Tanpa sepengetahuan Juna, Kayla tidak langsung kembali ke rumahnya saat itu. Dia berhenti setelah berbelok di tikungan pertama dari halte.
Kepalanya mengintip memastikan kalau Juna sudah pulang dan tidak lagi terlihat di halte itu. Setelah merasa aman, Kayla kembali berjalan ke halte bus tadi. Seperti rencana awalnya, dia akan ke super market untuk belanja kebutuhannya.
***
Liam berjalan keluar dari rumahnya. Ini hari minggu, dia akan berolahraga di tempat biasanya. Laki-laki itu menggunakan setelan olahraga dengan sepatu yang senada.
Mobilnya dia kendarai melewati gedung-gedung kota. Liam menyalakan radio mobilnya, saluran itu sedang memutar musik untuk menemaninya di pagi hari.
Setelah musiknya selesai, suara seorang penyiar mendominasi.
"Gimana pagi ini? Happy? Galau? Ada yang baru jadian? Atau ada yang baru berpisah?"
Pertanyaan sang penyiar itu mengalihkan fokus Liam.
Dia teringat Kayla. Iya... Kayla mantan kekasihnya, bukan Desi yang gagal menikah dengannya.
Liam mematikan radionya. Dia menepikan mobilnya, dadanya terasa sesak mengingat semua kenangan-kenang yang sudah dia lalui bersama Kayla.
Entah kenapa dengan bodohnya dia lebih memilih Desi dan menyia-nyiakan perempuan sebaik Kayla.
Liam menarik nafasnya dan menghembuskannya. Pikirannya mulai berkelana. Sosok Kayla kembali mendominasi isi kepalanya. Dia berusaha melupakannya. Hatinya berharap kembali, tapi logikanya tak bisa melakukan itu. Dia malu, dia takut, dia dia merasa tak pantas bahkan hanya untuk melihat punggungnya dia tak sanggup.
Liam mengakui dirinya pengecut. Bahkan dia lebih memilih menanyakan kabar perempuan itu ke temannya bukan malah menanyakannya langsung, itu karena dia tau dia salah.
"Maaf, kay," gumamnya lemah.
Liam mengambil ponselnya, dia membuka kontak seseorang disana. Dia akan mengiriminya pesan tapi setelah selesai mengetik, di langsung kembali menghapusnya.
Benar itu nomor Kayla. Liam kembali meletakkan ponselnya, dan ternyata dia tak seberani itu sekarang.
Liam kembali menyalakan mobilnya, dia segera menuju tempat gym untuk berolah raga dan menghilangkan pikirannya. Meski dia yakin hanya sebentar.
***
Pagi hari ini sedikit berbeda karena cuaca yang sedikit tidak bersahabat. Hujan mengguyur kota di pagi hari uang diharapkan cerah oleh manusia-manusia pekerja keras.
Mereka harus mengenakan payung atau jas hujan untuk melindungi tubuh agar tidak basah saatvsampai ke tempat bekerja. Begitupun dengan yang dilakukan dengan Kayla. Dengan payung hitamnya dia berjalan menuju halte. Bahkan disaat hujan seperti ini, halte itu masih saja ramai dengan penumpang.
Kayla terpaksa harus menunggu dengan tetap berdiri dan berlindung dibawah payung.
Bis tujuannya datang, Kayla segera naik bersama penumpang-penumpang lain, setelah mendahulukan penumpang didalam untuk turun.
Dia juga tidak mendapat kursi untuk diduduki, jadi dia harus berdiri selama perjalanan.
Saat Kayla sudah tiba di halte tujuannya, hujan masih belum berhenti. Dia maaih harus berjalan lagi ditengah hujan seperti ini menuju kantor.
"Pak Dave nyariin kamu, Kay," ucap Fanny memberitahu Kayla saat dia sudah tiba di meja kerjanya.
"Oh, iya. Makasih, Fan," ujar Kayla, setelah meletakkan barangnya dia langsung pergi menuju ruangan Dave.
Kayla mengetuk pintu ruangan Dave sebelum masuk ke dalam.
"Permisi pak," ucap Kayla yang masih diambang pintu.
"Masuk," suruh Dave.
Kayla berdiri didepan meja kerja Dave, pria itu sedang bergulat dengan pekerjaannya sebelum mengangkat wajahnya menatap Kayla.
"Duduklah," ucapnya.
Kayla duduk didepan meja kerja Dave. "Ada apa ya pak?" tanyanya.
"Begini, rapat yang seharusnya kira adakan hari ini harus kita undur karena cuaca yang tidak mendukung kolega-kolega untuk datang kesini," jelas Dave.
"Seperti itu ya, pak."
"Kita undur dua hari lagi," ucap Dave.
"Baik, pak," balas Kayla mengerti. "Kalau gitu saya permisi dulu," pamitnya.
"Iya, silahkan."
Kayla keluar dari ruangan Dave. Dia kembali ke meja kerjanya, sedikit lesu.
"Lesu banget, Kay. Kenapa?" tanyq Fanny melihat Kayla yang kembali dengan wajah masam.
"Rapatnya diundur dua hari lagi. padahal aku udah persiapan presentasi semalam," ucap Kayla sedikit kecewa.
"Gapapa, Kay," ujar Fanny. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Kayla. Dia meletakkan segelas kopi diatas meja Kayla.
"Kopi s**u," ucap Fanny.
"Buat aku?" tanya Kayla. Fanny mengangguk.
"Minum aja selagi panas. Enak banget kalau diminum pas hujan-hujan gini," ujar Fanny.
Kayla mengangguk, "terima kasih ya, Fan," ucapnya.
"Sama-sama." selepas itu Fanny kembali ke tempatnya. Kayla menikmati kopi s**u panas yang diberikan Fanny. Benar katanya, setelah melewati udara dingin karena hujan dan mendengarkan kalau rapatnya tidak jadi diadakan hari ini, dengan kopi ini bisa membuat dirinya merasa sedikit kembali menaikkan moodnya dan tubuhnya kembali menjadi hangat.
"Leganya," gumam Kayla setelah menelan beberapa tegukan.
Kayla kembali berkutik dengan pekerjaannya kala itu.
***
Kring
Bunyi bel pertanda pelanggan masuk terdengar di sore ini. Laki-laki dengan perban ditangannya masuk ke dalam cafe tempatnya bekerja.
"Loh kok?" bingung Tyo melihat kedatangan Juna.
"Mau berkunjung aja, Yo. Bosan dirumah ga ngapa-ngapain," ucap Juna yang kini duduk di depan meja bar. Dia memesan kopi kesukaannya.
"Jun, Kamu sama si Kayla gimana?" tanya Tyo sambil bekerja membuat pesanan para pelanggan.
"Hah? Gimana apanya sih, Yo? Kamu itu selalu gini ya," ujar Juna entah kenapa malah terlihat kesal.
"Giama temenannya... Kamu itu jangan mikir yang-jauhcajuh gitu dong, kan maksud aku bukan yang gimana-gimana," jelas Tyo sambel tertawa renyah dan itu malah membuat Juna semakin kesal dengannya.
Juna tentu tak termakan alasan Tyo. Dia kenal Tyo, dia sungguh tau kemana arah yang dimaksud Tyo dengan pertanyaannya tadi.
"Alasan," ucap Juna sambil memutar bola matanya.
"Biasanya jam segini dia mampir nih," ucap Tyo.
"Siapa?"
"Ya Kayla lah, siapa lagi?"
Mendengar itu Juna berdecak kesal. "Ya sudah sih kalau dia mau mampir, kenapa harus bilang?"
"Sensitif sekali kamu hari ini, Jun," ujar Tyo terkekeh, ia merasa senang menggoda temannya itu.
"Lagipula kamu harus move on, Juna. Kayla ga jauh beda kok sama Dinda," ucap Tyo yang membuat Juna terdiam.
"Kenapa harus bahas Dinda sih?" tanya Juna yang malah seperti gumaman.
"Tuh, baru disebut namanya aja udah galau."
Dinda adalah mantan kekasih Juna. Hubungan mereka sudah berakhir tiga bulan lalu. Tapi Tyo tahu kalau Juna masih memikirkan perempuan itu selama ini.
"Kayla baik juga, Jun. Dia mungkin ga akan berkhianat seperti Dinda," ujar Tyo yang malah mendapat tatapan tajam dari Juna.
"Jangan banding-bandingin Dinda sama orang lain, Yo. Kayla memang baik, tapi bukan berarti Dinda jahat. Mereka berdua orang yang berbeda," ucap Juna yang terdengar tegas.
"Pengkhianat dibilang baik," gumam Tyo sepelan mungkin.
Juna menghela napasnya kasar, "Aku dengar itu Tyo," ucapnya.
Beberapa menit berlalu dengan perbincangan-perbincangan yang lebih ringan.
Kring
Bunyi lonceng kembali terdengar. Tyo melihat siapa yang datang.
"Benar kan tebakanku," ucapnya sambil tersenyum.
Juna mendengar itu, dia berbalik tepat saat Kayla sudah berjalan mengarah kepadanya dengan raut heran.
"Loh, kok disini?" tanya Kayla saat berada disamping Juna.
"Bosan di rumah," jawab Juna.
Kayla lalu duduk disebelahnya setelah meminta segelas cokelat panas kepada Tyo.
"Sudah baikan?" tanya Kayla melihat tangan Juna.
"Baru lepas penyangga tadi pagi, sisa perban aja sih," jawab Juna.
"Tunggu, kamu tidak bekerja?" tanya Juna saat menyadari pakaian Kayla yang hanya memakai setelan hoodie bukan setelan kantor seperti biasanya.
"Kerja kok. Ah, ini tadi pakaianku terkena tumpahan kopi, jadi temanku memberi pinjaman bajunya saat pulang," jelas Kayla.
"Oh seperti itu." Juna mengangguk anggukkan kepalannya.
Guntur kembali terdengar pertanda hujan akan turun lagi. Kayla, Juna dan para pelanggan lain melihat ke luar cafe. Langit yang sempat terang beberapa saat lalu kembali menjadi mendung. Bahkan saat malam akan tiba, cuaca belum saja membaik.
"Dari tadi pagi cuacanya belum membaik," ujar Juna.
"Iya, sepertinya untuk beberapa hari kedepan kita harus sedia payung atau jas hujan karena perkiraan cuaca akan terus seperti ini," ucap Kayla yang masih memandangi langit gelap padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah lima sore.
"Benar," balas Juna.
Secangkir cokelat panas pesanannya sudqh tiba dihadapannya. Ia mengambilnya dan meminumnya.
"Apa rasanya sama dengan buatan Juna?" tanya Tyo saat melihat Kayla menyeruput minumannya.
"Kamu mau aku jujur?" tanya Kayla setelah kembali meletakkan cangkirnya.
Tyo mengangguk.
"Sedikit kurang manis dari buatan Juna. Tapi tak masalah, aku tetap suka," ujar Kayla jujur yang membuat Juna terkekeh dan Tyo yang sedikit cemberut.
"Aku memang punya rahasia-rahasia di semua resep minuman buatanku," ujar Juna.
"Begitu ya."
"Mau kubuatkan ulang?" tanya Juna menawarkan diri untuk membuatkan kembali cokelat panas untuk Kayla.
"Jangan tidak usah, ini saja cukup. Lagi pula tanganmu masih sakit, jadi pasti akan kesusahan," ucap Kayla menghentikan niat Juna.
"Yakin?" tanyanya lagi.
"Iya, yakin."
"Baiklah, besok saat sembuh langsung kubuatkan khusus untukmu," ujar Juna mengakhiri.
Kayla tertawa, "terserah kamu," ucapnya.
Beberapa waktu berlalu hingga malam tiba dan hujan mulai sedikit reda.
Kayla pulang bersama Juna. Beruntung mereka membawa payung masing-masing. Saat tiba di halte, bis juga tiba bersamaan dengan mereka. Jadi mereka tidak perlu menunggu lama lagi.
Bis itu melaju menembus hujan yang sepertinya tak lama lagi akan berhenti. Dan benar saja, hujan sudah berhenti saat Kayla dan Juna turun di halte dekat rumah mereka.
"Aku duluan ya," pamit Kayla.
"Iya, hati-hati," balas Juna sambil melambaikan tangannya kepada Kayla yang berlalu pergi.
Selepas tak melihat Kayla lagi dipandangannya, Juna juga berlalu pergi menuju rumahnya.
Dia berjalan dengan pikiran yang berkelana kemana-mana. Tiba-tiba dia teringat ucapan Tyo tadi sore.
"Kayla baik juga, Jun. Dia mungkin ga akan berkhianat seperti Dinda."
Kalimat itu membuatnya marah. Tapi, Tyo juga tidak salah dengan kalimatnya.
Dia mengacak rambutnya pusing. Disatu sisi dia ingin membuka hati, tapi disisi lain rasanya dia masih mengharapkan Dinda. Meski rasanya itu terkesan sangat bodoh ketika dikhianati oleh wanita dan malah ingin kembali bersama wanita itu.
Juna tidak bisa mengerti dengan dirinya. Dia sudah tidak pernah menghubungi Dinda lagi, dia bahkan tidak tahu bagaimana kabarnya saat ini.
Dia benci ini. Dia benci dengan harapan. Sudah terlalu banyak sakit yang dihasilkan oleh harapan-harapannya.
Semakin Juna memikirkan itu, semakin dia tenggelam.
"Tolong bawa saya dengan kenyataan, tuhan," gumamnya.
Tanpa sadar, Juna sudah sampai di depan rumahnya. Dia berusaha untuk tak memikirkan apapun lagi agar,dia bisa beristirahat dengan tenang malam ini untuk sejenak.
***
"Vira," panggil Risda yang melambai kearah Vira yang sudah duduk di suatu tempat. Dia berjalan mendekat dan duduk dihadapannya.
Malam ini mereka berdua berjanjian untuk bertemu di salah satu restoran di dalam mall.
"Lo dari rumahnya Nenek?" tanya Risda.
"Iya, baru aja pulang dari sana langsung kesini," balas Vira.
"Sorry ya ga bisa ikut. Gue aja baru kelarin kerjaan di kantor," ucap Risda merasa bersalah.
Sebenarnya dia juga rindu dengan Resti karena sudah tiga hari ini dia tidak bertemu dengan Resti. Tapi karena pekerjaannya yang menumpuk, dia jadi tidak punya waktu untuk itu. Saat ini saja dia berusaha menyempatkan untuk bertemu dengan Vira.
"Santai aja."
"Gimana kabarnya Nenek?" tanya Risda.
"Baik kok, sehat. Kita juga selalu nyempetin buat video call sama Kayla," jawab Vira.
Minuman dan makanan yang mereka peaan sudah tiba. Jadi mereka berhenti berbicara sebentar untuk makan.
"Si Liam ada ngehubungin lo lagi, Da?" tanya Vira setelah menyelesaikan makan malam mereka.
"Engga pernah lagi sih," balas Risda.
"Baguslah," ucap Vira lega.
"Gue habis ngirimin Kayla beberapa kebutuhannya, seenggaknya itu bisa ngebantu dia di luar kota sana," ucap Risda memberi tahu.
"Iya, pasti ngebantu dong."
Risda mengangguk. Setelah itu mereka keluar dari restoran itu. Karena sedang berada di mall, jadi mereka berdua memilih untuk mampir di toko baju.
"Risda, coba ini," ucap Vira memberikan sebuah gaun sederhana kepada Risda.
Risda mencobanya dan melihat pantulan dirinya di cermin.
"Gimana?" tanya Risda meminta pendapat Vira.
"Nah kan cocok buat lo," ujar Vira.
"Terbaik deh emang temen gue," ucap Risda bangga. Dia kembali mengganti pakaiannya.
"Gimana kalau beli tiga? Kita kirimin buat Kayla satu, jati kembaran bertiga deh," saran Risda.
"Boleh juga tuh, gue pilihin buat Kayla juga ya."
Mereka akhirnya mendapat tiga pasang. Setelah itu mereka membayarnya di kasir.
Vira dan Risda keluar dari toko itu.
"Loh, Vira... Risda..." seseorang memanggil nama mereka berdua.
Mereka menoleh untuk melihat siapa yang memanggil mereka. Terlihat Liam sedang berjalan di belakang mereka.
Itu membuat Vira dan Risda saling pandang. Mereka tak menyangka akan bertemu Liam disini.
"Eh, i-iya Liam," ujar Vira dan Risda sama-sama gugup.
"Sedang apa disini malam-malam?" tanya Liam basa-basi.
"Kita makan malam disini," jawab Vira berusaha terlihat tidak canggung.
Liam mengangguk.
"Kebetulan kalian disini, Emm... Ada yang mau gue tanyain," ujar Liam.
"Apa?"
"Kayla... Kayla apa kabar?" tanyanya.
Hening sesaat, "B-baik... Baik kok," jawab Risda.
"Dia dimana sekarang? Kok ga sama kalian?"
"Ah, itu... Dia lagi keluar sama Neneknya, jadi ga bisa ikut sama kita kesini," kini Vira yang menjawabnya.
"Oh gitu. Yauda kalau gitu gue duluan ya," pamit Liam.
Setelah memastikan Liam sudah jauh dari hadapan mereka berdua, Vira dan Risda dapat menghela nafas lega.
"Huh, syukurlah," lega mereka.