara oleh Revan, Feeya tidak mau membuat sahabatnya iri atau salah paham padanya. Makadari itu, Feeya sedikit berbohong dengan mengatakan akan memesan ojek online sebagai kendaraannya yang mengantar pulang. "Bener nih gak mau gue anter?” Kepala Feeya menggeleng menolak ajakan Kristal. "Sudah sana, supir lo sudah nunggu lama loh di parkiran, kasihan tau!” usir Feeya. "Iya, iya, sampai ketemu besok ya, bye, Fee," pamit Kristal. "Bye, Kris, hati-hati dijalan." Tangan Feeya melambai. Feeya duduk menunggu di Lobby gedung kampusnya, satu persatu mahasiswa keluar dari gedung tersebut sampai area itu terlihat sepi. Hanya Feeya dan penjaga keamanan yang sedang berjaga. Sudah sore, matahari pun hampir terbenam. Feeya menghela napas, sedikit kesal karena menunggu Revan yang tidak muncul juga. Feeya mengeluarkan ponselnya. Menatap layar ponselnya, mencari nomer kontak sang Dosen muda yang dia masukan di sana atas nama Dosen Jepang. Hatinya ingin menghubungi dengan mengirim pesan lewat WA tapi pikirannya berkata jangan karena takut menganggu, mungkin saja Revan sedang sibuk. "Lima menit lagi gak muncul, gue pulang sendiri lah,” monolognya dalam hati. Lima menit kemudian, Feeya menghela napas, kecewa. Pasalnya, Revan sendiri yang memintanya menunggunya di Lobby kampus sepulang kuliah tapi nyatanya Dosennya itu tidak menepati janji. Dengan langkah tertatih Feeya berjalan pelan. Sementara itu Revan berlari sekencangnya dia bisa, dari gedung Rektorat menuju gedung Fakultas Sastra. Napasnya sedikit terengah ketika dia tiba. Berkacak pinggang sambil mengatur napasnya dan melayangkan pandangannya ke sekitar Lobby gedung Fakultas Sastra itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN