Ada Yang Kangen

2332 Kata
Fasha berguling ke kanan. Ini bukan perintah. Ia mempertajamkan matanya untuk melihat keamanan di depan. Pistol di saku kanan celana hitamnya. Bajunya panjang dan ketat. Rambut? Hohoho. Tentu saja dicepol biar aman. Meski kini sudah berpasir. Ia mendengus, kesal karena penampilannya akan jadi jelek setiap mendapat misi yang seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tadi baru berhasil memanjat tembok yang tingginya sekitar 13 meter. Mereka sedang menyusup untuk mengembalikan bom yang dipasang anak buah Nuraga di markas Opa. Bom ini harus balik ke tempatnya. Mereka tadi berjuang keras untuk menunda peledakan dan berhasil. Namun hanya punya waktu lima menit lagi untuk ditaruh di suatu tempat yang aman dan tidak membahayakan di markas Nuraga. Setidaknya, Ferril masih berbaik hati. Ia hanya akan menghancurkan bagian kebun belakangnya. Ia tidak akan membunuh karyawan-karyawan yang bekerja di markas ini. Lantas tugas Fasha? Gadis itu membawa bom kecil yang spesial dan sengaja ingin dipasang hanya berjarak sepuluh meter dari kebun yang akan diledakan. Spesialnya? Begitu meledak, akan muncul kata-kata ancaman di langit. Ferril yang mendesain. Itu sebagai peringatan biar mereka tak macam-macam lagi. Setidaknya Opa masih berbaik hati tak menghancurkan tempat ini. Ia melirik ke kanan dan ke kiri. Lalu berlari cepat ke dekat sebuah pohon mangga. Ia memanjat pohon tiga meter itu. Begitu tiba di dahan paling atas, ia mengeluarkan bomnya dan memasangnya di sana. Kemudian kembali memerhatikan sekitar sekaligus memastikan kalau bomnya segera berjalan beberapa detik sebelum bom utama meledak. Begitu selesai, ia segera melompat turun kemudian berlari dengan cepat. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar. Ia berusaha menyembunyikan diri di tengah kegelapan. Tak jauh dari sana memang ada seorang lelaki yang sedang memeriksa. Ia merasa seperti mendengar langkah kaki tadi. Langkah kaki milik Fasha tadi. Namun begitu mendekat, tak terlihat siapapun. Lelaki itu berdiri tepat tak jauh di depan Fasha. Posisinya memang membelakangi. Andai ia melihat ke arah jendela di depannya, mungkin akan tampak wajah Fasha di sana. Karena bagian tubuh Fasha, jelas tersembunyi dengan warna hitam dan gelap suasana halaman belakang. Fasha menghitung mundur. Sebelum lelaki itu tersadar, ia melompat ke depan. Hanya lima langkah, ia berhasil mencapai cowok itu lalu membiusnya dengan sarung tangannya yang memang mengandung sebuah bahan bius di bagian telapaknya. Obat bius yang digunakan tentu saja aman meski hanya bertahan tiga hari. Dan hanya bisa digunakan satu kali. Ia berhasil membuat lelaki itu terkapar. Kemudian dengan sisa-sisa tenaganya, ia menarik tubuh lelaki itu menjauhi area di mana bom akan segera meledak. "Satu menit terakhir. Balik ke poin zero." Perintah pertama sudah terdengar. Ia tak punya banyak waktu sebetulnya. Namun sisi nurani tak membiarkan lelaki ini menjadi korban. Ia mempercepat langkahnya sembari menyeret tubuh itu. Meski lelah, ia berhasil. Walau yah menghabiskan waktu sekitar sepuluh detik. Itu artinya, ia hanya punya waktu lima puluh detik untuk kabur dari sini. Jalan tercepat selain memanjat tembok adalah memanjat pohon. Ia naik ke pohon kelapa yang menempel di dekat sudut tembok tinggi ini. Kemudian naik ke sana dengan sepatu khususnya yang memang didesain bisa memanjat dengan berlari. Hingga ia tiba di atasnya lalu segera melompat ke arah tembok dan menempelkan jaring perekat yang keluar dari kedua tangannya. Secara bergantian, tangannya merayap membawa tubuh hingga ke puncak tembok. "Lima belas detik terakhir! Semua menjauh!" Fasha semakin gugup. Ia baru saja akan turun namun sepertinya akan terlalu lama. Melompati dua belas meter juga bisa mati. Pilihan terakhir akhirnya membuatnya harus memakai sayap yang ada di punggungnya. Kepakan sayap itu keluar dari balik tas yang dikenakannnya. Ia gugup karena belum pernah mencoba. Namun waktu tak akan cukup kalau ia memaksakan diri menuruni tembok. Akhirnya ia memejamkan mata sembari menghitung mundur. Tiga.....dua......satu...... Ia terbang. Tubuhnya bagai menggantung di langit. Ia belum berlatih menggunakan alat yang satu ini. Tapi setidaknya, ia bisa mengendalikannya. Kuncinya adalah arah angin dan berat badan. Ia tak bisa begitu banyak bergerak ketika berada di atas karena akan mempengaruhi tinggi terbangnya. Yang lain sudah kembali. Namun terdengar suara Ferril yang mencari keberadaan Ardan. Fasha hanya bisa mendesis. Tiap misi selalu begini. Lalu di mana cowok itu? "Aaaaaaaa!" Belum sempat menurunkan ketinggian, Ardan yang entah datang dari mana terlihat berputar-putar ke arahnya lalu menubruk. Keduanya hampir terjadi dari ketinggian sekitar sebelas meter itu andai Fasha tak memegang tas Ardan. Gadis itu yang mengatur tombol sayapnya. Ardan sudah pucat pasi. Ia tak punya pilihan. Sama dengan Fasha yang akhirnya mencoba alat baru namun berakhir dengan berputar-putar. Setidaknya Fasha masih bisa menangkapnya hingga keduanya bisa sama-sama berdiri di atas dan kini perlahan turun. Ferril geleng-geleng kepala melihat keduanya dari bawah. Yang lain tentu saja sudah berada di dekat mobil dan juga sama-sama menatap ke arah keduanya. "Tumben Kak Asha payah," celetuk Rain. Ia merasa besar kepala kali ini. Hahaha. Sementara itu bom spesial meledak. Bukan hanya satu tentunya. Tulisan itu mengelilingi gedung itu. Muncul satu per satu dengan indah. Hal yang tentu saja membuat kaget anak buah di markas Nuraga. Bom besar juga meledak satu detik kemudian hingga membuat Fasha dan Ardan terkapar di tanah. Eeeh badan Fasha berada di atas Ardan karena tekanan bom tadi. Fasha terkekeh-kekeh. Keningnya sakit juga karena tadi sempat bertuburukan dengan p****t Ardan. s****n kan tuh? "Gue maafin lo malam ini," tukasnya. Berhubung mereka sama-sama hampir mati. Ardan meringis. Kepalanya masih pusing dan badannya juga sakit gara-gara kejadian tadi ditambah menahan beban tubuh Fasha. Meski hanya empat puluh delapan, tetap saja itu berat ya. Agha yang melihat kejadian itu terkekeh. Keduanya memang begitu. Usai mendengar kegaduhan itu, mereka pergi dengan mobil masing-masing. Tentu saja berkonvoi bersama. Tubuhnya lelah sekali. Padahal misinya tak seberapa. Jantungnya yang nyaris lepas setiap menyelesaikan misi. Berhubung tak begitu berbahaya, ia ikut saja. Kalau biasanya, ayahnya akan melarang. Anehnya, kalau Rain kerap diperbolehkan. Kalau kata ayahnya sih, Rain keras kepala. Ia bertindak semaunya. Kalau kata ibunya, itu tetap salah ayahnya. Karena ayahnya yang menurunkan sifat itu pada Rain. Hahaha. Tiba di basecamp, Fasha masuk ke kamar atas untuk beristirahat. Ia lelah sekali. @@@ Pandu sudah pamit. Lelaki itu sudah terbang ke Jerman. Mungkin sekarang masih di atas awan. Fasha menghela nafas. Rasanya tidak aneh. Ini hal yang sudah biasa. Toh terkadang sekalipun Pandu ada di Jakarta, mereka jarang bertemu. Meski makan siang bersama kadang menjadi hal rutin. Namun ada masa-masa sibuk yang tak bisa diganggu. Jadi mengalah adalah kunci agar hubungan ini tetap mesra. Fasha baru saja turun dari mobilnya. Ia berjalan santai menuju lift. Tiba di lantainya, ia melihat Ferril tampak sedang mengobrol dengan salah satu tamu yang sepertinya.... "Kak Asha!" Aaah ia kenal gadis itu. Rencananya memang akan bertemu dengannya. Lalu kenapa ada Ferril di sana? Dasar playboy. Fasha sering mendengar kalau kata Oma, kelakuan Ferril itu tak seberapa parah dengan ayahnya. Ia ingin tertawa. Beruntung ibunya menjadi perempuan tercuek di dunia atas segala sikap ayahnya yang kadang mau sok romantis tapi gagal. Karena ibunya tak bisa diajak romantis begitu. Hahaha. Gadis itu berpamitan pada Ferril. Ferril bersiul-siul dari depan lift. Ia sengaja mampir sebentar hanya untuk menemui gadis itu. Karena gadis itu yang mengatakan kalau ia datang ke sini untuk bertemu Fasha. Rencananya memang hendak menggunakan jasa Fasha untuk membangun sebuah rumah untuk keluarga. "Kamu lagi deket sama Ferril?" Ia terkekeh-kekeh. Ia suka sih pada Ferril. Sudah lama menaruh hati. Namun Ferril hanya begitu-begitu saja. Ya ia juga tahu kalau Ferril mendekati banyak cewek. Tapi itu bukan alasan. Ia tahu kalau Ferril itu lelaki yang baik. Kalau sudah berkomitmen pasti akan setia. Iya kan? "Suka? Beneran?" Fasha tampak terkejut karena muka gadis itu memerah. Tampak malu. Perempuan ini adalah salah satu anak konglomerat yang juga seorang pembisnis. Fasha mengajaknya masuk ke dalam ruangannya untuk membicarakan soal desain interior. Bukan kah gadis itu memang datang untuk itu? Bukan untuk mengobrol kan tentang Ferril yang menurutnya tak penting. "Astaga! Mending ke dokter deh. Ada yang salah kayaknya sama hati kamu." Ia tertawa. "Ferril kan ganteng, Kak. Smart juga. Berwibawa juga." Ia bisa mengatakan itu karena pernah melihat Ferril bekerja di depan matanya. Entah pencitraan atau tidak tapi itulah adanya yang tertangkap oleh matanya. Tapi menurutnya, Ferril memang seperti itu. Terlepas dari segala sikap playboy-nya. Tidak semua perempuan juga didekati. Ferril pasti pilih-pilih kan? Ya sih. Ia juga tergolong cantik. Yaaa karakter anak konglomerat pada umumnya. Pintar juga. Sempat satu kampus juga dengan Ferril ketika sama-sama sarjana di Inggris. Sudah sejak dulu mengagumi tapi yaa sepertinya Ferril tak menganggap lebih. Hanya sekedar adik tingkat di kampus yang sama mungkin? Ia tak berani berharap jadinya. Fasha geleng-geleng kepala. Ia mencoba membuat gadis itu segera sadar. Hahaha. Semua keburukan Ferril dijabarkan. Biar bisa melihat dengan mata kepala sendiri dan menggunakan akal kalai Ferril tidak sekeren di dalam kepalanya. "Yaaa kalau ada kurangnya, itu wajar lah, Kak. Namanya juga manusia." Dari sekian banyak cerita buruk tentang Ferril yang ia lontarkan, ia malah mendapatkan tanggapan seperti ini. Hahaha. Fasha menepuk-nepuk keningnya. Pusing kepala. Kenapa semua perempuan yang mencoba mendekati Ferril atau suka padanya tetap tak sadar? Heloooooo! Ferril itu PLAYBOY! HAHAHA. Sebagai sepupunya dan sesama perempuan, ia hanya ingin menyelamatkan para wanita itu. Karena ia tahu kalau Ferril tidak akan membalas perasaan mereka. Ferril itu tipe lelaki yang kalau memilih perempuan berdasarkan satu hal. Apa? Ia yang jatuh cinta lebih dulu. Dari sekian banyak mantan Ferril, ya semuanya begitu. Pasti Ferril yang suka lebih dulu lalu bergerak mendekati mereka. Rata-rata memang merespon. Tapi berbeda dengan satu perempuan bernama Echa yang pernah diceritakan Ferril. Nah kalau itu, Fasha justru salut dengan perempuan itu. Pokoknya tidak boleh jatuh cinta pada Ferril kecuali Ferril mengajak serius. "Ya ampuun, Kaaak. Itu sepupu kakak sendiri loooh." Fasha mendengus. Ia menyerah. Ternyata tak mempan. Semua perempuan yang suka pada Ferril sepertinya hilang ingatan dan akal pikiran ketika berhadapan dengan Ferril. "Cowok itu banyaaaaak bangeet, Pril. Lo bisa banget milih cowok lain yang jauh dari dia. Emangnya, anak-anak Jakarta ini gak ada yang bikin lo tertarik?" Ia terkekeh. Kalau yang membuat tertarik tentu saja ada banyak. Tapi kalau pada Ferril, perasaannya lebih berat. Hanya saja sepertinya bertepuk sebelah tangan. "Bang Ferril gak lagi dekat sama cewek kan ya?" Fasha berpikir dulu. Serba salah kalau mengatakannya. Kalau ia jujur, kasihan juga perempuan ini. Kalau ia berbohong, itu tampaknya lebih menyakitkan. "Gak tahu deh. Tanya aja sama anaknya. Dia kan emang gak jelas." Akhirnya Fasha memilih untuk tak ikut campur. Ia tersenyum kecil. Sebetulnya ia punya insting kalau Ferril pasti punya pacar atau minimal ya punya gebetan. Gak mungkin kosong. Apalagi memang santer dikabarkan playboy. Meski kebanyakan cewek-cewek akan bersikap keras terhadap siapapun cewek lain yang mencoba menaruh hati pada Ferril. Lalu akan mengatakan kalau Ferril itu playboy dan lainnya, namun ia yakin. Kalau mereka yang mengatakan itu lalu tiba-tiba didekati Ferril pasti akan luluh juga. "Aku tuh suka sama Bang Ferril. Ya playboy menurut aku wajar, Kak. Diusia begini. Dia juga punya tampang, dan lain. Hidupnya sempurna. Siapa sih cewek yang gak mau? Tapi setidaknya ada sisi positif yang bisa aku ambil dari Bang Ferril." Fasha geleng-geleng kepala. Sisi positif apa yang bisa dilihat dari Ferril? Ia terheran-heran. "Bang Ferril bukan jenis fuckboy." Aaaaah. Kalau itu sih Fasha mengakui. "Dia bahkan gak merokok kan, Kak?" Mau tak mau Fasha mengangguk. Kalau ini, jelas benar lah. Ferril tidak merokok apalagi minum-minuman. Meski katanya pernah tak sengaja mencoba karena ditipu teman-temannya waktu di Inggris. Ia melapor pada Bunda dan tentu saja dimarahi. Playboy mana sih yang hal-hal semacam itu saja dilaporkan pada ibunya? Hahaha. "Teruuus. Prilly juga suka karena dia deket banget ya sama Bundanya? Prilly suka banget sama cowok kayak gitu." Fasha terkekeh-kekeh kali ini. Ya memang benar kalau ini. Ia juga tak bisa menyangkalnya. Meski suka main cewek, tapi Ferril hanya sebatas gonta-ganti pacar atau gebetan. Sisanya? Ya paling kelakuan saja yang tidak bisa dibayangkan betapa nakalnya apalagi jika berhubungan dengan misi. @@@ Siangnya, ia terjebak bersama Ardan, Ferril, dan Rain. Rain sengaja menyusul karena memang berada tka jauh dari mall. Lalu kenapa ia bisa ikut? Ya Fasha bisa ikut karena diajak makan ke restoran. Ia mana tahu kalau duo sableng ini memilih restoran di dalam mall sebagai tempat tujuan. Mau tak mau ia ikut sampai ke sini karena memang sudah terjebak. Mana menebeng mobil Ferril pula. Pasrah lah. "Makan di mana?" "Lu deh, Kak, yang pilih." "Gue gak mau!" Fasha menoyor kepala Rain lalu memimpin jalan. Ferril terkekeh-kekeh. Hal semacam ini sudah biasa. Rain tidak akan mau dieprontah Fasha. Tapi Fasha tak perduli. Hahaha. Ujung-ujungnya ya tetap saja mengikuti keinginan Fasha. Mereka makan di sebuah restoran Italia. Masuk ke dalam sana dan duduk. Fasha tak mau berlama-lama, ia segera memesan makanan lalu mengecek ponsel. Perjalanan Pandu pasti masih panjang. Tapi setahunya, lelaki itu transit sebentar di Singapura. Harusnya masih transit bukan? Ia mencoba menelepon tapi tak diangkat. Mungkin sedang makan siang juga, pikirnya. Menilik lelaki itu berangkat bersama rombongan. Ia jarang menelepon lebih dulu tapi kalau Pandu dinas jauh begini kadang ia yang menghubungi lebih dulu. Kenapa? Yaaa kangen lah. Namanya juga pacar. Hahaha. Kalau tidak kangen, justru akan dipertanyakan. Bagaimana mungkin tidak kangen dengan pacar sendiri? Atau perasaan yang telah membeku? "Kaak! Gak usah liatin hape mulu. Kasihanilah perasaan Bang Ardan!" Ardan lagi yang di-bully. Rain tertawa mendengarnya. Ardan tak begitu perduli. Ini kan hanya hiburan. Apalagi mereka hanya berempat. Terasa sepi. Tapi ini sudah biasa sebetulnya. Sudah di Singapura? Jam berapa kamu terbang lagi ke Jerman? Ia mengirim pesan itu. Berharap segera dibalas. Namun harapannya sia-sia. Karena Pandu justru sedang bertemu dengan seseorang. Keduanya makan bersama di sebuah restoran yang ada di dalam bandara. Biar ia tak repot untuk kembali lagi ke ruang tunggu. "Ya udah. Nanti telepon aja kalau mau gue jemput di bandara." Perempuan iru mengangguk-angguk. "Thanks," tukasnya. Pandu tersenyum kecil. Mereka ini masih keluarga. Pandu juga tak punya siapapun lagi. Jadi tak perlu juga mengucapkan terima kasih. "Oooi, Kaaak! Pesanan lo udah dateng!" Rain menegurnya. Ia tersadar. Sedari tadi ternyata ia hanya sibuk termenung. Ferril geleng-geleng kepala. Dari tadi mereka tertawa, masih meledek Ardan tapi Fasha malah bengong sendiri. "Bang Pandu gak akan pergi kali. Pawangnya aja segalak ini," tutur Rain sembrono. Andai bukan restoran mahal, Fasha pasti sudah membantainya. Ferril terkikik-kikik mendengar itu. Begitu pula dengan Ardan. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN