"Hei!"
Senyumannya langsung mengembang begitu mendengar suara itu. Fasha terkapar usai misi. Ia lelah sekali. Baru bisa benar-benar pulas setelah mengerjakan beberapa desain.
"Hei. Kamu gimana?"
"Baik. Di sini jadwal kunjungan cukup padat. Aku jadi sulit menghubungimu."
Fasha maklum. Ini bahkan masih terlalu pagi di Jerman. Mungkin sekitar jam enam pagi? Karena di Jakarta sudah hampir jam sebelas siang. Hampir memasuki makan siang.
Fasha tidak ke kantor hari ini. Namun ada acara yang harus ia hadiri bersama beberapa sepupu perempuan. Biasa lah, acara undangan dari konglomerat. Hanya acara temu biasa. Yang biasanya lebih banyak membahas bisnis dan menyentil urusan asmara. Namun Fasha tak akan peduli dengan hal semacam itu.
"Gak apa-apa. Hari ini akan berangkat lagi?"
"Ya. Ada jadwal bertemu dengan salah satu kepala pemerintah daerah di sini. Mungkin akan kunjungan lagi ke lahan pertanian mereka."
Fasha mengangguk-angguk. Ia mengerti.
"Kamu di kantor?"
"Enggak. Aku di rumah. Nanti siang ada acara juga. Ya kamu tahu lah."
Pandu terkekeh. Meskipun bukan dari kalangan konglomerat, sebagai wakil rakyat ia juga kerap diundang.
"Kamu perlu amunisi?"
Fasha terkekeh. "Aku lebih pandai dari yang kamu duga."
Pandu terkekeh. Ini lah sisi yang awalnya sempat membuat Pandu terkejut-kejut. Ya tak menyangka saja kalau Fasha kadang memiliki sisi genit yang menggemaskan. Ia juga bisa galak bahkan matanya seringkali memelototi para sepupunya. Hal yang selalu membuat Pandu tertawa.
"Oke. Siapkan dirimu kalau begitu. Aku harus berangkat sarapan di bawah."
"Ya. Kamu hati-hati."
Pandu mengiyakan. Telepon singkat itu berakhir. Fasha segera beranjak dari kursinya. Ia segera mempersiapkan diri untuk berangkat hari ini.
Menjelang jam satu siang, ia sudah siap. Tadi sudah makan siang sebelum memakai make up. Lalu berpamitan pada ibunya. Sempat pula menanyakan keberadaan Rain tapi gadis itu tak terlihat. Lantas apa kata ibunya?
"Katanya kepergiannya ke sana diwakili sama kamu aja, Sha."
Caca mengatakan itu sambil tertawa. Fasha mendengus mendengarnya. Ia tahu kenapa Rain enggan berada di sana. Kenapa? Ya tahu lah. Yang datang bukan hanya dari kalangan muda tapi juga semua umur. Yang membuat malas adalah Rain tidak ingin bertemu dengan salah satu ibu-ibu konglomerat yang mulutnya lebih bocor dari ember bocor sekalipun. Pekerjaannya tak jauh-jauh dari mengurusi hidup orang saja. Usil sekali.
Fasha berangkat. Di depan rumahnya, Dina juga sudah mau keluar. Begitu masuk ke dalam mobil.
"Pasti nanti si Tante Ratna mau nanyain gue lagi. Kapan punya anaknya?"
Fasha tertawa. Belum lama mobil ini berjalan tapi ghibah sudah dimulai. Oke, ini bukan hal aneh. Sudah biasa. "Ya lo mendingan lah. Yang ada gue yang diusilin sama dia."
Dina terkekeh. Betul juga. Tapi semua sepupunya juga jengkel sih pada perempuan yang satu itu. Karena mulutnya terlalu usil. Senang sekali menghancurkan mood orang lain.
"Rain mana?"
Ia baru menyadari kalau Rain tidak ikut. Biasanya Rain yang selalu menjadi sasaran utama. Tahu kenapa? Karena Bu Ratna tidak suka dengan sikap Rain. Hahaha. Kejadian pertama kali saat Rain bergenit ria ingin mendekati anak tiri dari perempuan itu, ia sudah tak suka. Kata-katanya juga pedas waktu itu. Waktu Bu Ratna tak tahu kalau ia adalah anak kedua dari Fadli Adhiyaksa. Padahal wajahnya teramat mirip. Namun penampilan Rain kala itu sedang hancur-hancurnya usai misi dan pergi ke mall bersama Arinda. Lalu menggoda anak tirinya Bu Ratna yang sedang menemani Bu Ratna berbelanja. Lalu hinaan yang keluar memang tak jauh dari fisik dan penampilan. Ya Rain sakit hati lah. Meski anaknya ibu itu sudah meminta maaf atas nama ibunya. Kali kedua saat bertemu di sebuah acara konglomerat lalu ada Rain di sana, Rain yang melengos saat dikenalkan dengan keluarga Bu Ratna. Hahahaha.
Rain memang begitu. Ia tak perduli jika orang itu tak punya attitude. Untuk apa mengurusi orang yang tidak punya attitude? Hormat padanya? Untuk apa?
"Dia kabur."
Dina terbahak. Harusnya ia sudah menduganya. Tapi ya sudah lah. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan kecerdikan Rain yang luar biasa itu. Disaat seperti ini, ia malah kabur.
"Kita berdua aja nih yang bisa?"
"Ada Kak Aya. Farras kayaknya lagi sibuk sama yayasan."
Fasha mengangguk. Ia mempercepat laju mobilnya karena harus menjemput Kak Aya yang rumahnya di Tangerang meski pertemuannya juga di salah satu rumah konglomerat yang ada di sana.
"Lo udah tahu kalau keluarga Juna bakalan pindah ke sekitar komplek rumah Opa?"
"Oh. Masa? Kenapa?"
Dina mengendikan bahu. "Kayaknya sih memperlebar urusan bisnis."
Fasha mengangguk-angguk. Ia juga belum lama mengenal Juna. Itu juga bertemu secara tak sengaja dengan Ferril yang sering bersama lelaki itu. Tampaknya keduanya memang akrab sekali. Yang Fasha tahu, mereka berteman sejak bertemu di suatu acara bisnis.
"Keluarganya itu kakak-adik yang cakep abis. Turunan Aceh pula."
"Salah satu ulama di sana bukan?"
Dina mengangguk. "Rain sempat naksir. Tapi disuruh ngaca sama Ferril."
Fasha tertawa. Astaga adiknya. Yaa hal itu sudah sangat biasa. Rain memang mudah suka sama orang. Tapi tidak berakhir ke arah cinta. Biasanya ya hanya sekedar kagum saja dan tidak lebih. Entah bagaimana Rain bisa mengatur perasaannya hingga seperti itu. Ia juga tak paham.
"Wajar sih. Yang dicari juga mungkin yang hapal Quran begitu kan?"
Dina mengangguk. "Kemarin sempat tanya juga ke Opa. Apakah ada di antara cucunya yang mau jadi istri Juna. Opa bilang gak ada stoknya."
Fasha terpingkal mendengar itu. Tapi memang benar lah. Yang mungkin akan cocok dengan kultur keluarga Juna ya yang sejenis Anne. Tapi Anne bahkan masih kuliah. Tak mungkin Anne bukan? Lagi pula, gosip-gosipnya Anne patah hati sama cowok. Ya sudahlah. Itu tak dihitung lagi. Selain itu? Tak ada lagi. Kan masih kecil-kecil. Kalau ia? Duh Juna terlalu muda untuknya. Ia tak suka. Kalau Rain sih tak usah ditanya. Bocah sableng itu bahkan sering naksir anak SMA kok di usia yang sudah 26 tahun ini. Fasha geleng-geleng kepala kalau ingat kelakuannya yang tidak beres.
Kurang dari satu jam, mereka sudah sampai di rumah Tiara. Suasana sudah riuh. Suaminya ada di rumah dan tak bersuara. Yang berisik yaa sudah pasti istrinya. Baru juga keluar dari mobil, Fasha dan Dina sudah tertawa mendengarnya.
"Sheriiiin! Pakek baju dulu sama Baba sana. Ami mau berangkat!"
Gayanya masih centil. Padahal anak sudah cukup besar. Fasha geleng-geleng kepala. Tak ada yang berubah dari para sepupunya kecuali fisiknya. Dari dulu, sikap dan tingkah laku mereka masih sama.
"Sherin gak dibawa, Kak?"
"Biarin aja. Ada Babanya," tukasnya sembari menjatuhkan sepatu di teras rumah. "Maas! Jagain Sheerin yaa! Awas kalo rumah berantakan pas aku pulang!" ia pamit sekaligus mengancam.
Dina dan Fasha kembali tertawa. Mereka berangkat dengan lebih keriuhan ketika Tiara ikut masuk ke dalam mobil. Ini memang tidak ada habisnya.
@@@
Dan benar saja. Tiara ditanya oleh Bu Ratna kapan punya anak kedua? Hahahaa. Dina ditanya kapan hamil anak pertama? Ia sudah menduganya. Ya kalau Dina sih jujur saja.....
"Sudah isi kok, Tante."
Ia nyengir. Dalam hati ingin sekali menyepaknya. Kalau Fasha? Jelas ditanya kapan menikah? Hahahaha. Fasha justru membalik pertanyaan itu dengan bertanya...
"Kapan berhenti nanyain orang, Tan?"
Tiara hampir menyemburkan tawa. Dina sudah terbahak. Ia tak perduli sekalipun wajah perempuan itu sudah memerah. Fasha malas saja sama orang seperti itu.
Bu Ratna kontan pamit karena mendengar kata-kata itu. Dina benar-benar cekikikan dibuatnya. Ya Fasha kalau sudah judes memang begitu. Ia bisa menjaga mulutnya. Tapi kalau berhadapan dengan orang-orang yang menurutnya sangat keterlaluan ya dibantai saja. Mereka juga tak akan kapok kalau tidak disebut seperti itu.
"Lagian kayak gak ada kerjaan aja. Gue aja banyak kerjaan, gak akan sempet nilai hidup orang."
Tiara dan Dina mengangguk-angguk setuju mendengarnya. Ya orang-orang seperti itu memang banyak. Tak usah diperdulikan daripada hanya sakit hati mendengar ucapannya.
Setelah itu, mereka hanya mengobrol dengan beberapa relasi lainnya. Yaa hanya sekedar bertukar cerita ringan. Kadang juga Fasha bertanya-tanya, apa faedahnya acara semacam ini? Tapi untuk yang mau mencari jodoh yaaa ini adalah wadah yang pas.
Beberapa kali datang ke sini, sudah banyak tawaran yang datang tapi selalu ditolak Fadli, ayahnya Fasha. Lelaki itu punya insting mana yang benar-benar serius dan tidak. Lalu bagaimana dengan kisahnya dengan Pandu? Yaaaaa itu karena ayahnya sudah melihat Pandu. Terpukau sejak pertama. Ia berpikir, ini adalah sosok yang pas untuk anaknya. Apakah instingnya salah?
Fasha nyaman dengan Pandu. Karena Pandu seolah sudah tahu bagaimana sosoknya tanpa ia harus bercerita. Pandu dapat memahami apa yang ia rasakan. Lelaki itu juga tak pernah memaksakan sesuatu padanya. Hubungan mereka mengalir apa adanya. Tidak perlu pusing ini-itu dengan penilaian orang lain. Pandu juga tampak santai. Kalau soal menikah....
Pandu memang belum membicarakan itu. Fasha juga sama. Ia belum benar-benar terpikir untuk menikah dalam waktu dekat. Karena menurutnya, ia maupun Pandu juga nyaman berada di dalam zona ini. Jadi untuk apa terlalu memaksakan diri melangkah kalau hati masih belum ingin?
Fasha santai menyikapinya. Tapi mungkin orang lain tidak sama. Kalau keluarga besarnya sih tak pernah memperkarakan hal-hal semacam ini. Karena mereka mengerti. Pasti ada sebabnya kenapa hubungan keduanya masih sama saja. Tapi orang-orang di luar sana? Bahkan bukan hanya Tante Ratna yang julid dengan hidup orang. Beberapa perempuan lain juga sama. Bahkan kadang justru datang dari teman-teman sosialitanya yang yaaa mungkin merasa kalau Pandu dan Fasha itu sudah cukup dewasa. Sudah matang untuk berumah tangga. Sudah sama-sama mapan pula kalau menurut mereka. Tapi kan yang akan menjalani itu Fasha. Ya kan?
Ketika berbicara tentang jodoh ini, menurut Fasha ini adalah sesuatu yang rumit. Yang tidak bisa diputuskan dengan cepat begitu saja. Karena semua pasti ada prosesnya kan? Ia hanya memahami hal itu. Ia tak mau menjadikan satu atau dua hal sebagai sesuatu yang benar-benar harus dipermasalahkan. Mereka sudah sama-sama dewasa dan mengerti apa yang dialami.
"Sha! Makan!"
Dina menegurnya. Ternyata sedari tadi ia hanya termenung. Ia ikut berjalan menuju meja makan yang menghamparkan banyak makanan. Kakak sepupunya, Tiara, tampak sedang asyik berbincang dengan salah satu turunan Arab yang hadir di sana. Kisahnya sempat viral karena kabur dari perjodohan. Ia tak mau menikah dengan sesama turunan Arab. Menurutnya, semua manusia itu sama, yang membedakan hanya imannya saja.
"Gak usah didengerin omongannya si Tante Manda. Dia sama aja kayak Tante Ratna. Kerjaannya julidin hidup orang. Kayak ya udah paling bener aja ngejalanin hidup. Gak perlu juga nyontohin dia. Ngapain nikah muda kayak dia kalau ujung-ujungnya cerai?"
Dina tampak menghiburnya. Fasha tersenyum kecil. Mungkin karena ia termenung tadi, Dina mengira kalau ia tersinggung dengan ucapan si Tante Manda. Perempuan itu memang mendekatinya tadi. Lalu yaaa bertanya-tanya kenapa ia dan Pandu belum menikah.
"Lagi pula, dia kayaknya lagi nyari buat anaknya tuh," tukas Dina. Perempuan itu menunjuk perempuan muda yang tampak berdiri di sudut ruangan. Sendirian sembari memainkan ponsel. Anaknya bahkan berusia tiga puluh tahun tapi tingkahnya masih terlihat sangat kekanakan. Perempuan itu anak band metal. Dari pakaian juga sudah terlihat. Ia tampak ogah-ogahan datang ke acara seperti ini. Tapi sepertinya dipaksakan. Fasha baru menyadari keberadaan perempuan itu. "Dasar ya pelakor. Mau sampe kapan juga kayaknya gak berubah deh. Lihat aja, hobinya ngerebut milik orang."
Bahkan bisa masuk ke dalam acara ini juga karena merebut suami dari seorang artis. Lelaki konglomerat yang dinikahinya tampak berbincang dengan beberapa kolega dari dunia perfilman.
Usai makan, mereka disambut dengan acara musik. Tapi Tiara enggan berlama-lama. Perempuan itu mengajak dua sepupunya untuk segera pulang saja. Dina dan Fasha tentu saja setuju. Mereka juga inginnya begitu. Sudah malas sekali berada di sini. Para Tante ataupun Om-nya tak satupun datang ke sini. Alasan mereka tentu sibuk. Tapi sebetulnya sama dengan Rain. Malas saja bertemu orang-orang julid di sini.
Fasha berjalan menuju parkiran begitu pamit. Dina dan Tiara masih tertahan di pintu. Ia hendak mengambil mobil tapi ia mendengar ada langkah lain yang mengikuti tepat di belakangnya. Ketika menoleh....
"Lo Fasha kan?"
Ia hanya menatap. Itu si anak metal tadi yag menyapa. Cewek tomboy yang sekarang berpakaian serba hitam. Rasanya ke mana pun tetap serba hitam.
"Gue cuma mau bilang kalo gue bukan nyokap gue. Gue gak akan pernah mau mengambil apa yang udah dimiliki orang lain."
Fasha terdiam. Perempuan itu pergi begitu saja. Sejujurnya, Fasha merasa aneh. Apakah perempuan itu tahu kalau tadi ia dan Dina membicarakannya? Rasa-rasanya tidak. Karena jarak mereka begitu jauh. Namun memang perempuan itu merasakannya. Apalagi kelakuan ibunya memang terlampau jelas. Ibunya tadi mengatakan kalau ia harus mendekati Pandu karena sepertinya Pandu tidak memiliki keseriusan dengannya. Tapi itu kan ibunya. Ia sama sekali tak peduli dan juga tak tertarik dengan sosok Pandu. Ibunya hanya mengincar harta dan status sosial. Sementara ia? Hanya ingin hidup tanpa dihina sebagai anak pelakor yang hobinya merebut suami orang. Bukan kah itu kata-kata yang menyakitkan untuk diingat?
@@@
"Oooh! Ini Fasha? Lama gak bertemu kamu nak. Apa kabar? Kamu kan yang katanya punya pacar anggota DPR RI?"
Fasha ingin sekali memaki. Namun ia hanya bisa menampilkan senyuman. Ibunya melirik ke arahnya. Sadar akan kata-kata menyakitkan itu. Dulu Caca juga sering kok mendapatkan kata-kata semacam itu. Ketika ia bahkan tak punya pasangan yang hendak dikenalkan. Apalagi ketika mereka....
"Usia udah berapa, Ca?"
Caca tergagap kala itu. Ya kaget lah. Ada satu tetangga lama di rumah lama orangtuanya sebelum mereka pindah ke rumah yang baru, datang untuk bertemu. Setelah sekian tahun tak bertemu karena Caca sibuk kuliah hingga akhirnya lulus, eeeh pertanyaan yang ditanya malah seperti itu. Ya Caca sadar waktu itu kalau wajahnya memang tampak lebih tua dari usianya. Tapi ia tak pernah mempermasalahkannya. Walau tak urung, ya tersinggung juga dengan ucapan itu.
"Eung oh, 24, Kak."
Perempuan itu mengangguk-angguk kala itu. "Udah punya pacar?"
Malah pertanyaan itu yang dilempar. Apa maksud dari pertanyaan itu coba?
"Oh. Caca masih sibuk mau ngurusin S2."
Ia memberikan alasan itu kala itu. Lalu apa katanya?
"Aaaah belum punya pacar ya berarti."
Kan k*****t ya? Hahaha. Caca gondok setengah mati. Tapi ia hanya diam dan menahan dongkolnya. Tak bisakah orang-orang seperti ini sirna dari kehidupan? Dan itu juga yang sekarang diceritakan oleh Caca pada Fasha yang terkekeh mendengarnya. Ia jadi tahu kenapa ibunya tak pernah mendorongnya untuk segera menikah. Karena alasannya sudah terlalu jelas. Pertanyaan atau dorongan semacam itu, hanya akan menyakiti hati anaknya. Ia tak mau Fasha mengalami hal yang sama. Fasha tersenyum kecil. Ia sebetulnya biasa saja ketika berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Meski dongkolnya setengah mati.
Dari pada menjulidi hidup orang lain, bukan kah lebih baik untuk berkaca pada hidup diri sendiri? Apakah sudah lebih baik hidupnya dibandingkan orang lain? Lagi pula, menikah itu bukan akhir. Justru itu adalah sebuah awal kehidupan yang baru. Meski sudah berusia 28 tahun, Fasha tak mau terburu-buru. Ibunya juga mengatakan itu meski penasaran juga apa yang terjadi. Namun disimpan dalam-dalam karena tak ingin mencampuri urusan anaknya. Fasha pasti sudah bisa mengambil tanggung jawab sendiri untuk perkara ini.
"Menikah itu bukan ajang perlombaan. Menikah itu soal janji kepada Allah dengan beban dunia dan akhirat."
@@@