Pandu sudah kembali. Dua minggu terasa begitu lama kah? Tidak juga. Karena Fasha juga sibuk. Ada banyak hal yang harus ia lakukan. Ia sempat berangkat ke Singapura selama beberapa hari untuk mengurus presentasi di sana. Lalu disambung ke Inggris bersama geng sableng. Tentunya bukan dalam rangka liburan. Sayangnya tak mungkin terbang ke Jerman meski dari Inggris tak jauh-jauh amat dibandingkan terbang dari Indonesia kan?
Disaat Pandu hendak mengajaknya bertemu eeeh ia harus berangkat lagi hari ini.
"Maaf, aku diminta ke Belanda hari ini," tukasnya ketika Pandu menelepon. Tadinya lelaki itu hendak menjemputnya ke rumah. Mungkin mereka bisa berangkat bersama pagi-pagi. Namun sayangnya tak memungkinkan. Karena ia sudah berada di bandara sekarang.
"Sudah di bandara?"
Pandu bertanya begitu karena ia mendengar suara keramaian dari telepon Fasha. Fasha berdeham, mengiyakan. Ia sedang repot mengeluarkan paspornya untuk segera masuk ke pintu keberangkatan. Fasha lupa memberitahunya karena terburu-buru menyiapkan diri lalu langsung bergerak ke sini. Ferril sudah memanggilnya. Tentu saja ada Farrel dan juga Ardan. Rain? Hohoo. Ini bukan misi. Ini urusan perusahaan. Rain kan bukan bagian di dalamnya. Ia lebih banyak sibuk dalam intel dan juga mengurus studionya. Ia tidak berminat untuk bekerja di perusahaan ayahnya dan ayahnya juga sengaja tidak menawarkan karena ia tahu watak Rain itu seperti apa.
"Ya sudah. Kamu hati-hati."
Fasha tersenyum tipis. Dengan berat hati, ia menutup telepon dari Pandu. Kemudian segera berjalan menuju antrian untuk check in. Setelah itu mereka berjalan menuju ruang tunggu. Fasha tampak santai dengan celana jeans-nya dan juga kemeja berwarna mauve. Rambut? Hanya dikuncir seadanya namun membuatnya benar-benar tampak cantik dengan make up yang natural. Perjalanan ke Belanda akan sangat panjang kali ini. Tapi tidak banyak yang ikut. Para perempuan tadinya ingin ikut namun ya berhubung memang sedang sibuk dan lagi, ini juga dadakan jadi tak bisa. Akhirnya yaa Fasha adalah satu-satunya perempuan di sini.
"Cantik tuh," celetuk seseorang yang baru saja merangkulnya. Fasha geleng-geleng kepala. Buaya darat di sebelahnya ini memang tidak berubah.
"Cewek cantik banyak."
"Yang pastinya mau sama gue. Gak bakal ada yang nolak deh."
Fasha mendengus mendengar kata-kata narsis. Memang benar adanya. Hahaha. Ia kadang terheran-heran, bagaimana mungkin ada orang yang terlampau percaya diri begini?
"Ada deh kayaknya," Fasha baru ingat seseorang.
"Siapa?"
Ia mengendikan bahu. Rasanya waktu zaman SMA dulu ada cewek yang pernah menolak Ferril. Tapi entah lah. Siapa tahu ia salah mengingat. Apalagi zaman itu sudah berlaku sangat lama. Berapa tahun? Ada kali sepuluh tahun ya? Hahaha. Waktu benar-benar tak terasa. Dari kecil menjadi remaja lalu menjadi dewasa.
"Tuh kan gak ada. Cewek itu begitu, Kak. Sukanya pasti sama yang ganteng!"
Yayaya. Fasha mengangguk-angguk saja. Malas berdebat dengan Ferril. Hahaha. Ia tak akan menang. Tiba di ruang tunggu, mereka bersantai ria. Kalau Farrel sih jelas sibuk dengan pekerjaannya. Ferril dan Ardan? Hahaha. Sok kegantengan. Gayanya sih mengobrol tapi mata jelalatan ke mana-mana. Ini sudah bukan hal asing. Tiap mereka jalan-jalan ke mana pun juga pasti begini. Fasha geleng-geleng kepala. Kapan tobatnya? Entah lah.
"Awas lo kena batunya kayak ayah," gumamnya pelan dan hampir menyemburkan tawa. Yayaya. Kalau ayahnya sih sudah jelas kena batunya. Hahaha. Apalagi anak-anaknya perempuan semua. Ia jadi semakin berhati-hati dalam berbuat sesuatu. Karena takut kalau nanti malah anaknya yang mengalami apa yang pernah dialami oleh perempuan-perempuan di luar sana yang pernah disakiti.
Panggilan boarding tiba, mereka segera berjalan masuk. Kemudian duduk di kursi bisnis yang tentu sangat besar dan luas. Fasha menyelonjorkan kakinya. Ia ingin tidur dulu selama perjalanan panjang menuju Inggris. Rasanya aneh karena akan terbang jauh. Meski hati tak hampa sekarang.
Bu, Asha udah di pesawat.
Pan, aku udah boarding yaa
Ia tak lupa mengirimi pesan sebelum memilih untuk mematikan telepon. Alih-alih hanya menggunakan mode pesawat terbang, ia lebih memilih untuk mematikannya. Sedang malas saja. Ia benar-benar butuh istirahat.
@@@
"Selamat pagi Pak Pandu."
Pandu mengangguk dengan senyuman. Ia baru saja tiba di depan lift, beberapa rekan sesama anggota DPR maupun staf ahli menyapanya. Ia berjalan masuk ke dalam lift lalu masuk ke ruangannya sendiri. Tentu saja dalam perjalanananya, ia menyapa banyak orang. Tak ada kejadian yang macam-macam pagi ini. Justru siang harinya. Aaah sebetulnya sudah biasa bagi mereka untuk melihat bagaimana aksi....
"Gak makan bareng kita, Faj?"
Ia menawar. Dua laki-laki lain tampak menahan senyum. Yaaa melihat sosok lelaki yang terkenal karena statusnya sebagai istri seorang artis yang sangat terkenal. Lalu ada perempuan lain yang tidak asing juga bagi mereka menggamit tangannya erat-erat seakan mau menyeberang. Padahal ini masih berada di dalam gedung. Pandu dan dua temannya hendak ke kantin yang di bawah saja. Sedang malas makan di luar.
"Oh kalian duluan aja," tukasnya yang dibalas dengan iya dari Pandu sementara dua orang temannya tertawa ketika masuk ke dalam lift.
"Sinting memang si Fajri."
Lelaki yang satu lagi menggangguk-angguk setuju akan kata-katanya. "Bini cakep. Anaknya cakep. Harta banyak. Buat apalagi nyari cewek? Ya mending kalo lebih dari Bella. Eeeeeh!"
"Huush! Jangan terlalu julid lah."
Pandu geleng-geleng kepala. Ia sih tak mau berkomentar. Itu urusan Fajri meski salah. Namun bukan berarti ia tak pernah memberitahu. Ia sudah pernah berbicara dari hati ke hati pada Fajri terkait persoalan ini. Tapi Fajri yaaa begitu lah. Diberitahu juga mental. Sudah susah kalau begini. Pandu kan hanya tak ingin ia menyesal. Itu saja.
Usai makan siang, ia kembali ke ruangannya lalu menerima telepon dari seseorang yang ada di Singapura sana.
"Ya."
"Gue akan segera ke sana, Du."
"Oke."
"Lo yakin mau nampung gue di rumah lo?"
Pandu mengerutkan kening. "Terus lo mau di mana? Gue juga gak ada tempat lain lagi. Ya lo tahu lah gimana kondisi gue sekarang."
Terdengar helaan nafas di seberang sana. Sama-sama berat. Ia tak enak hati kalau harus merepotkan Pandu. Tapi di satu sisi, saat ini memang tidak ada pilihan. Bertahan hidup di Singapura dengan kondisi seperti ini hanya akan membuatnya mati perlahan. Biaya hidup di Singapura tidak murah. Ia tahu kalau bertahan di sini memang hanya akan membuatnya mati.
"Oke? Nanti kita pikirkan lagi solusinya. Untuk sementara ya kayak gitu dulu lah. Setidaknya dengan lo tinggal di sini, pengeluaran lo gak akan sebesar di Singapura. Lo masih bisa membuka usaha mungkin. Nanti gue coba cari tempat yang sekiranya memadai."
"Gak usah terlalu repot lah, Du. Gue ditolongin aja udah syukur."
"Lo keluarga gue. Gak ada istilah sungkan."
Ia mengiyakan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sedih sebetulnya dengan keadaan ini. Ia masih beruntung karena masih ada Pandu yang bersedia menampungnya.
"Oke? Gue harus kerja lagi."
Ia mengiyakan laku menutup telepon dan membiarkan Pandu bekerja lagi. Lelaki itu menghela nafas. Ia juga sedang mengerjakan sesuatu yang lain. Ada banyak hal yang harus dilakukan dan ia bingung, ia harus memulainya dari mana kah? Semua terasa rumit sekali baginya.
Ia memijit keningnya. Kemudian mengusap wajahnya yang menyiratkan kecemasan namun kecemasan itu selaku disembunyikan. Tak ingin ia tunjukan pada siapapun. Ini bukan persoalan harga diri. Bukan itu. Tapi ia hanya ingin mencoba untuk menyelesaikannya sendiri. Meski katanya manusia itu adalah makhluk sosial yang di dalam kehidupannya tak akan bisa hidup sendirian. Karena di dalam hidupnya pasti membutuhkan bantuan orang lain. Kodratnya tercipta demikian.
@@@
Pulang dari Inggris, Fasha segera kembali ke rumah. Ia tidak langsung menemui Pandu tapi berkumpul dulu di rumah. Saat hendak menemui lelaki itu, Pandu justru baru berangkat ke Bandung.
"Ada pertemuan dengan gubernur di sana. Kamu sudah sampe Jakarta?"
Aaaah. Fasha mengangguk-angguk. Ia baru hendak ke rumah lelaki itu sembari membawa beberapa oleh-oleh. Tadinya hendak mengajak makan bersama juga tapi belum ada waktu yang pas ternyata karena Pandu juga sibuk.
"Ya. Kamu sudah berangkat ke Bandung?"
Pandu mengiyakan. "Aku naik pesawat dari Halim. Ikut rombongan presiden."
Aaah pantas saja. Fasha menggetuk-getuk setiran mobilnya, ia akhirnya berbelok ke arah lain. Percuma juga ke rumah Pandu, orangnya sepertinya sudah berada di bandara. Tak mungkin datang terlambat karena ikut rombongan presiden. Mungkin memang ada kunjungan ke sana atau peresmian sesuatu? Ah entah lah. Fasha tak begitu mengikuti karena ia pun sangat sibuk. Perjalanan di Inggris kemarin juga tak dinikmati. Ia bahkan kurang beristirahat. Lalu rencananya, hari ini hendak beristirahat tapi ingin juga bertemu Pandu. Rasanya benar-benar sudah sangat lama tak bertemu. Ia rindu.
"Ya sudah. Kamu hati-hati, Pan."
Pandu mengiyakan lalu telepon ditutup. Omong-omong soal panggilan ini, ia sudah pernah digetok Kak Aya. Hahaha. Katanya....
"Pandu itu setua Mas Izzan. Panggil yang bener dikit lah. Masa panggil nama?"
Tapi ia hanya mendengus. Menurutnya, Pandu tak keberatan kalau ia memanggil nama. Lagi pula aneh juga. Masa ia harus memanggil Abang? Atau Mas begitu? Iyuuuh. Hahahaa. Geli sendiri membayangkannya. Ia tak bisa. Tak akan bisa. Ia lantas bertanya pada Dina di sore hari yang sama ketika ia digetok oleh Kak Aya.
"Lo masih manggil Adit pakek nama? Gak pakek sayang gitu?"
Dina berjingkat saat itu dan ia terbahak. Tuh kan. Bukan hanya ia yang merasa aneh. Dina juga sama. Ia tidak terbiasa dengan panggilan semacam itu selama Pandu juga tak protes. Tapi kata Dina.
"Ya kalo gue sama Adit wajar lah. Terhitungnya masih seumuran, Sha. Lah elo? Gak sopan tauk! Itu Bang Pandu kan tuuaaaa! Apalagi nanti kalo jadi suami gimana coba? Kualat luu!"
Fasha mendengus untuk kedua kalinya mendengar omelan itu. Meski ada benarnya juga. Tapi sungguh, ia merasa aneh.
"Aneh gak sih? Di luar negeri aja pada pakek nama. Bahkan ke ortu sendiri."
Ia langsung ditoyor oleh Dina gara-gara mengatakan itu lalu tertawa sendiri. Ini namanya 'ngeyel'. Ia tak bermaksud begitu sih. Hanya masih merasa aneh saja. Karena memanggil Pandu dengan embel-embel itu pasti bukan dirinya. Meski mungkin Pandu juga tak begitu masalah kalau seandainya ia mengubah nama panggilan.
"Beda usia lo sama Bang Pandu itu lumayan jauh tauk. Ya lo jangan nurutin emak gue juga sih. Emak gur juga gak sopan, manggilin bokap gue dengan sebutan War-Wir!"
Fasha terpingkal hari itu. Lalu ia mendengar celotehan bagaimana Tantenya memanggil suaminya yang tidak ada manisnya sama sekali. Fasha juga tahu kalau Om Wira memang lebih tua dibandingkan Tante Aisha. Dari dulu tak pernah berpikir kalau panggilan nama itu terasa aneh. Ia justru baru menyadari saat Dina mengungkit hal itu. Kalau dipikir-pikir ya memang benar. Kalau Tantenya yang lain, misalnya Bunda. Bunda jelas memanggil Om Fadlan dengan sebutan kakak karena memang lebih tua. Kalau Tante Airin menurutnya sih yaa manis lah. Memanggil suami dengan sebutan Abi meski Fasha tak tahu apa kepanjangan dari panggilan itu, menurutnya itu adalah panggilan yang baik. Tapi omong-omong bukan hanya Tante Aisha yang tidak sopan tapi ibunya sendiri juga. Hahaha. Setahunya ayahnya kan lebih tua dibandingkan dengan ibunya. Ibunya memanggil Om Fadlan dengan sebutan Abang tapi memanggil suaminya sendiri dengan sebutan nama. Fasha geleng-geleng kepala. Jangan salahkan dirinya kalau begini ya? Hahaha.
Asha! Kumpul yuk!
Nastiti, salah satu geng sosialitanya menghubungi lewat pesan. Berhubung ia tak jadi menemui Pandu, ia akhirnya kembali memutar ke arah lain. Nastiti sudah mengirim lokasi keberadaan. Mereka sering berkumpul secara dadakan. Hal biasa memang.
Tiba di sebuah mall elit, ia turun dari mobil kemudian berjalan menuju sebuah restoran yang salah satu ruangannya sudah di-booking. Ia tahu sih kalau tak ada faedahnya dari kumpul-kumpul begini. Tapi kadang mereka membawa informasi yang berguna juga. Seperti bisnis orangtua yang mereka bicarakan dan akhirnya malah memberikan proyek itu kepadanya. Ayahnya pernah mengatakan kalau tidak ada persahabatan di dalam dunia bisnis. Semuanya bagai musuh dalam selimut. Ia harus berhati-hati memilih partner kerja. Karena semua orang bisa menusuk dari belakang.
Tiba di sana, Fasha sebetulnya agak-agak kecewa. Karena ternyata yang datang itu hanya Nastiti dan seorang perempuan yang Fasha kenal sebagai mantan Putri Indonesia. Siapa?
"Kak Asha, apa kabar?"
Tentu saja gadis itu menyapa dengan ramah. Sebagai sepupu Farrel, ia sangat dihormati dan sangat ingin didekati untuk bisa mengambil hatinya. Tapi mau Fasha suka atau tidak itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Farrel. Farrel mana peduli? Karena urusan perasaan itu adalah urusan hatinya sendiri. Dan untuk itu, Fasha juga tak begitu tahu. Apakah Farrel masih benar-benar sendiri? Entah lah. Ia juga tak tahu.
"Baik."
Ia melirik ke arah Nastiti yang tampak menahan senyum. Ia juga tak punya pilihan karena cewek itu yang memaksa untuk mengajaknya ke sini. Mumpung bertemu ya sudah lah. Fasha tak begitu nyaman sebetulnya kalau didekati secara agresif oleh seorang perempuan hanya untuk menanyakan salah satu keluarganya.
@@@
Tuuut....tuuuut...tuut....
Fasha mengernyit. Teleponnya tak kunjung diangkat. Sudah beberapa hari ini ia sulit sekali menghubungi Pandu. Ia tahu kalau Pandu sibuk. Ia juga begitu kan? Tapi Pandu tak pernah sesulit ini dihubungi. Setelah termenung sebentar, ia memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan berjalan menuju sebuah gedung. Sebetulnya Fasha berada di gedung DPR, kebetulan harus bertemu klien yang bekerja di sini. Ia kira, mungkin ia bisa bertemu Pandu sebentar.
Fasha segera berjalan masuk ke sebuah ruangan usai diarahkan oleh petugas di lobi. Kliennya pun sudah menghubunginya dan menanyakan keberadaanya.
"Halo Mba Fasha," sapa lelaki yang kurang-lebih seumuran ayahnya. Fasha balas tersenyum usai menjabat tangannya. Mereka mulai mengobrol ringan yang dilanjutkan dengan urusan bisnis. Tentunya, lelaki itu butuh arsitek untuk mengurus interior rumah barunya. Setelah berdiskusi hampir dua jam, lelaki itu mulai berbasa-basi hal lain. Biasa, menawarkan anaknya untuk Fasha. Bukan cuma sekali-dua kali Fasha mengalami ini, sudah terlalu sering. Apalagi tak banyak yang tahu kalau ia berpacaran dengan Pandu. Baik ia dan Pandu memang enggan mengumbar hubungan. Apalagi Pandu begitu dikenal masyarakat luas karena sosok figurnya yang menjadi wakil rakyat. Fasha hanya tidak ingin mencampuri kehidupan pribadi dengan pekerjaan apalagi dengan figur Pandu. Fasha paham, netizen sekarang terlalu kepo dan ganas di dunia maya tapi tak berani di dunia nyata. Dan Fasha malas meladeni itu. Lebih baik ia mengurus hal lain. Toh hubungannya dengan Pandu itu jelas kok. Orang lain tak perlu tahu. Cukup ia dan lelaki itu.
Setelah menolak secara halus penawaran itu, Fasha keluar. Ia menghela nafas saat tiba di lift. Baru saja keluar dari lift, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Pandu. Lelaki itu tak tahu kehadirannya karena Fasha pun hanya menatap punggungnya. Baru saja akan memanggil, tampak sosok perempuan lain menghampiri Pandu, memeluk pinggangnya lalu berjalan pergi meninggalkan lobi. Fasha? Malah terpaku di tempat ia berdiri.
@@@