15 menit berlalu tapi Lexion belum menjawab pertanyaanku sama sekali, dia malah berpindah tempat ke sofa mengaku sibuk mengurus kerjaan lewat ponsel padahal jelas-jelas aku mendengarnya tadi, hari ini Lexi meminta sekertarisnya jangan menganggu dan jangan membahas kerjaan sama sekali.
Kulirik tanganku yang dipasangkan infus padahal hanya kepalaku yang sakit atau ada penyakit lain?
"Arfan tadi berpesan padaku, menyarankanmu untuk tidak memaksa ingatanmu terus menerus. Kamu bisa lihat sekarang? Karena terus dipaksa, kepalamu jadi sakit. Arfan juga menemukan obat tidur di tas kecilmu. Sudah berapa lama susah tidur?"
Daripada berdebat panjang dengan orang asing yang tiba-tiba mau ikut campur, aku memilih memejamkan mataku saja mencoba meredakan kepalaku yang terasa sakit sekali. Pikiranku selalu saja dipaksa untuk berperang, setiap malam selalu begitu.
"Padahal kamu bisa menelponku, bercerita panjang lebar denganku. Kenapa harus mengkonsumsi obat tidur?"
Sudah jam berapa sekarang? Apakah sudah sore? Berapa lama aku pingsan?
"Bagaimana kalau setelah keluar dari sini, aku membawamu jalan-jalan? Sedikit refreshing?"
Refreshing? Sebelum bertemu mereka, setiap sebulan sekali aku selalu jalan-jalan sendiri. Menyewa vila yang jauh dari keramaian, tepatnya di tempat terpencil tak berpenghuni. Mataku terbuka kembali, apa harus agar ketenanganku kembali?
"Hidup memang pasti punya fase lelah, Herlena."
Kubalikkan badanku mempertemukan mata kami berdua, "jangan memanggilku dengan suara seperti tadi, jangan membuatku semakin yakin jika kamu adalah Langit. Kamu harusnya paham seberapa besar keinginanku ingin bertemu dengan Langit, banyak pertanyaan yang ingin aku katakan padanya."
"Bu-"
"Kenapa dia selalu ada disetiap ingatanku yang datang? Mengapa hari-hariku dulu selalu terbayang akan Langit. Siapa Langit? Lalu kamu siapa? Kenapa tiba-tiba dekat denganku, bersikap seolah-olah kita sangatlah dekat." Lexion memalingkan wajahnya kearah lain, aku tertawa sumbang. Memangnya jawaban macam apa yang kamu butuhkan Qeila?
Kupegang kedua sisi kepalaku saat suara-suara sentakan tiba-tiba saja menggema, teriakan yang begitu menakutkan serta suara tamparan terdengar sangat jelas. Kupejamkan mataku erat, ingatan macam apa itu.
"Qeila! Qeila!" kubuka pejaman mataku cepat dengan napas berderu.
"Kenapa hmm? Kamu kenapa?" pertanyaannya belum kujawab, suara-suara itu masih terdengar jelas.
"Sepertinya aku pernah disiksa, apa begitu menyedihkan?" ujarku lemah, "mereka juga menamparku berkali-kali." lanjutku lagi,
Lexion menggenggam tanganku erat, airmataku turun tanpa kusadari. Kenapa menyedihkan sekali menjadi dirimu Herlena? Lahirmu tidak dianggap, ditolak habis-habisan oleh keluargamu sendiri,menjalani hari dengan mata buta lalu setelah besar bukannya dibantu malam dibuang oleh keluargamu sendiri.
Kenapa menyedihkan sekali hidupmu Herlena?
Kalau memang perempuan lesuh itu adalah aku, pasti hidupnya sengsara sekali. Aku lelah dengan keseharianku yang sekarang, selalu saja dipenuhi masa lalu menyakitkan.
"Tidak ada keseharian tanpa masalah, Herlena." kupejamkan mataku kembali, sudah kubilang suara Langit dan Lexion mirip. Mana mungkin hanya sekedar imajinasiku saja.
"Mungkin kamu butuh istirahat, aku akan keluar menunggu saja."
Kubiarkan kakinya menjauh dariku, memang menyedihkan menjadi perempuan penuh dengan masalah. Ayolah Qeila, kemana sikap masa bodo yang selalu kamu jadikan utama? Jangan membiarkan kesedihan itu melingkupi dirimu.
Untuk apa menangisi masa lalu kalau memang perempuan itu adalah kamu bukan?
***
Rambutnya panjang, senyumnya cantik, suaranya nyaman didengar. Penampilannya selalu saja sederhana membuat Langit muda begitu jatuh dengan pesonanya, mata yang tidak berfungsi tak berarti sama sekali.
"Namanya siapa adik kecil?"
"Siapa? Anda siapa? Anda akan membawaku bertemu papa kan?"
Langit menatap anak kecil berumur 10 tahun didepannya, sangat cantik dengan wajah polosnya. Bedanya adalah matanya tidak menatap Langit, hanya fokus kearah lain.
"Namaku Langit, kamu sedang apa?"
"Kak Langit? Apa kakak bisa membawaku pulang? Mama bilang akan menjemputku tapi belum kembali sampai sekarang lalu ada orang-orang memintaku ikut dengannya. Mereka tadi bilang akan menjualku, kumohon! Jangan menjualku."
Langit menelisik penampilan anak kecil didepannya, masih memakai pakaian mahal bahkan terdapat kalung di lehernya. Langit sangat yakin kalung itu mahal.
"Bro, bos gue mau bawa anak itu ke tempat paling Bagus harganya pas."
"Gue mau di tetap disini."
"Hahah bro, lo baru umuran anak mau masak SMA, yakin? Bos pasti minta uang pengganti untuk tetap menahan dia disini."
"Tidak masalah."
"Oke bro, gue bahas sama bos gue dulu."
Langit kembali memandang anak kecil cantik didepannya, "sekarang kamu aman, mama kamu mungkin tidak akan bisa menemukan tempat ini. Tapi kamu bisa tinggal disini, mungkin memasak atau mencuci pakaian para kakak disini."
"Tapi aku tidak terbiasa kak Langit."
"Kamu tenang aja, aku ajarin."
"Terimakasih kak Langit, tapi beberapa bumbu dapur bisa aku kenali baunya kok, terus bentuk bahan juga ada yang aku kenal. Aku pernah diajarin sama Tante Naesa supaya bisa masak sendiri, tapi baru sampai di tahap pengenalan saja belum sampai ketahap masaknya."
"Engga papa,kakak cariin baju ganti dulu."
Lexion tersenyum mengingat pertemuan pertamanya dengan Herlena dulu, uang yang Lexion keluarkan tidak sedikit malahan sangat banyak. Lexion butuh waktu lama hingga bisa meyakinkan ayahnya memberinya uang sebanyak itu.
Ia sengaja menempatkan Qeila di ruangan paling nyaman, pasti Arfan akan melakukan hal yang sama.
"Ini Tuan," Lexi menerima paper bag berisi pakaian santainya, ingin berganti pakaian.
"Kalian sudah mengurus tentang gosip itu? Tuntut media yang memuatnya, aku tidak menerima permintaan maaf." titahnya tegas,masuk kedalam ruang perawatan langsung ke kamar mandi.
Sempat sekilas menatap Herlena, ternyata sedang terlelap.
Kedatangannya memang tiba-tiba sekali, pasti Herlena sangat tertekan. Setelah berganti pakaian menjadi pakaian santai dengan kaos polos hitam ditemani celana panjang, Lexion ingin menyewa tempat wisata secara privat demi kenyamanan Herlena nanti.
"Saya Lexion Andatio, ingin memesan private selama dua hari. Bisa?" Lexion melirik Qeila yang sepertinya sedang bermimpi buruk.
"Untuk kapannya nanti saya hubungi kembali tunggu saja, tulis saja nama saya. Karena saya harus menunggu tunangan saya membaik." ia mendekati Qeila, mengenggam jemarinya dengan tangan satunya lagi memegang ponsel.
"Ya semuanya, kan satu set. Dari vila, pantai dan sekitarnya. Saya tidak ingin ada orang lain kecuali para pekerjanya. Sudah dulu,"
Lexion memandang perempuan yang mengisi hatinya selama belasan tahun itu dengan kasihan, membisikkan kalimat penenang hingga tidur Qeila kembali tenang, Lexion ingin melepaskan genggaman tangannya tapi jemari Qeila malah menahannya.
Tersenyum maklum dan memilih duduk.
Perubahan sebelum dan sesudah kejadian itu memang berbeda sekali, sangat merenggut keseharian perempuannya.
"Kamu jangan seperti ini, Herlena. Kamu kenapa melakukan itu kalau memang kamu tidak bisa menanggung akibatnya? Kenapa kamu membuat posisimu terancam kalau memang kamu akan sperti ini endingnya?" bisiknya pelan, sangat pelan.
"Harusnya kamu jangan melakukan itu, tetap menjalankan keseharian kamu sperti biasanya. Tunggu aku kembali dan aku akan menjemputmu. Padahal aku sudah merencanakan semuanya, Herlena, semuanya. Tanpa terkecuali."
Ya, Lexion memang pergi selama beberapa hari. Tapi setelah kembali malah mendengar hal yang seharusnya tidak terjadi sama sekali.
"Herlena, sebenarnya tuhan itu memang ada atau hanya sekedar kata saja?"
Ia membaringkan kepalanya di sisi bankar, perlahan ikut tertidur menyusul Qeila kealam mimpi. Tidak mempedulikan lehernya akan sakit saat terbangun nanti. Karena nantinya kamu akan dihadapkan dengan dua pilihan, haruskah terus membencinya atau mengesampingkannya?
Dan untuk hari ini saja, Lexion ingin mengikuti kata hatinya. Mengesampingkan kebencianya dan memprioritaskan cintanya pada Herlena. Mau seberapa besarpun perubahannya bagi Lexion semuanya sama saja, dia masih Herlena.
Perempuan dengan tawa merdunya yang selalu bisa membuat Lexion kabur dari rumah memilih tinggal di markas penjualan anak itu, memantau Herlena setiap harinya. Menayakan kesehariannya juga kesukaannya hingga 14 tahun lamanya.
14 tahun bukan waktu singkat, memendam perasaan pada anak 10 tahun hingga anak itu tumbuh menjadi perempuan nan cantik. Menemaninya tumbuh, mengenalkan banyak hal hingga dunia perkotaan.
Dalam tidurnya, keduanya tersenyum secara bersamaan.
***
Setelah mencabut infus dengan cepat, aku buru-buru keluar tak lupa mengambil barang-barangku disofa meninggalkan Lexion yang masih tidur di pinggir brankar. Ada bagusnya juga dia tertidur, aku bisa bebas.
Meninggalkan kawasan rumah sakit lebih baik daripada di sana terlalu lama, akan membuat kepalaku makin pening. Ku berhentikan taksi dan menyebutkan alamat apartemenku.
Katakan aku jahat karena tidak menghargai Lexion tapi aku tidak pernah meminta nya, aku harus segera menjaga jarak dengannya. Taksi berhenti, kubayar segera dan berjalan cepat menuju apartemenku.
Bandung masih mendung, mungkin beberapa anak muda sibuk bernostalgia mengenai kenangan bersama kumpulan kekasih mereka. Mungkin sebagian lagi merindukan orang terkasih mereka, sedangkan aku? Apa yang ingin aku kenang?
Kupukul sisi kepala kiriku beberapa kali, selalu saja mengajakku berperang dengan pikiranku sendiri. Ternyata sebentar lagi malam, membongkar slingbag tebakanku benar, Dokter Arfan sok pengatur itu mengambil obat tidurnya.
Tidak papa.
Aku masih punya banyak stoknya. Tanpa berganti pakaian ku rebahkan diri ranjang. Hari yang cukup panjang dan melelahkan sekali,ponselku berdering tapi tidak kupedulikan sama sekali.
Untuk apa aku peduli dengan mereka? Lagipula aku tidak pernah ingin dipedulikan, aku tidak pernah mengemis perhatian dari mereka. Daripada mengurusku mereka baiknya mengurus dirinya sendiri.
Bangun dari tidur dan menonaktifkan ponsel. Membersihkan badan lalu menunggu waktu istirahat, dunia memang begini lebih banyak dramanya daripada diri sendiri. Memang ya, hidup menyedihkan sekali.
Bersenandung keluar kamar, what?
"Kenapa ponselnya tidak aktif Herlena?"
Aku berlari cepat masuk kembali kedalam kamar menguncinya dari dalam. Kenapa bisa Lexion ada disini dalam waktu sekejap? Dokter Arfan juga ada di sini, duduk disofa ditemani Benfa disampingnya.
"Herlena! Kamu belum pulih tapi kenapa kabur dari rumah sakit? Kenapa tidak membangunkanku hm?" suaranya terdengar, mungkin sedang berdiri didepan pintu kamarku.
"Kamu tidak tau betapa takutnya aku tadi? Betapa takutnya kakakmu dan juga sepupumu? Detan sedang berusaha menyakitimu, kami hanya berusaha melindungimu." kututup telingaku dengan earphone, menyetel musik dengan suara cukup keras.
Aku tidak peduli.
Terserah orang gila sempurna itu mau melakukan apapun, memangnya dia bisa apa? Citranya akan rusak kalau menyakitiku. Orang gila.
Kubuka balkon kamar dan duduk di luar sana menikmati angin malam. Mandi tadi memang sengaja lama, aku tidak menyangka akan selama itu sampai-sampai bisa membuat ketiga orang itu tiba disini.
Yang kudengar hanyalah suara lagu, mungkin Lexion masih berbicara diluar sana. Malam ini masih mendung, mataku termanjakan dengan hamparan Langit yang begitu gelap malam ini.
"Apa ya-" aku tersentak kaget saat earphoneku terbuka, tubuhku mematung saat ditarik masuk kedalam pelukannya.
"Jangan menghilang seperti tadi, Herlena. Kamu tidak tau betapa gilanya aku saat tidak bisa menemukanmu diseluruh ruangan yang ada di rumah sakit itu." kedua tanganku tidak bergerak sama sekali.
"Aku mohon, sekali saja menjadi orang penurut. Para suruhan Detan masih memantaumu hingga sekarang," kupejamkan mataku saat sakit kepala itu tiba-tiba datang kembali.
"Kenapa Kak Langit tiba-tiba menjadi laki-laki romantis? Membawakan banyak bunga juga beberapa makanan yang berasal dari kota. Kenapa juga jantungku berdetak kencang begini?"
Tubuhku melemas membuat Lexion melepaskan pelukannya, mengangkatku mungkin keranjang.
"Kata kakak preman, kak Langit sudah punya pacar di kota. Ayo Herlena, kak Langit hanya kasihan saja padamu."
Kedua tanganku beralih memegang kepalaku yang makin sakit.
"Kak Langit, kata Kakak preman kakak sudah punya pacar di kota. Kakak beneran sudah punya pacar ya?"
"Loh kata siapa?"
"Kata kakak preman, pantas saja kakak selalu rajin ke kota ternyata sedang bertemu pacarnya. Pasti pacarnya kakak cantik banget, beda sama aku yang kayak gini."
"Memangnya kamu kenapa?"
"Biasa saja kata Kakak preman, wajah jelek terus rambut biasa sekali. Pakaianku juga lusuh mana ada orang seperti aku disukai lelaki, kerajaannya tiap hari cuman masak."
"Hahahah, adik kecilku sudah besar ternyata. Kamu cantik kok, cantik banget."
"Pertanyaanku belum kakak jawab."
"QEILA!"
Kubuka pejaman mataku cepat, wajah khawatir Dokter Arfan langsung ku pandang. Bukan hanya dokter Arfan tapi Lexion dan Benfa juga ada, aku masih sibuk memikirkan ulang ingatan yang baru saja aku terima.
Jantungku berdetak karena Langit? Jangan bilang kalau aku mencintai lakilaki itu? Sedekat itu kami dulu? Lalu, kenapa bisa kamu berpisah?
"Qeila, kamu tidak papa?" mataku bergerak menatap wajah khawatir Dokter Arfan, barusan yang membentakku adalah dia.
Belum kujawab, aku masih memikirkan jawaban-jawaban. Aku bukan anak kecil lagi, jadinya aku pasti paham dengan perkataan semacam itu, aku dulunya jatuh Cinta pada lakilaki bernama Langit itu.
Seberapa tampan sih Langit itu, kenapa aku bisa jatuh Cinta dengannya? Kenapa bisa ingatanku malah di penuhi tentangnya semua?
"Qeila, kamu kenapa sebenarnya?"
"Aku ingin sendiri." bukan itu jawaban yang mereka mau, tapi untungnya mereka semua keluar sesaat setelah aku memejamkan mataku terdengar dengan langkah kaki mereka yang menjauh.
Aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja aku terima.
"Ingatan yang datang tentang Langit kan?" kenapa orang keras kepala ini masih disini?
"Ingatan macam apa yang membuat kamu enggan memberitahu kami? Apa Langit sangat berarti untuk kamu? Begitu pentingkah?"
Aku bernapas pelan. Menatap Lexion yang duduk di samping ranjangku. "Kembalikan kunci kamarku pada resepsionis, jangan masuk sembarangan kedalam kamar milikku."
"Ingatan apa,Herlena?"
"Apa pentingnya untukmu?"
"Beritahukan aku saja."
"Tidak mau,bukan urusanmu."
Badanku mematung saat Lexion tiba-tiba saja mengenggam tanganku erat, "ingatan apa yang tiba-tiba membuat kamu bungkam sperti tadi, Herlena?"
"Dulunya, di masa lalu. Jantungku selalu berdetak setiap kali dengan Langit, malahan sempat mambahas tentang pacarnya di Kota. Bukankah itu tandanya aku mencintainya?"
Entah apa yang terjadi padaku, aku mengatakannya disertai jantungku berdetak kencang selayaknya sedang menyatakan Cinta pada seseorang.
"Kamu mencintaiku?"