28 - Dia Benar, Langit

1859 Kata
"Kamu mencintaiku?" "Kamu Langit bukan? Kamu laki-laki yang selalu bersamaku dulu?" balasku bertanya, Sayangnya laki-laki berkaos hitam didepanku ini tidak langsung menjawab. Malahan menunduk menatap tangan kami yang selalu tergenggam. "Kamu yang membuatkanku rumah pohon bukan?" belum ada jawaban, aku ikut diam membiarkan suara jam menguasai kami berdua. Hingga 30 menit berlalu, Lexion belum membuka suara sama sekali hanya terus menunduk. Aku benci dibuat penasaran, aku ingin selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, "Aku ingin istirahat, kalau memang kamu tidak ingin mengakuinya maka keluarlah." ujarku, aku tidak membutuhkan orang lemah begini. Selalu saja digantungkan tanpa henti. "Kenapa kamu melakukannya? Aku selalu mengajakmu keluar dari tempat itu tapi kamu selalu menolak dengan alasan yang sama. Tidak ingin membuat anak-anak itu kesepian sebelum di bawa pergi, kami mengatakan bahagia disana, lalu kenapa membuat pengkhianatan." Kulepaskan genggaman tangan kami, membuat Lexion menatapku. "Kamu benar-benar Langit?" tanyaku lemah, "bukankah dari beberapa pertemuan kamu tau, aku benar-benar tidak tau pengkhianatan bentuk apa yang aku lakukan." lanjutku kembali, "Kamu melaporkan tempat kita ke kepolisan." Pengakuan itu membuat suara-suara bentakan kembali memenuhi kepalaku, tamparan, tembakan, serta beberapa teriakan mengerikan. Kututup telingaku setiap kali suara tembakan serta cacian itu lanjut lagi. "Lo harus mati!" Ku gelengkan kepalaku beberapa kali, tidak. Aku tidak melakukannya. "Lo membuat semua rekan gue mati sia-sia. Kebaikan yang selama ini gue dan yang lainnya berikan lo balas dengan pengkhianatan. Lo membunuh banyak anak-anak yang tidak berdosa," Suara-suara itu datang tanpa henti. "Lo itu pembawa s**l!" "Karena lo banyak anak-anak mati!" Plakk "Perempuan buta penuh sandiwara." "Qeila! Hey, Qeila!" "Keluar dari sini," Suara laki-laki didekatku tidak kupedulikan sama sekali, aku malah memeluk kedua lututku. Menenggelamkan kepalaku disana, tidak! Aku bukan perempuan seperti suara itu katakan, aku adalah perempuan penuh keberuntungan penuh dengan prestasi yang tersebar di Bandung. Pelukan tiba-tiba membuat tubuhku tersentak, aku mengenalinya. "Jangan dipaksa terus, Qei. Kakak disini sama kamu, apapun yang kamu ingat itu tidak benar. Kamu adalah yang terbaik untuk aku, Kena dan Benda. Apa yang kamu ingat hanyalah masa lalu, sekarang kamu telah menjadi orang yang hebat. Kamu adalah Qeila Purnamasari, perempuan cantik dan anggun." Kubalas pelukan Dokter Arfan, hingga aku merasakan sesuatu di tanganku. Saat aku mendongak kutemukan Benfa memegang suntikan, baru saja memberikan suntikan bius padaku. Perlahan, mataku terpejam. *** Arfan menidurkan adiknya,untungnya ia masuk melihat Adiknya dalam keadaan lemah seperti tadi, ikut keluar bersama Benfa yang sudah keluar sejak tadi. "Saya tau anda pernah dekat dengan sepupu saya, tapi tolong jangan membuatnya seperti tadi. Sebagai dokter saja saya sudah menentang apalagi sebagai keluarganya? Jangan mentang-mentang anda orang berada, jadi bebas menyakitinya," Arfan tersenyum menatap sepupunya yang sedang memarahi Lexion. Padahal Benfa itu orangnya santai sekali, selalu melihat keadaan dari sisi positif. Baru kali ini Arfan melihatnya benar-benar kesal. "Saya hanya mengatakan dan menanyakan apa yang terjadi," bela Lexion, "Tapi tidak begitu caranya. Orang kaya memang gitu, suka semaunya." Benfa memperlihatkan kepalan tangannya pada Lexion, dasar orang tidak punya perasaan. Arfan mendekat, menepuk pundak Lexion memintanya ikut bersamanya keluar apartemen. Ada Benfa yang menjaga Qeila sebentar, Arfan ingin berbicara serius dengan Lexion. Mereka duduk di cafe depan gedung apartemen, memesan kopi pahit terlebih dahulu. "Aku diberitahukan oleh warga sekitar sana, ada seorang perempuan dengan pakaian penuh sobekan ditemukan didekat dermaga. Awalnya, sebagai seorang Dokter aku kesana malah dikagetkan dengan kenyataan jika perempuan itu adalah adikku sendiri." Arfan memulai pembicaraannya, sembari ingatannya kembali ke masa 2 tahun lalu. "Tubuhnya di penuhi banyak luka, memar dimana-mana. Kakinya bahkan terkilir, rambutnya sebagian terpotong. Bagian jemarinya ada yang luka dan aku menebak itu diinjak oleh temanmu, aku sengaja meminta tim suster memotong rambutnya sebagian agar lebih tapi. Sudut bibirnya ada sobekan, ada bekas ikatan di pergelangan tangannya." Langit memejamkan matanya mendengar hal itu, ia sempat menyaksikan Herlena disiksa oleh rekannya tapi tidak sampai ketahap mengerikan. Hari itu ia memilih pergi, membiarkan Herlena bersama rekan-rekannya. "Bahkan setelah diperiksa lebih lanjut, suster menduga adikku tidak perawan lagi." Lexion menatap Arfan cepat, "tidak mungkin, mereka tidak mungkin sampai ke tahap itu." Arfan tertawa miris, "apanya yang tidak mungkin? Kalian dulunya lebih mengerikan. Menjual anak-anak tidak berdosa ke luar negeri, kamu pikir hal seperti itu tidak akan mereka lakukan? Apalagi dengan dalih ingin membalas dendam. Bisa kamu pikirkan andaikan semua ingatan Qeila kembali, bagaimana perasaannya setelah mengetahui faktanya?" "Memangnya apa yang adikku lakukan sampai kalian nekat menyiksanya? Tim dokter bahkan memintaku untuk menyerah, tapi aku tetap kukuh. Pendarahan di otaknya bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawanya." Arfan membuang pandangannya, menatap keluar. "Aku malahan merasa bersyukur karena adikku kehilangan ingatannya, jadinya dia bisa hidup dengan normal tanpa adanya bayang-bayang menyakitkan. Tapi semenjak kamu hadir, kamu seolah Sumber masa lalunya. Tidak cukupkah p********n saat itu?" "Qeila bahkan sulit mengingat sebab kalian menyiksanya, padahal seharusnya itulah yang paling Pertama dia ingat." Arfan meneguk kopi pahitnya, benar-benar frustasi melihat keadaan adiknya. "Lalu anda inginnya apa?" "Untuk sementara, jangan membahas apapun dulu sampai Qeila pulih. Saya tidak akan melarang kamu bertemu dengannya tapi tolong jangan membahas tentang Herlena-Langit. Saya akan berusaha mencari cara agar Qeila menerima masukanku, saya mohon." Lexion bimbang, "bukankah lebih baik kita membuatnya menerima keadaan itu lebih cepat bukan malah menundanya terus menerus?" "Sebenarnya perasaanmu pada adikku itu apa? Benci? Cinta? Atau sekedar kasihan atau ingin membalas dendam?" tanyanya langsung, membuat Lexion kembali diam. "Kalau memang antara benci dan Cinta, maka bantu saya mengistirahatkan pikirannya sebentar saja. Sejenak saja, kalian cukup membahas pekerjaan." sarannya membuat Lexi kembali menatapnya. "Bahaslah pekerjaan, Qeila akan mudah teralihkan kalau mempunyai pekerjaan." "Pekerjaan? Aku berniat membuat hotel baru di kawasan Jakarta barat. Bekerja sama dengan perusahaan milik pak Bian, mungkin project ini akan memakan waktu yang cukup lama." Arfan mengangguk paham. "Bawalah Qeila bersamamu, buat dia sesibuk mungkin sampai tidak punya kesempatan bahas hal lain. Bawa juga Benfa bersamamu, aku ingin dia menjaga Qeila." keduanya bersalaman sepakat. Beginilah Cinta, terkadang begitu dominan dari benci. Selalu saja menang dari logika. Lexion akan berusaha semaksimal mungkin membuat Qeila sibuk, sesekali akan membawanya ke beberapa wisata yang ada di Jakarta barat sana. Mungkin ke dufan, musuem lainnya. Setelah berbicara panjang lebar, Lexion pamit untuk pulang karena besok mulai membahas pekerjaan itu. Ia akan memulai project hotelnya yang ada di Jakarta agar Qeila cepat juga, jadinya mereka akan berangkat ke Jakarta barat. Malahan papanya akan sangat berterimakasih pada Qeila karena membantunya membuat Lexion mempercepat project-nya. Jam segini papanya telah pulang, lanjut bekerja di ruang kerjanya. Setelah memarkirkan mobilnya, Lexion masuk kedalam mensionnya disambut pelayan yang membungkuk di dekat pintu. Langsung mengarah keruang kerja papanya. "Pa, aku mau bahas tentang bisnis hotel yang ada di Jakarta barat." Andatio mengerutkan keningnya bingung, membuka kacamata bacanya. "Kenapa mendadak? Bukannya pembahasannya baru dimulai bulan depan? Kamu sendiri yang memberi keputusan di rapat pertemuan kemarin." "Aku ingin dibahas besok, dan lusa aku dan tim akan berangkat. Aku juga ingin Qeila sebagai arsiteknya, papa setuju kan?" Kebingungan Andatio terjawab setelah putranya menjelaskan, pasti karena Qeila makanya putranya ingin mempercepat prosesnya. Andatio malah senang karena keinginannya terwujud, keuntungan dari project itu banyak. Tidak sia-sia juga Andatio mengurus perempuan itu. "Papa tidak masalah dengan hal itu, baiklah. Papa akan mengurus pertemuannya besok siang, segera akan Papa urus." "Oke, Pa." Lexion meninggalkan ruangan papanya, memutuskan untuk bermalam di rumah Ini karena malas mengendarai mobil. *** Kembali ke apartemen adiknya, menemukan Benfa bersantai di sofa sembari mengemil makanan. Hanya melirik Arfan sebentar lalu kembali sibuk menonton TV, menampilkan berita tentang adanya rumah yang dimasuki maling. Arfan ikut duduk disamping sepupunya, ikut memakan camilan. Membiarkan suara pembawa berita menggema di ruangan itu. "Qei bagaimana?" tanya Arfan "Sudah kembali dalam mode tidak mau diganggu, tadi aku panggil tidak mau nyahut. Mungkin lagi mikirin sesuatu, bahas apaan sama pengusaha belagu itu?" Benfa memiringkan badannya menunggu Arfan berbicara. "Aku memintanya jangan membahas masa lalu dulu dengan Qeila, memintanya memberikan Qeila pekerjaan yang banyak. Dalam waktu dekat, Qeila akan berangkat ke Jakarta barat. Aku menyarankan kamu ikut juga agar bisa memantau Qeila disana. Bisa kan?" Benfa kembali menatap kedepan, berita sudah tergantikan iklan. "Nanti aku bahas ini sama papa dulu ya, takutnya papa engga setuju. Apalagi akhir-akhir ini aku sibuk dirumah sakit, jarang istirahat." mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Bian. "Tidak ditelpon, orang project itu termasuk punya Om Bian." Benfa tertawa terbahak-bahak bahkan sampai tersendak, merasa begitu oon karena tidak berpikir jauh kesana. Baru berhenti karena Arfan terlihat kesal didepannya, masih dengan tawanya meraih air. "Kayaknya kamu yang perlu diperiksa, Ben." Benfa hanya mengidikkan bahunya acuh, kembali memasukkan ponselnya kedalam saku jas dokternya yang memang ia pakai. Tadinya buru-buru kemari memeriksa Qeila ada atau tidak, psikis adik sepupunya ternyata sudah lumayan parah. "Aku bahas ini dulu sama Qeila, kamu bermalam disini kan? Aku pengennya bermalam tapi Kena masih dalam mode memikirkan perkataan Ameera." "Oke bosku." Sesampainya di kamar Qeila, terlihat adiknya sibuk menatap langit malam di balkon kamarnya, entah sedang memikirkan apa. "Dokter tau tentang fakta itu?" Arfan duduk berdiri disampingnya, pakaian adiknya saja masih yang tadi pagi. Dress ditemani outer. "Fakta tentang apa?" "Lexion adalah Langit. Atau sejak awal aku bertemu dengannya, dokter sudah tau? Hanya aku yang tidak tau padahal diantara kalian semua, akulah korbannya. Kenapa aku diperlakukan seperti orang bodoh?" Arfan merangkul adiknya, "Aku bukannya tidak ingin memberitahumu hanya saja semakin dekat dengannya apalagi mengetahui kebenarannya akan membuat ingatan kamu memburuk, lagipula aku baru tau pas kejadian dimana Detan membentakmu di keramaian." Ia melepaskan rangkulannya, membuka jas dokternya memasangkannya di bahu adiknya, melihat hal itu Qeila berdecak kesal. "Dimana-mana orang memasangkan jas ke perempuan menggunakan jas mahal sedangkan dokter? Malah dipakaikan jas kerjanya, sesuai profesi ya? Untung Kena sudah bucin jadi mana memikirkan hal gituan." Arfan kembali merangkul adiknya, menepuk-nepuk pelan lengan atasnya. "Tadi aku membahas hal penting dengan Lexion." "Apa?" tanyanya sembari mendongak menatap kakaknya, masih lengkap dengan kacamatanya. "Aku ingin kamu tidak membahas masa lalu dulu dengannya, kalian akan terlibat kerjasama dengan perusahaan besar mulai besok. Lingkupnya bukan Bandung lagi tapi sudah masuk ke Jakarta, kamu akan berangkat bersama Benfa dalam waktu dekat," "Kenapa saya harus menuruti dokter?" "Kamu bisa merasakan sendiri sakitnya, Qeila. Kamu ingin begitu terus menerus? Dihantui ingatan? Kamu tidak ingin melanjutkan karier?" Qeila termenung memikirkan perkataan Arfan, sejak bangun dari koma ia memang ingin sukses membuktikan pada semua orang tentang dirinya. Kalau begini terus takutnya malah gagal, kesehariannya akan selalu berujung kerumah sakit. "Tapi saya ingin menemukan jawaban saya dokter. Kalau ditunda terus takutnya ingatan itu mal-" "Qeila, fokus saja dulu. Masalah itu abaikan sejenak. Bisa kan?" "Baiklah." Arfan memeluk erat adiknya tapi tak cukup semenit karena Qeila melepaskan pelukannya. Pamit pada Qeila untuk pulang, membiarkan Qeila sendirian di balkon kamarnya. Dengan berpesan jangan terlalu lama berada diluar. Sepuluh menit setelah Arfan pergi, Qeila memutuskan untuk masuk kedalam kamar tak lupa menutup pintu balkon kamarnya. Mengecek ponsel membuka aplikasi email,ternyata benar. Tawaran kerjasama dari Lexion sudah masuk, malahan akan pertemuan besok siang yang dihadiri banyak orang. Setelah membelas pesannya, Qeila keluar kamar meminta Benfa untuk tidur dengannya. Setelah berpikir panjang, Qeila akan mencoba menerima Benfa, Arfan dan Kena sebagai keluarga. Membuka diri pada mereka agar layak disebut sebagai seorang keluarga. "Aku juga ikut pertemuan besok, kita bisa berangkat bersama." Benfa memeluk singkat Qeila dan kabur masuk kedalam kamar sepupunya. Hanya tertawa melihat wajah kesal Qeila, ternyata sepupunya tidak suka dipeluk tiba-tiba. Ayo Qeila, masih ada hal yang bisa kamu kerjakan daripada mengais masa lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN