"Sudah sampai Nyonya."
Ameera segera memakai kacamata bermereknya, tak lupa mengganti high heelsnya. Memeriksa penampilannya terlebih dahulu sebelum turun dari mobil, pintunya sudah dibuka oleh sang supir.
"Keluarkan semua barang bawaan yang tadi," perintahnya dengan wajah tenang, matanya menatap kedepan.
Ameera menunggu semua hadiah dikeluarkan barulah melangkah masuk melewati pagar rumah Arfan, Rumah yang sangat kecil menurutnya sangat jauh dari ukuran mensionnya, putranya memang bodoh, rela meninggalkan rumah mewah demi rumah kecil tak nyaman begini.
"Semuanya sudah saya keluarkan, Nyonya." Hanya Ameera balas dengan anggukan, Supir itu menunduk sejenak kemudian masuk kedalam mobil kembali menunggu Ameera slesai dengan urusannya.
"Rumah macam apa ini?" komentarnya rendah, bahkan kucingnya saja tidak ia tempatkan dirumah sperti ini.
Suara sentakan hak tingginya terdengar sekarang tepat setelah Ameera melangkahkan kakinya di lantai berwarna putih bagian teras. Harusnya putranya menyediakan sofa di teras bukan malah kursi kayu murahan seperti itu.
"Mama, kenapa tidak telepon aku dulu sebelum kesini?"
Ameera mengalihkan pandangannya dari kursi murah itu ke menantunya, ekspresinya sempat berubah selama beberapa detik kemudian kembali tenang, Ameera membuka kacamatanya memperlihatkan wajah tenangnya tanpa senyuman sama sekali.
"Kenapa saya harus memberitahukanmu kedatanganku? Buang-buang waktu." ujarnya meremehkan, menatap penampilan Kena dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
Daster maroon yang Ameera yakini harganya murah, perut membuncit, rambutnya diikat asal-asalan bahkan wajahnya sangat pucat tanpa make up sama sekali, Kena benar-benar bukan menantu impiannya.
"Uang Arfan cukup kan untuk membeli dress dan dipakai ke salon? Rambutmu pasti tidak pernah menyentuh salon." komentarnya, masih dengan wajah tenangnya.
Kena hanya membalasnya dengan senyuman, sejak dulu ia dan Ameera memang tidak pernah dekat. Ameera tidak suka dengannya karena Kena bukan berasal dari kalangan keluarga berada, Kena juga hanya seorang perawat puskesmas saja.
Andaikan Kena tau hari ini Ameera berkunjung, mungkin Kena akan memakai pakaian yang baru dibelinya kemarin, memperbaiki penampilannya sebaik mungkin, juga memakai make up agar dipuji walaupun itu mustahil.
Kena memang lebih nyaman dengan dastar rumahan, membuatnya leluasa bergerak dengan perut besarnya. Bukannya uang Arfan tidak cukup hanya saja Kena suka dengan penampilannya sekarang. Terserah maunya bagaimana, selama Kena nyaman maka Arfan tidak mempermasalahkannya.
"Kamu pakai aja apa yang buat kamu nyaman, inikan rumah kita berdua ya jadinya sebebas kamu aja. Rumah aku berarti rumah kamu, punya aku berarti punya kamu. Kamu jangan urusin omongan tetangga nanti kamu tertekan, sayang."
Perkataan suaminya beberapa minggu lalu kembali Kena ingat, itu Arfan lontarkan saat Kena mengeluh tentang tetangga yang mengomentari pakaian Kena saat Kena keluar membeli bahan makanan di tukang sayur keliling. Kena berusaha tersenyum, menunggu mertuanya selesai menilai rumahnya.
"Harusnya yang kamu simpan di tegas sofa yang nyaman bukan kursi kayu begitu, nanti kalau menyambut tamu mereka nyaman. Jadi istri juga harus bisa mengatur tata letak bukan memikirkan harga barang saja," komentar itu terdengar lagi, Kena berusaha tetap tersenyum tidak membantah perkataan Ameera.
Takutnya jika Kena menjawab maka ia akan dicap tidak sopan, dan pandangan Ameera padanya akan semakin buruk padanya. Masalah kursi itu, Kena sempat kok ingin merubahnya tapi Arfan melarang katanya Arfan suka gaya kursinya, langka.
Ameera tidak tau saja, itu suaminya beli saat sedang ditugaskan di pedesaan untuk menghargai kerajinan warga sekitar. Kena ingin mengungkapkan itu semua, tapi sengaja ia pendam membiarkan Ameera melakukan apa yang ingin dia lakukan.
"Sudah berapa bulan?"
"Lebih 7 bulan, Ma." jawabnya pelan.
"Jadinya apa? Perempuan atau laki-laki?"
"Kak Arfan sengaja tidak mau tau dulu, Ma. Katanya biarkan menjadi kejutan."
"Kamu ini, harusnya kamu tau biar ada persiapan. Kalian bisa masang kamar untuk anak kalian, bisa beliin keperluannya jangan kayak anak remaja mau kejutan-kejutan." Kena memilin dasternya, Kepalanya mulai pening sekarang.
Ameera melangkah masuk tanpa menunggu Kena mempersilahkan masuk, menatap miris kearah sofa yang ada diruangan ini. "Kamu ini! Harusnya pilih Sofa yang nyaman dan elegan bukan sofa sederhana begini." Kena semakin melebarkan senyumnya, Ya Allah, bantu Kena tetap bersabar.
Mata Ameera mengedar menilai rumah putranya sangat sederhana sekali jauh dari perkiraannya. Padahal setiap Ameera kemari selalu ia komentari semuanya tapi kenapa masih sama? Lukisan yang harusnya lukisan elegan malah bukan. Pajangan lukisannya tentang alam, paling murah mungkin.
Ia mendudukan dirinya disofa, "liat? Sangat tidak nyaman sekali."
"Aku buatin Kopi, Ma?"
"Ya, jangan dikasi gula."
"Baik Ma."
"Sebentar," Kena membalikkan badannya kembali menatap mertuanya.
"Ganti pakaianmu, itu menganggu penglihatanku."
"Baik Ma."
Kena masuk kedalam kamarnya meninggalkan Ameera sendirian diruang tamu, dengan tangan gemetar bukannya berganti pakaian dengan cepat Kena malah mencari nama suaminya di kontak ponselnya, ingin memberi tahu kedatangan Ameera.
Biasanya setiap kali Ameera kemari pasti ada Arfan disampingnya, Kena jarang membuka suara hanya Arfan yang selalu membantah setiap kali mamanya membuka suara, tidak suka ini tidak suka itu.
Panggilan pertamanya tidak diangkat sama sekali membuat Kena ingin menangis sekarang juga. Hormon ibu hamilnya membuatnya mudah berubah mood, panggilan keduanya masih belum diangkat juga. Kemana suaminya pergi sebenarnya?
Tidak ingin membuat Ameera makin menilainya buruk, Kena membuka lemari pakaiannya menarik asal dress didalam sana. Mengganti pakaiannya sesegera mungkin, menyimpan dasternya di pinggir ranjang. Akan Kena pakai kembali setelah Ameera pergi.
Memperbaiki tatanan rambutnya didepan cermin, mengoleskan lipstik pada bibirnya. Tersenyum lalu menyemangati dirinya sendiri, Kena mencoba menelpon suaminya tapi belum ada jawaban.
Ia menghela napas sejenak kemudian keluar dari kamar, "aku buatin kopi sekarang, Ma." dibalas anggukan saja oleh mertuanya.
Kena masuk kedalam dapur, mengisi panci kecil dengan air lalu memanaskannya. Bisa saja Kena menggunakan yang lainnya agar lebih praktis tapi Kena ingin mengulur waktu agar bisa menenangkan pikirannya yang terasa lelah sekali.
Ponselnya berdering yang langsung Kena angkat tanpa pikir panjang sudah pasti suaminya yang menelponnya balik. Matanya memeriksa air terlebih dahulu belum mendidih jadi masih ada waktu meminta suaminya pulang.
"Kak," panggilnya dengan suara pelan, takutnya Ameera malah mendengarnya.
"Kenapa sayang? Aku baru selesai keliling memeriksa pasien terus teleponnya sengaja aku silent. Kamu mau makan sesuatu? Tapi aku pulangnya masih lama." air mata Kena turun tapi ia hapus dengan cepat.
"Aku pengen Kakak pulang," pintanya berusaha menahan tangisnya.
"Loh kenapa? Aku kan belum buka jam praktik sayang. Kenapa hm? Jangan bilang kamu kangen ya sama aku?" walaupun Arfan tidak melihatnya tapi Kena tetap menggelengkan kepalanya, pertanda bukan itu.
"Mama ada disini."
"Mama? Mama kamu? Kenapa tidak bilang semalam jadinya aku engga perlu berangkat kerja bisa digantikan orang lain. Mama masih sedih karena menantu kesayangannya engga dirumah, mana mamanya? Aku mau bicara." Kena menggeleng lagi.
Arfan memang dekat dengan orangtuanya, malahan Mamanya Kena sangat menyayangi Arfan selayaknya anak kandungnya sendiri. Mamanya jarang kemari tapi sebelum kemari akan menelpon dulu jadinya Arfan bisa ambil cuti.
Tangan kiri Kena yang tidak memegang ponsel meraih gelas mahal di lemarinya.
"Sebentar kak." Kena merasa pikirannya kembali jernih, setidaknya untuk sekarang.
Kena menyimpan ponselnya lebih dulu, mematikan kompor karena airnya baru saja mendidih sengaja Kena masukkan air yang banyak agar lama masaknya. Memasukkan dua sendok kopi kesukaan suaminya, tanpa adanya gula sesuai keinginan Ameera.
Ia kembali mengambil ponselnya, dengan tangan kiri mengaduk kopi.
"Kak,"
"Itu suara kompor kan? Bukannya kalau mama datang dia malah engga suka kamu di dapur. Mama malahan manjain kamu banget sayang, ak- Ken, jangan bilang kalau mama yang kamu mak-"
"Iya kak, Yang datang mama Ameera." potongnya cepat.
Helaan frustasi suaminya sangat terdengar jelas, "kamu tahan sebentar, aku usahain pulang kamu tunggu. Jarak rumah sakit dengan rumah kita dekat banget hanya sepuluh menit. Oke? Kamu berusaha anggap apa yang dia bilang itu omong kosong, oke?"
"Iya Kak."
Sambungan telepon terputus, Kena memejamkan matanya selama dua menit setelahnya baru berjalan keluar membawa nampan yang berisi segelas kopi disana. Berjalan pelan takutnya Kopinya tumpah.
Harusnya jam segini Kena istirahat dikamarnya apalagi kandungannya semakin membesar tapi mendengar suara mobil yang datang membuat Kena mengintip keluar jendela ternyata mertuanya yang datang.
Kena mana sempat berganti pakaian apalagi keperluan lainnya, hanya buru-buru keluar dimana di ruang tamu sudah banyak hadiah berjejeran dilantai dibawa supirnya Ameera, Kena menatap penampilan mertuanya hari ini.
Selalu identik dengan kemewahan, bahkan mengalahkan kemewahan anak jaman sekarang.
"Silahkan di minum, Ma." Dengan susah payah Kena menyimpan nampan itu dimeja tepat didepan Ameera, perutnya yang semakin besar membuatnya sulit bergerak.
Kena menatap was-was Ameera yang sedang mencicipi kopi buatannya. Ia meringis pelan saat tendangan anaknya terasa sekali, Kena membutuhkan istirahat sekarang tapi sepertinya Ameera enggan pergi sebelum puas meremehkannya.
"Kenapa pahit sekali?" Kepala Kena semakin pening mendengar komentar itu.
"Itu kopi kesukaaannya kak Arfan, Ma. Biasanya kalau pulang kerja atau sedang bekerja aku selalu buatin itu hanya bedanya aku tambahin satu sendok teh gula." jelasnya panjang lebar, berusaha tersenyum walaupun didalam sana anaknya terus menendang tanpa henti.
"Membantah kamu? Jadi menantu bukannya sopan malah begini. Makanya saya tidak setuju kamu menikah dengan Arfan, sangat tidak baik sekali."
Dimana letaknya bantahan itu sebenarnya?
"Andaikan kamu tidak datang,mungkin saya sudah menjodohkan Arfan dengan perempuan berpendidikan tinggi dan juga berasal dari keluarga yang setara dengan keluarga saya, kamu memangnya punya apa? Baru jadi pesawat saja bangga."
Kena tetap memasang senyumnya, andaikan ia tidak memoleskan lipstik pada bibirnya mungkin wajah pucatnya akan sangat kentara terlihat, dimana suaminya? Kenapa lama sekali?
"Kamu harusnya menolak Arfan bukan malah senang hati menerimanya," perkataan-perkataan menyakitkan itu terus terdengar, kapan Ameera pergi dari sini.
"Andaikan bukan perintah suami saya, saya mana mungkin mau kemari mengunjungi rumah kumuh kalian ini."
Rumah kumuh? Rumah bertingkat dua dan termasuk rumah mewah di kompleks ini dikatakan rumah kumuh oleh Ameera? Apa kabar dengan rumah yang lainnya? Yang modelnya lebih sederhana dari rumah Kena.
Kena menatap Ameera yang menatapnya dengan pandangan merendahkan, pandangan Kena juga perlahan buram pertanda pikiranya makin tertekan karena perkataan-perkataan orang tak punya hati ini. Anaknya saja dia buang apalagi Kena yang hanya menantu?
"Tidak bisakah kamu menceraikan Arfan setelah melahirkan nanti."
"Pergi!"
Kena dan Ameera kompak menatap kearah pintu disana ada Arfan yang sedang menatap Ameera tajam. Kena menangis karena akhrinya suaminya datang melepaskannya dari perempuan ini, Kena dengan bebas melemaskan badannya membiarkan punggungnya bersandar di sofa.
Sejak tadi Kena sangat ingin melakukan ini takutnya dicap tidak menghargai Ameera. Tangan Kena terulur mengusap perutnya dimana anaknya masih aktif menendang.
"Anda membuat istri saya tidak nyaman."
Ameera mengalihkan pandangannya menatap Kena yang kini memejamkan matanya, airmatanya terus mengalir dan juga tangannya tanpa henti mengusap perutnya. Ameera tidak tau akan separah ini, ia sedikit merasa kasihan.
"Pergi dari sini jangan pernah kemari."
Tanpa mengatakan apapun, Ameera kembali memakai kacamatanya. Ingin memeluk Arfan tapi putranya malah menghindar, ia tetap memasang wajah tenang pergi dari sana.
Selepas kepergian Ameera, Arfan berjalan cepat duduk di samping istrinya menarik badan Kena untuk bersandar di dadanya.
"Tenang sayang tenang. Perutnya kenapa hm?" Arfan ikut memegang bagian perut buncit istrinya yang terhalang dress.
"Hai sayangnya papa, sudah ya menendangnya mama kasihan, engga kasihan sama mama? Papa sekarang sudah pulang, mama sudah aman kamu jangan khawatir." seolah mantra, tendangan itu terhenti membuat Arfan melepaskan pegangannya pada perut Kena, memeluk istrinya.
Kena menangis pilu, hatinya sakit sekali mengingat perkataan mertuanya. Apa salahnya? Apa salahnya sebenarnya? Ada apa dengan kastanya? Arfan mengecup dahi istrinya beberapa kali meminta maaf karena datang terlambat.
"Dia minta aku cerai sama kamu, kak." katanya parau membuat Arfan menahan amarah dalam dirinya.
"Engga akan, itu tidak akan terjadi. Aku akan selalu ada untuk kamu, kita membesarkan anak kita bersama-sama, oke?" tangis Kena perlahan mereda, Arfan menepuk pundak istrinya dengan pelan hingga Kena tertidur.
Arfan mengangkat Kena masuk kedalam kamar, tak lupa memperbaiki posisinya agar lebih nyaman. Mengecup keningnya menggumamkan maaf beberapa kali karena membuat Kena harus merasakan hal seperti tadi.
Mengingat nama Ameera membuat emosi Arfan langsung naik, setelah membenarkan selimut Kena. Arfan keluar kamar menatap benci barang-barang yang ada dilantai ruang tamunya. Arfan menyingkirkan semua barang itu ke begasi mobilnya akan membawa barang-barang itu ke panti asuhan.
Kena mana mungkin mau menerimanya, membuat barang ini dirumahnya hanya akan membuat Kena ingat dengan semua perkataan Ameera. Walaupun Arfan tidak tau apa saja yang Ameera katakan tapi Arfan yakin tidak ada yang baik sama sekali.
Masuk kedalam rumah kembali, Arfan mengambil bekas kopi Ameera. Memeriksa model gelasnya, Arfan mencuci gelasnya lebih dulu kemudian mengeluarkan semua gelas dengan model yang sama dari dalam lemari.
Arfan akan memberikan ini juga ke panti asuhan, semua jejak Ameera harus pergi dari rumahnya. Arfan akan mengajak istrinya membeli gelas baru.
Perempuan seperti Ameera tidak sepantasnya diberikan tempat diantara Arfan,Kena dan juga Qeila. Arfan tidak akan pernah membiarkan Ameera menyakiti dua perempuan yang paling penting dalam hidupnya.
Untungnya ada dokter lain yang bersedia menggantikannya membuka praktik. Banyaknya pasien rutin check up yang antri membuat Arfan tidak ingin meliburkan, kesahatan orang-orang juga sangat penting untuk diutamakan.