"Kakak pernah nangis tidak?"
"Hm mungkin pernah, waktu Tante Naesa terlambat jemput kakak. Kenapa memangnya? Kamu juga pernah nangis?"
"Sekarang aku pengen nangis, kangen orangtuaku. Kakak preman mau bawa aku pergi, pasti tidak akan bertemu mereka lagi."
"Jangan nangis, malahan ada beberapa anak yang lebih bahagia tanpa adanya orangtuanya."
"Beneran?"
"Benar."
Kubuka pejaman mataku dengan cepat, keheningan malam yang langsung menyapa. Masih pukul 3 lewat, pagi masih sangat lama sekali. Ingatan macam apa itu? Aku membenci setiap mimpi ditemani ingatan masa lalu seperti tadi.
Apa sebenarnya? Dulunya aku semenyedihkan apa?
"Bentuknya bulan banyak ya kak?"
Kupegang kepalaku yang terasa seperti dihantam batu begitu keras, bangun dari rebahan untuk meminum obat yang telah Benfa berikan beberapa hari yang lalu. Padahal dua tahun lalu ingatanku tidak pernah datang, berjalan sesuai keinginanku tanpa adanya kilasan-kilasan spontan seperti tadi.
Merasa tidak akan melanjutkan tidur lagi, aku memutuskan menyalakan kembali lampu tidur meraih tab untuk bekerja, kuikat rambutku asal-asalan plus memakai kacamata.
Menyalakan musik penenang dan akhirnya sibuk dengan duniaku. Pukul 4 lewat, aku memutuskan istirahat sebentar keluar kamar untuk membuat coklat hangat agar pikiranku kembali tenang, pikiranku harus selalu tenang atau nantinya akan tidak baik-baik saja.
"Orangtua kak Langit masih ada?"
"Masih, kenapa memangnya? Kamu ingin bertemu dengannya? Aku siap mempertemukan kalian."
"Itumah maunya kakak aja. Udah, aku harus masak takutnya yang lainnya lapar."
Ingatanku kenapa selalu saja berhubungan dengan Langit sih? Memangnya Langit siapaku? Palingan juga orang kebetulan dekat saja di masa lalu. Setelah coklat hangatku selesai aku kembali ke kamar, melanjutkan pekerjaan hingga subuh.
***
Bandung hujan lagi.
Hari ini aku memutuskan bus karena malas berkendara, rencananya akan ke perusahaan Pak Bian. Aku enggan berpindah tempat jadinya bersebelahan dengan perempuan bercadar, pasti madunya Herlina lagi.
"Terimakasih."
Aku hanya fokus mendengarkan alunan lagu dari ponsel mengabaikan ucapan terimakasihnya. Terlalu banyak dekat dengan orang akan membuatku ketergantungan dengan mereka, takutnya aku malah terbiasa dengan mereka.
"Kemarin aku bertemu kedua anakku, berpelukan dengan Herlina."
Bus datang, untungnya tujuan kami tidak sama. Aku segera naik tanpa membalas perkataannya sama sekali. Berlari dengan cepat masuk karena hujan masih Setia menuangkan kesedihannya. Aku lebih suka berbicara dengan pikiranku daripada membuang-buang tenaga berbicara dengan kumpulan orang-orang penuh kemunafikan.
"Duduk disini, Mba."
Kenapa harus ada dia disini?
Mau tak mau aku duduk disampingnya, berusaha memperbaiki tatanan rambut yang sempat terkena hujan tadi. Seseorang yang ada disampingku terus menatapku sejak tadi tapi tidak kupedulikan sama sekali.
"Mau kemana?"
Berusahalah bodoamat saat kamu tidak ingin diganggu, untuk apa menjawab pertanyaan orang yang hanya ingin tau saja. Akan lebih baik membuka tab dan melanjutkan pekerjaan agar bisa mendapatkan banyak uang, membeli apapun yang aku inginkan.
"Turun di rute berapa?"
Masih pukul 9 ternyata, untungnya sehabis subuhan aku bisa tidur sebentar. Sarapan seadanya dan bersiap-siap bekerja seharian.
"Papa pengen ketemu kamu lagi."
"Anda itu orang kaya, bahkan membeli perusahaan bus ini sepertinya sangat bisa. Bukankah lebih baik anda mengendarai mobil anda sendiri bukan malah berdesak-desakan di bus sederhana begini?" responku setelah membiarkannya berbicara sendirian sejak tadi.
Malas juga tapi sudahlah.
"Setelah memeriksa semua kerjasama yang kamu sepakati, maka hari ini kamu akan ke perusahaan Hekasa Grup, mau bertemu dengan Pak Bian kan?"
"Bisa tidak? Jangan mencampuri urusan saya?"
"Kita kan tunangan?"
"Saya ingin kamu mengumumkan kalau kita tidak mempunyai hubungan apapun."
Aku menatapnya kesal karena menanggapi ucapanku dengan tawa padahal aku serius meminta hal itu. Entah apa alasan Lexion ikut menggunakan bus sepertiku, padahal seharusnya dia bekerja apalagi sudah jam lewat jam kerja.
Ya Lexion.
Dia yang menawariku duduk disampingnya yang langsung ku turuti, mengabaikannya sejak bermenit-menit yang lalu. Bus berhenti membuat sebagian orang turun sebagain lagi naik, aku yang tadinya ingin berpindah duduk menundanya karena kursi bus kembali penuh.
Pemberhentian dua juga sama, hingga tujuanku tiba juga. Anehnya, Lexion ikut turun bersamaku membuatku benar-benar kesal menatapnya.
"Berhenti mengikuti saya, Pak Lexion."
"Apa salah mengikuti tunanganku sendiri?"
Kuinjak kakinya sebagai pertanda benar-benar kesal, kemudian berlari menerobos hujan padahal aku sangat membenci terkena air hujan, hari ini benar-benar s**l karena Lexion itu.
Aku tidak peduli bagaimana penilaian orang saat aku meninggalkan Lexion sendiri di halte bus dengan menginjak kakinya terlebih dahulu, sesampainya di lobby perusahaan Hekasa Group aku langsung menghadap di resepsionis.
"Janji temu atas nama Qeila Purnamasari." beritahuku langsung, untungnya hujan tidak sederas tadi.
"Sebentar saya telepon bagian atas."
Kuanggukkan kepalaku, memilih duduk dikursi tunggu sembari mengeluarkan bedak memeriksa riasanku, uh masih bagus. Tidak sia-sia aku membeli bedak mahal ini hasilnya juga sepadan dengan hasilnya dan juga lama penggunaannya.
"Bu Qeila, Pak Bian sudah menunggu."
Kumasukkan bedakku kembali, tersenyum tipis membalas perkataan resepsionis itu. Berjalan dengan anggun menuju lift, pakaianku hari ini santai. Hanya menggunakan dress polos hitam ditemani outer rajut berwarna coklat. Rambutku kubiarkan tergerai, ditemani slingbag kesukaanku.
Tak lupa tas jinjing yang selalu kubawa kemana-mana, jangan pikir aku asal mamakai pakaian padahal aslinya ini kubeli kemarin, harganya lumayan membuatku berpikir ulang untuk membelinya.
"Iya barusan masuk beritanya, jangan-jangan mereka putus?"
Hentakan sepatuku terhenti, sayup-sayup tadi mendengar pembicaraan dua karyawan pekerja. Sudahlah, aku masuk kedalam lift menekan nomor lantai paling atas karena memang ingin bertemu dengan Pak Bian Hekasa.
Ting.
Pintu lift terbuka, dengan wajah tenang aku berjalan menuju meja sekertaris berusaha tetap sopan menghargai pekerjaan orang, mereka akan bahagia jika dihargai.
"Janji temu atas nama Qeila Purnamasari." ulangku dengan kata yang sama, dia mempersilahkanku masuk dengan mengatakan Pak Bian sudah menunggu.
Tok tok.
"Masuk saja Qeila."
Oh sudah benar-benar ditunggu ternyata.
Aku melangkah langsung ke sofa panjang, membuka tas mengeluarkan berlembar-lembar kertas berisi gambar dan desain buatanku. Mengurutkannya dimeja sesuai angka yang tertera disana.
Semua orang ataupun pekerja bebas sepertiku pasti mempunyai caranya tersendiri jadinya aku mempunyai caraku sendiri. Setelah rapi aku membuka laptop membuka folder tahap pembuatannya, setelah semuanya siap aku mendongak menatap Pak Bian.
"Saya akan menjelaskannya satu-satu sebelum minggu depan semua desain ini benar-benar dibangun, saya harap anda mengerti Pak Bian," setelah Pak Bian mempersilakan aku menjelaskannya, juga memperlihatkan video 2 dimensi yang kubuat subuh tadi.
Aku suka pekerjaanku berjalan dengan baik, tidak suka mengalami kendala ditengah jalan. Butuh waktu 2 jam hingga benar-benar rampung. Aku tinggal meninjau dari jauh saja, dan upahku sedang menuju rekeningku sekarang.
"Sekertarisku sedang kemari membawa beberapa makana ringan, tunggulah."
Baiklah, untuk menghargainya aku mengangguk. Membereskan berkas-berkas tadi menjadi satu memasukkannya kedalam map, kuberikan pada Pak Bian bersamaan dengan ponselku yang berbunyi pertanda upahku sudah masuk.
Aku suka pekerjaan bebas ini, tanpa ikatan kontrak sama sekali.
"Kamu pernah kerumah itu?" aku menatap Pak Bian, menunggu penjelasan maksud dari pertanyaannya.
"Rumah berkebutuhan khusus itu, kamu pernah kesana?"
"Belum, nanti."
Kuabaikan Pak Bian, kupilih menikmati makanan ringan yang sekertaris Pak Bian bawa. Hanya butuh beberapa menit hingga aku pamit tapi sebelum keluar ruangan tadi, perkataan Pak Bian mengusik ketenanganku selama perjalanan menuju halte bus.
Kubelokkan langkahku saat seseorang menghadang jalanku.
"Belum liat artikel gosip?"
"Saya tidak punya waktu membahas gosip, tidak penting." balasku ketus, berjalan cepat kearah halte bus. Untungnya yang duduk disana hanya beberapa orang saja.
"Qei, orang-orang berpikir kita putus."
Aku mengerutkan keningku bingung menatap Lexi yang entah kenapa masih berada disini padahal aku lama didalam sana. Ikut duduk disampingku saat aku duduk diantara orang lainnya.
"Bagus, saya tidak perlu berurusan dengan anda lagi. Mentang-mentang pemilik perusahaan jadi bebas berkeliaran sana sini," kuperiksa ponsel, mataku membulat menatap banyaknya artikel tak benar disana.
"Nah, sepertinya tunanganku terlalu sibuk didalam sana jadinya tidak sempat memeriksa ponselnya. Bagaimana? Mungkin kita perlu jalan-jalan agar gosip itu menghilang." Lexi terus menerus berbicara tanpa henti, aku membaca satu persatu artikel yang ada.
'Arsitek cantik Qeila dan Lexion Andatio bertengkar? Ini fotonya.'
Hari ini tepatnya di bawah dinginnya hujan,pasangan yang dikabarkan sudah tunangan ini bertengkar di halte bus. Terlihat Qeila meninggalkan Lexion sendirian dengan wajah kesalnya.
Kumatikan ponselku dan berlalu pergi dari halte bus, untungnya hujan sudah berhenti tapi awan masih mendung pertanda hujan bisa datang kapan saja. Tas yang ada ditanganku terasa sangat berat ditemani sepatu yang cukup tinggi.
Piip.
Mobil terhenti ternyata Lexi, entah kapan mobilnya ada disekitaran sini. Aku terus berjalan tidak memperdulikan Lexi yang terus mengikutiku tanpa henti. Keadaan kami sekarang benar-benar mirip dengan pasangan yang sedang bertengkar.
Ya Allah, aku benar-benar merindukan masa ketenanganku sebelum semuanya datang.
"Ada beberapa foto lama masa kecilmu di rumah itu, pengurus rumahnya pasti akan mengenalmu. Memperkenalkanmu pada anak-anak yang dulunya sering bermain denganmu,"
Langkahku terhenti otomatis mobil Lexi juga terhenti. Tawa dan suara anak-anak langsung memenuhi kepalaku, teriakan-teriakan mereka sangat memilukan membuat tas yang ada di tanganku jatuh begitu saja.
"MAMA! AKU TAKUT!"
"KAK HERLENA! TOLONG! KAKAK! TOLONG!"
Telingaku berdengung tanpa henti, kujatuhkan badanku diaspal jalan. Kepalaku sakit sekali, serasa mau pecah rasanya.
"Kumohon, jangan lakukan... Jangan lakukan. Kak Langit! Tolong aku!"
"Qeila? Hey, Qeila! Kamu kenapa?"
Kupegang tangan Lexi erat sedang tangan kiriku memegang kepalaku yang terasa semakin sakit, pandanganku memburam hingga semuanya gelap.
***
"Inilah kenapa aku tidak ingin kamu dekat dengannya, liat apa yang terjadi? Belum cukup seminggu dia dirawat dirumah sakit sekarang dirawat lagi. Kamu suka dengan apa yang terjadi dengan adikku?" sayup-sayup suara Dokter Arfan dengan suara tingginya terdengar, mataku kubiarkan terpejam.
"Aku tidak tau apa yang terjadi padanya. Aku berniat mengantarnya ke tempat pertemuannya selanjutnya tapi Qeila menolak, tiba-tiba saja berhenti Melangkah dan memegang kepalanya setelahnya pingsan." itu benar, Lexion benar. Itulah yang terjadi tadi.
"Ingatannya makin tidak karuan, kalau memang bukan kamu sebabnya berarti Om Bian yang telah membahas sesuatu padanya. Jagalah Qeila sebentar, aku akan menelepon Om Bian memeriksa kebenarannya." suara langkah yang menjauh terdengar jelas disusul suara pintu yang tertutup.
Suara decitan kursi juga terdengar pertanda Lexion masih berada diruangan ini menjagaku, perlahan aku membuka mataku disuguhkan langsung ruangan serba putih, identik dengan rumah sakit.
"Apa mereka benar-benar melakukan hal mengerikan padamu, Herlena?" mungkin Lexion belum menyadari aku membuka mataku, kupejamkan kembali menunggu apa yang dia katakan.
"Padahal dulunya kamu perempuan ceria, Herlena. Meskipun kamu tidak bisa melihat dunia tapi kamu lebih bahagia dari mereka yang mempunyai mata. Tapi kenapa sekarang kamu berubah sekali, Herlena? Apa benar kamu pelakunya?"
Tanganku yang awalnya dingin perlahan hangat karena di genggam oleh Lexion, tanganku terasa berat sekali. Apa yang sebenarnya Lexion lakukan?
"Herlena, aku sudah mewujudkan beberapa keinginanmu. Apa kamu bahagia? Kenapa makin kesini keadaanmu makin memburuk. Apa lebih baik bagimu dengan mata itu daripada melihat dunia penuh kemunafikan, seperti yang dulunya kamu katakan."
Yang dulunya aku katakan? Itu berarti sebelum ini kami pernah bertemu. Aku pernah bertemu dengan Lexion entah diumur berapa,
Suara dering telepon membuat tangannya terlepas, suara langkahnya agak menjauh. Kubuka pejaman mataku yang terlihat hanya punggungnya, sibuk berbicara dengan seseorang diseberang sana. Pakaian yang dipakainya masih sama dengan yang pagi tadi.
"Buat jadwal lain, saya Tidak masuk hari ini. Kalau ada tamu penting alihkan saja sama Pak Andatio pasti beliau akan mengerti, kalau tidak penting jangan telepon saya diskusikan saja dengan Pak Andatio,"
Mataku terus menatap punggungnya, suaranya tadi benar-benar mirip dengan suara Langit yang selalu datang di pikiranku, apa benar dia bukan Langit?
"Untuk meeting bulanan sayakan masih bisa hadir, untuk hari ini saja. Saya matikan, jangan menelepon tidak penting."
Kupejamkan mataku kembali setelah Lexion memasukkan ponselnya, spertinya dia kembali duduk dikursi tadi. Mengenggam tanganku dengan erat.
"Apa Langit sangat berarti untuk kamu?" lirihnya.
Kubuka pejaman mataku hingga mata kami saling bertemu, "anda tau dimana Langit atau anda sendirilah Langit nya?"