"Halo, Nek," salam Kayla.
Dia sedang melakukan panggilan telefon kepada Resti.
"Halo, Nduk," balas Resti diseberang sana.
Kayla sedang rebahan diatas kasurnya malam ini. "Nenek apa kabar?" tanya Kayla.
"Sehat, Nduk. Kamu disana gimana?" tanya Resti balik.
"Baik juga kok, Nek. Omong-omong besok aku ada rapat," ucap Kayla.
Kayla benar, besok sudah waktunya dia rapat. Jadi dia baru saja menyelesaikan presentasinya untuk besok. Karena itu dia memilih rebahan dan istirahat diatas kasurnya sekarang. Dia juga kepikiran dengan Resti jadi dia menelfonnya.
"Oh gitu, semoga berhasil ya," ucap Resti menyemangati.
"Vira sama Risda sering kesitu ya Nek?"
"Iya, tapi beberapa hari ini Risda ga bisa ketemu Nenek soalnya dia sibuk sama kerjaannya," ujar Resti.
"Iya, dia juga cerita kok ke Kayla. Katanya kangen sama Nenek."
Resti tertawa pelan. Ia bersyukur Kayla memiliki teman-teman yang baik seperti Vira dan Risda. Mereka bahkan sudah Resti anggap sebagai cucunya sendiri layaknya Kayla. Mereka selalu membantunya setiap saat, bahkan tanpa Resti minta.
"Nenek sudah makan?"
"Iya sudah, Nduk," balas Resti.
Setelah berbincang beberapa lama, mereka memutuskan panggilannya. Kayla membersihkan te;ooat tidurnya bersiap untuk jatuh ke alam mimpinya karena dia sudah mengantuk saat ini. Dia juga harus bersiap untuk rapat besok.
***
Tok tok tok
"Masuk."
Liam masuk ke dalam ruangan seseorang.
"Bapak panggil saya?" tanyanya saat sudah berada di dalam ruangan itu.
"Iya, silahlan duduk."
"Besok kamu tolong wakili saya untuk menghadiri rapat. Ada perusahaan yang mengajukan investasi. Saya tidak bisa datang karena ada pertemuan lain yang harus dihadiri," jelas orang itu yang memiliki jabatan lebih tinggi dibanding Liam.
"Baik, pak," balas Liam bersedia.
"Ini diluar kota, nanti saya kirim alamatnya ke kamu," ujar orang itu lagi.
Liam mengangguk lagi. Dia kemudian berpamitan dari sana dan kembali ke ruangannya dengan membawa beberapa berkas untuk menghadiri rapat besok. Dia juga membalas sapaan beberapa karyawan yang melewatinya dalam perjalanan.
***
"Selamat pagi pak," sapa Kayla saat tiba diruangan Dave.
"Pagi juga," balas Dave.
Mereka bersiap menuju ruang rapat.
"Tamu-tamu sdah datang?" tanya Dave.
"Sejauh ini masih belum pak, sepertinya sebentar lagi mereka tiba," jawab Kayla karena saat tadi mengecek ruang rapat masih belum ada siapa-siapa.
"Ya sudah, ayo kita duluan saja. Semuanya sudah siap 'kan?"
Kayla mengangguk, "sudah, pak," ucapnya sambil menunjukkan berkas-berkas dan laptop yang dibutuhkan.
Mereka lalu keluar ruangan menuju ruang rapat. Benar saja, baru mereka berdua yang ada. Itu artinya Kayla dan Dave harus menunggu hingga kolega-kolega mereka tiba.
Satu persatu orang datang dan duduk di meja bundar yang ada di ruang rapat itu.
"Sudah semuanya?" tanya Dave yang akan memimpin rapat kali ini.
"Maaf, pak. Masih ada satu perusahaan investor dari jakarta yang belum hadir," lapor seseorang di ujung meja.
"Baik, kita tunggu dia sebentar lagi."
Beberapa menit menunggu hingga seseorang yang ditunggu datang. Dia masuk kedalam mengenakan setelan jas hitamnya dengan gagah.
"Maaf saya telambat," ujar orang itu sambil menunduk meminta maaf.
Yang lain hanya mengangguk memaafkannya. Sedangkan dari beberapa orang disana, ada satu orang yang terpaku menatap orang yang baru tiba itu.
Itu Kayla, dia yang awalnya tak peduli langsung mengangkat kepalanya tatkala suara orang yang terlambat itu terdengar ketelinganya. Dia langsung terpaku begitu saja saat menyadari siapa yang ada di depan matanya.
"Liam," gumammnya sangat pelan.
Liam, laki-laki itu melihat-lihat kesekitar. Tak jauh beda dengan apa yang dirasakan Kayla, dia menegang dikala matanya bertemu dengan mata perempuan yang dia cari akhir-akhir ini. Mata yang tiba-tiba membuatnya merindukan semua hal tentang perempuan itu. Lama Liam menatap Kayla hingga Kayla yang memutuskan kontak mata itu pertama kali. Dia juga berdehem.
Liam langsung kembali ke alam sadarnya. Beruntung tak ada yang sadar dengan tingkah aneh mereka berdua di dalam sana.
Liam lali berjalan menuju kursi yang kosong. Letaknya berjauhan dari tempat Kayla duduk. Detak jantung laki-laki itu tiba-tiba tak karuan. Begitupun dengan Kayla, dia juga merasakan hal yang sama.
Seberusaha mungkin dia tak ingin bertemu pandang dengan Liam.
"Baiklah, mari kita mulai," ujar Dave membuka suara.
Dia mengintruksi Kayla untuk menyiapkan presentasinya. Kali ini Kayla mengambil alih. Meski dengan perasaan yang sangat tak karuan karena tiba-tiba kembali melihat Liam setelah semua itu, dia tetap berusaha memberikan presentasi yang terbaik. Terlebih ini adalah ajuan dan harapan tempat kerjanya di kantor kota asalnya.
Dan selama presentasi itu juga Liam tak dapat mengalihkan pandangannya dari Kayla. Perasaan-perasaan bersalah, menyesal, rindu, dan semua yang tak dapat ia definisikan kembali hadir di ruang dadanya.
Kayla bahkan sadar dengan tatapan Liam padanya. Jantungnya berdebar bukan karena presentasinya, tapi karena laki-laki itu. Sebisa mungkin dia tak menghiraukan itu dan berpura-pura tak menyadarinya.
Presentasinya berhasil. Kini para atasan, kolega tengah berdiskusi bersama mengenai proyek yang akan dilaksanankan sesuai dengan apa yang Kayla presentasikan.
Beberapa jam berlalu hingga rapat berakhir. Orang-orang keluar satu persatu. Kayla dan Dave keluar bersamaan. Dave berjalan lebih dulu didepan Kayla, meninggalkan Kayla dibelakangnya. Selama didalam tadi, Kayla benar-benar tak peduli lagi dengan kehadiran Liam didepan matanya.
Tapi semua itu percuma tatkala sebuah lengan menahan pergelangan tangannya dari belakang. Kayla berbalik dan menemukan orang yang berusaha dia hindari selama ini.
"Kayla," panggil Liam saat mereka sudah berhadapan.
Kayla membuat senyum paksaan, "Maaf saya sibuk sekarang," ujarnya sambil berusaha melepas cekalan ditangannya.
Liam hanya terdiam tak melawan melihat Kayla melakukan itu.
Kayla berbalik hendak berjalan kembali dengan perasaan yang kembali memporak-porandakan hatinya.
"Kayla, maaf," ucap Liam pelan tapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Kayla. Kayla refleks berhenti melangkah. Pandangannya kosong ke depan. Meski tau Kayla berhenti tak jauh didepannya, Liam tak dapat bergerak mendekat sama sekali seolah ada perekat yang menahan kakinya disana.
Sekuat tenaga Kayla menahan airmatanya. Nafasnya memburu. Dia menghembuskannya kasar mencoba menormalkan kembali deru nafasnya. Tanpa mengatakan apapun atau berniat membalas ucapan Liam, dia pergi dari sana dengan langkah yang dipercepat.
Liam melihat itu, dia tak bisa menghentikan langkah Kayla lagi karena dirinya saat ini juga sedang dalam perasaan yang tak karuan. Dia hanya bisa melihat punggung kecil itu perlahan menjauh darinya dan menghilang ditikungan.
Dia mengusap wajahnya kasar. Dia menhela nafas berkali-kali. Kemudian kakinya dengan paksa dia langlahkan keluar dari kantor itu dan masuk kedalam mobilnya yang berada di parkiran. Tak langsung menyalakannya, justru Liam menenggelamkan kepalanya di kedua tangan yang terlipat di stir mobilnya.
"Akh!" teriaknya frustasi. Dia menatap ke sekeliling.
Mobilnya dia nyalakan dan keluar dari kantor itu.
***
Kayla yang baru kembali dari ruang rapat atau lebih tepatnya menghindari Liam itu kini sudah duduk dimeja kerjanya. Dia melipat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya dibalik sana.
Dia hanya terdiam disana. Bahkan ketika Fanny dan karyawan lain bertanya ada apa dia hanya diam tidak menjawab sepatah kata pun. Hal itu membuat orang-orang disekitarnya semakin bingung.
Kayla sudah meyelesaikan pekerjaannya hari ini, jadi dia bisa pulang lebih cepat.
Kini dirinya melangkah meninggalkan kantor setelah berpamitan dengan yang lainnya. Moodnya jadi tak karuan setelah bertemu dengan Liam.
Dia pulang, tapi tak ingin pulang ke kontrakan sekarang. Berhubung Kayla melewati cafe Juna bekerja, dia akhirnya memutuskan untuk mampir sejenak menikmati cokelat panas buatannya.
"Selamat datang kembali, Kayla," ucap Juna saat melihat Kayla masuk ke cafenya.
"Kamu juga," balas Kayla.
Tangan Juna sudah membaik, dia sudah bisa menggerakkan tangannya. Tapi perbannya masih belum boleh dilepas. Jadi, laki-laki itu memutuskan untuk kembali bekerja hari ini. Sebenarnya dia dan Kayla juga berangkat bersama lagi pagi tadi.
"Cokela panas satu," ucap Juna sembari meletakkan secangkir minuman kesukaan Kayla setiap ke cafe ini.
"Terima kasih," balas Kayla tersenyum. Ia menyeruput minumannya, membuat tenggorokannya terasa hangat. Setidaknya dengan minum ini hatinya sedikit membaik.
Kayla kembali terdiam, tatapan yang awalnya memerhatikan Juna dan teman baristanya bekerja kini semakin hilang, kosong, tak dapat dimengerti. Juna lalu sadar dengan tatapan Kayla kala itu. Dia jadi ikut terdiam menatap mata Kayla.
"Indah," Juna mengakui mata indah Kayla dalam hati.
"Kenapa?" tanya Juna mencoba membawa kembali Kayla ke alam sadarnya.
Tepat sekali, Kayla langsung tergagap saat itu.
"A-apa? Kenapa?" tanyanya bingung.
Juna tersenyum melihat tingkahnya, "gapapa," ucapnya.
"Sepertinya kamu sudah mengenalku, Kay. Aku tidak akan tertutup, kalau butuh tempat untuk cerita, aku selalu menyambutnya," jelas Juna dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya.
Kayla menatap lekat wajah Juna seolah tersihir dengan ucapannya. "Aku akan cerita, tapi sepertinya bukan sekarang, maaf," ujar Kayla.
Bukannya dia tidak percaya dengan Juna, tapi dia hanya tidak ingin membebankan pikirannya kepada orang lain.
Ini masalahnya, ini hatinya, jadi dia pikir cukup dia saja yang merasakannya.
"Butuh sesuatu?" tanya Juna lagi uang kini ikut duduk beesama Kayla dihadapannya, tepatnya dibalik bar baristanya.
"Aku? Butuh apa?" Kayla justru bingung dengan pertanyaan Juna.
"Moodmu sepertinya tidak baik hari ini. Aku tidak tau alasannya apa dan aku tidak akan mencari tahunya kecuali kamu yang memberi tahuku. Jadi, aku yakin kamu butuh sesuatu saat ini untuk melupakan beban pikiranmu," ucap Juna panjang lebar.
Kayla kini merasa Juna seperti cenayang. Dia mengetahui tentang dirinya bahkan tanpa dia menceritakan kepadanya.
"Aku ada satu tempat. Kalau kamu mau, aku bisa bawa kamu kesana," ucap Juna.
"Tempat apa?"
"Aku juga manusia, Kay. Aku juga butuh sesuatu untuk melampiaskan beban pikiranku. Jadi, disaat seperti itu aku selalu mwngunjungi tempat ini."
Kayla merasa dirinya semakin dibawa entah kemana dengan kata-kata apapun yang diucapkan Juna. Dia menatap lekat Juna dimatanya.
"Ayo kesana," putus Kayla tanpa pikir panjang lagi. Dan itu membuat Juna tersenyum yang anehnya malah memberikan kehangatan bagi Kayla yang melihatnya. Mungkin bukan hanya Kayla, tapi orang lain juga pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakannya.
***
"Ini motor siapa?" tanya Kayla saat Juna datang menghampirinya dengan sebuah motor.
Laki-laki itu tadi meminta Kayla untuk menunggunya sebentar di depan cafe setelah dia selesai bekerja. Mereka akan mengunjungi tempat yang Juna maksud menggunakan motor itu.
"Motornua Tyo," balas Juna. Dia memberikan satu helm kepada Kayla.
Kayla naik ke belakang Juna, dia juga menepuk pelan bahu Juna dari belakang.
"Yuk," ucapnya. Juna lalu menggas motornya melaju ke jalanan ramai menuju tempat kesukaannya. Letaknya tak begitu jauh. Saat ini masih sore, jadi dia berfikir waktunya akan pas saat mereka sampai disana.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah memerhatikan mereka ketika mereka meninggalkan cafe itu.
***
Setelah mengendarai motor selama beberapa menit, mereka akhirnya sampai ditujuan.
"Sampai," ujar Juna.
Kayla turun dari motor disusul dengan Juna. Kayla menatap pemandangan didepannya dengan takjub. Bahkan selama perjalanan dia hanya terbengong menatap jalanan menuju tempat ini.
"Waw," gumamnya.
Mereka kini sedang berada diatas bukit. Dari posisi mereka berada saat ini, mereka bisa melihat dengan jelas bagaimana matahari tenggelam. Warna pantulan jingga kemerahan mengihasi mata mereka berdua.
Mereka berdiri berdampingan melihat keajaiban langit yang jarang orang pahami.
Tanpa ada suara, Kayla dan Juna sama-sama tenggelam bersama matahari yang menyembinyikan dirinya dibalik sana dan membiarkan bulan yang menggantikannya untuk menerangi bumi.
"Kamu ga salah, Jun," ujar Kayla tanpa berpaling dari pemandangan didepannya.
Juna tersenyum. Hanya butuh beberapa menit hingga matahari benar-benar tenggelam dan berubah menjadi gelap malam. Kini adan bulan dan para bintang yang menerangi bumi.
Juna berjalan maju sedikit dan duduk disana yang hanya beralaskan rerumputan hijau.
"Sini, Kay," panghilnya mengajak Kayla untuk duduk bersamanya.
Kayla menurut, dia duduk disamping Juna menghadap ke depan dimana pemandangan kota dengan cahaya-cahayanya yang seperti lautan bintang dibawah sana.
"Gimana?" tanya Juna memulai percakapan.
Kayla tersenyum senang, dia menolehkan wajahnya ubtuk menatap balik Juna.
"Sangat puas, terima kasih ya, Juna," ucap Kayla jujur. Dia benar-benar merasa tenang saat ini, pikiran-pikiran yang tadi membebani kepalanya perlahan memudar.
Dia bahkan benar-benar melupakannya tadi.
"Mungkin ga akan bertahan lama, tapi nikmati selagi bisa," ujar Juna.
Benar kata Juna, setidaknya dia visa menikmati ini sebelum kepalanya kembali dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang membuatnya sakit.
"Jadi kamu selalu kesini?" yanya Kayla.
"Bisa dibilang begitu sih."
"Dimana kamu ketemu tempat ini?"
Juna terdiam setelah mendengar percakapan itu. Disini, tempat ini adah tempat yang dia dan Dinda temukan dulu. Tempat ini bahkan memiliki banya kenangan bersamanya saat mereka masih bersama. Bahkan ketika mereka sudah berpisah, Juna masih senang mendatangi tempat ini walau hanya seorang diri tanpa bersama Dinda.
"Kayaknya tuhan emang sengaja pertemuin tempat ini sama aku waktu aku lewat," jawab Juna yang bahkan tak memberitahu jawaban sebenarnya.
Kayla mengangguk.
"Kamu suka?" tanya Juna
"Ya, aku suka sekali. Tapi kamu tenag aja, aku ga aka mengambil tempat ini darimu," ujar Kayla bercanda.
Mereka tertawa bersama.
"Ambil saja tidak apa, Kay. Kalau mau, seringlah datang kesini bersamaku," ucap Juna pelan disela-sela tawa mereka. Kayla medengarnya dan tersenyum.