20 - Aku Ingin Tenang

2094 Kata
"Untuk sementara waktu, saya akan membawa Qeila ke Jakarta dan saya mohon jangan menghubunginya. Akhir-akhir ini sejak bertemu denganmu terlalu banyak ingatannya yang datang, hal yang paling saya takutkan adalah alam bawa sadarnya tidak bisa menerima hal itu." "Memangnya itu salah saya? Sebelumnya saya tidak pernah membahas masa lalu dengannya." "Iya,saya tau. Tapi datangmu terlalu tiba-tiba sekali, dua tahun ini semenjak bangun dari koma ingatannya tidak pernah datang. Tapi semenjak kamu datang? Mengerikan." "Itu juga bukan salah saya, apa salah kalau saya hanya ingin dekat dengannya seperti dulu?" "Bukankah kamu kecewa dengannya? Kamu membencinya dan merasa dikhianati olehnya? Lalu kenapa terus menerus mendekatinya. Apa ini taktikmu untuk balas dendam?" "Pweasaan saya padanya lebih besar dari rasa benci itu, Arfan." Harusnya aku membuka mataku sejak beberapa menit lalu, hanya saja kupilih tetap memejamkannya dan membiarkan mereka berdua terus berbicara. "Kepedulian yang ayahmu berikan terlalu mendadak, saya sungguh berterimakasih karena keluarga kalian tetap bertanggung jawab dibalik pengakuan mendadakmu itu. Tapi saya mohon, untuk satu minggu kedepan biarkan Qeila sembuh." "Tidak akan. Kamu sengaja menjauhkannya dariku bukan? Sengaja menggunakan kesehatan Qeila demi menjauhkannya dariku." Ada apa dengan si Lexi ini? Aku cukup mendukung apa yang kakakku inginkan. Memangnya dia siapaku hingga harus berlebihan seperti ini. "Kalian tidak mempunyai hubungan apapun, lalu kenapa saya harus menjauhkannya darimu?" "Saya ti-" "Dia benar, saya ingin ketenangan dalam seminggu kedepan." sahutku tiba-tiba, kubuka pejaman mataku dan menatap mereka berdua bergantian. "Qei, salahku apa? Yang aku lakukan hanyalah menemanimu." ku gelengkan kepalaku, menatap kearah lain. Malas rasanya membahas hal yang tidak penting sama Sekali. "Silahkan pergi." kudengar langkah kaki menjauh, setelah pintu tertutup kutolehkan wajahku kearah Arfan yang barusan mempersilahkan Lexi pergi. "Kita benar-benar akan ke Jakarta?" "Kamu mau pergi?" tanyanya balik. "Tidak, aku ingin menetap di apartemen." Arfan tidak membalas perkataanku lagi, mungkin tidak ingin menganggu waktu istirahatku. Kupejamkan mataku, jadi perempuan menyedihkan itu adalah aku? Pakaiannya malahan lebih memprihatinkan dari pakaian seorang pengemis sekalipun. "Setelah ini dokter mengijinkan untuk pulang, kerumahku saja ya?" "Tidak, aku ingin ke apartemen. Aku ingin ketenangan memikirkan sesuatu yang baru saja kuketahui beberapa waktu ini. Rasanya benar-benar mengerikan." "Apa yang mereka perlihatkan padamu?" tidak kubalas. "Yaudah, aku urus kepulanganmu dulu." kurasakan Arfan menggenggam tanganku sejenak kemudian keluar kamar. Setelah Arfan pergi kubuka pejaman mataku kembali, bayangan penampilan perempuan di foto itu kembali. Apakah itu benar-benar aku? Mana mungkin itu aku, penampilanku yang dulu dan sekarang sangatlah berbeda. Malahan mau di lihat seribu kalipun benar-benar tidak bisa dipercaya sama sekali. Kalaupun itu adalah aku lalu bagaimana caraku menjalani keseharian? Kupijat pelipisku dengan tangan yang tidak terpasang infus, kepalaku sangat sakit. "Kamu yakin mau pake sandal itu? Sepetinya bagian belakangnya rusak dan tidak pantas untuk dipakai lagi. Mending kamu pakai sandal yang lama dulu, nanti setelah aku balik ke kota, aku bakal beliin kamu sandal yang Bagus, yang pantas untuk dipakai." "Hahah, apasih! Yang penting kan bisa dipakai. Menurut penilaian tanganku ini Masih cantik dan oke, saranku kalau kak Langit ke kota mending cari perempuan terus menikah jadinya bisa terlepas dari sini." "Kamu ingin keluar dari sini? Aku bisa membawamu pergi." "Tidak, aku tidak ingin meninggalkan mereka. Mereka yang siap dibawa pasti ketakutan, kalau aku terus disini jadinya aku bisa menghibur mereka dulu sebelum dibawa pergi oleh para temanmu itu, Kak Langit. Sudah lama aku disini, mereka juga memperlakukanku dengan baik." "Diperlukan dengan baik? Kamu menganggap perlakuan mereka padamu itu baik?" "Ya memang baik, mereka masih memberiku makan, memberiku pakaian, memberiku tempat berteduh pas mau tidur. Mereka malahan tidak menjualku sama sekali, aku senang berada di sini." Kubuka pejaman mataku, langit-langit kamar rumah sakit langsung terlihat. Begitu jelas suaranya, dan kenapa aku menganggap dua suara barusan yang tiba-tiba saja datang itu adalah aku dan Lexi? "Permisi Bu Qeila, saya buka infusnya dulu ya." mataku menoleh, ternyata suster sudah berada di dekat bankar. *** "Aku ingin sendirian." helaan frustrasi Arfan langsung terdengar, tapi tetap berjalan keluar kamar tak lupa menutup pintunya juga. Dan pada akhirnya ketenanganlah yang kubutuhkan untuk membuat pikiranku pulih kembali, tidak lagi memikirkan hal yang seharusnya kulupakan. Untungnya kakakku itu terus menjagaku, dengan sabar mengantarku pulang dari rumah sakit dan membawaku ke kamar. Sayangnya, aku belum bisa sepenuhnya percaya padanya. *** Arfan membuka kulkas adiknya, untungnya masih ada sedikit bahan makanan yang ia masakkan untuknya sebelum pulang. Mungkin nasi goreng ditemani omlet, cukup mudah untuk dimasak. Mengambil bawang dan mengupasnya, tak lupa mengeluarkan nasi yang sengaja ia beli di jalan tadi, untungnya penjualnya tidak terlalu memusingkan mengapa Arfan hanya membeli nasi saja. Setelah 20 menit berkutat dengan dapur, akhirnya masakannya selesai. Bermodal pernah hidup mandiri di desa itu bisa membuat Arfan bersyukur karena bisa memasak, apalagi untuk adiknya yang satu itu. Mendengar adiknya pingsan membuat Arfan langsung meninggalkan prakteknya, dan Arfan yakin setelah ini atasannya akan memberikan sanksi padanya. Tapi Arfan tidak peduli, menurutnya kesehatan adiknya paling nomor satu. "Qei, makan dulu." ujarnya setelah masuk kedalam kamar adiknya membawa sepiring nasi goreng dan juga segelas air putih. "Qei? Kamu tidur?" panggilnya sekali lagi, setelah menyimpan hasil masakannya di meja. Arfan mendekati ranjang ternyata benar, Qeila sudah terlelap. Memilih duduk dipinggir ranjang dan menatap adiknya dengan tatapan penuh khawatir. "Andaikan aku bisa mengendalikan keadaan, pastinya aku lebih dulu menyelamatkanmu dari mama, membawamu bersamaku, tinggal bersamaku." ujarnya dengan suara pelan. "Kamu jangan sakit terus, Dek. Jangan membuat aku merasa gagal menjadi seorang kakak untukmu. Maaf karena terlambat datang, aku tidak masalah kalau kamu membenciku seumur hidupmu." lanjutnya kembali, mengenggam erat tangan adiknya. "Qei, kamu jangan menggali masa lalumu terus. Melihat reaksimu setiap mengingatnya saja sudah membuatku terluka, lalu bagaimanap jika nantinya kamu sudah mengingat semuanya? Apa yang akan terjadi Qei?" Arfan menghapus airmatanya cepat. Ia tidak boleh menangis. "Kamu tidak perlu memikirkan kedua orangtua kita, mereka pasti sudah bahagia dengan sandiwara yang mereka jalankan sejak dulu. Andaikan kamu mau, aku bisa membawamu pergi sayangnya tidak. Kamu butuh pengakuan Qei, kamu butuh pengakuan." Arfan menunduk, menatap jemari adiknya yang ia mainkan. "Papa harusnya melihat bagaimana berbakatnya kamu, Qei. Papa harusnya tidak meragukan anaknya sendiri jadinya kamu tidak perlu mengalami kehidupan yang begitu mencekam itu. Maaf Qei, maaf." gumamnya lirih. "Maaf karena tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu." "Maaf karena gagal menjadikanmu perempuan beruntung, perempuan paling bahagia di keluarga kita." Arfan tersenyum dengan mata memandang kosong tangan adiknya. "Engga papa, tidak papa mereka melupakanmu lagian masih ada aku, Kena, Dan Benfa yang selalu ada sampingmu. Bersedia mendukung apapun yang kamu mau," Ting. Arfan melepaskan genggaman tangannya pada adiknya, meraih ponselnya yang baru saja berbunyi pertanda ada pesan yang masuk. Benfa. Qei kenapa? Arfan tidak berniat membalasnya, nanti setelah pulang dari sini barulah Arfan akan menelpon Benfa untuk membahas tentang hal ini. "Aku bereskan dapur dulu, kamu mimpi Indah." Arfan tertawa pelan kemudian kembali kedapur, membersihkan sisa tempat masaknya dan mencuci peralatan yang sempat dipakainya tadi. Sudah bersih kembali. Ponsel yang sengaja ia simpan di meja makan berbunyi, membuat Arfan segera mengangkatnya. "Ya sayang, kenapa?" tanyanya langsung, yang menelponnya adalah Kena. "Kata asistenmu di rumah sakit, tadi kamu buru-buru pergi terus ninggalin beberapa pasien yang pengen kontrol. Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Sembari mendengar Kena berbicara, Arfan membuka kulkas, tangan yang tidak memegang ponsel terulur meraih satu botol minuman bersoda, menutup kulkas kembali dengan pinggangnya. "Lexi meneleponku, Qei pingsan di kantornya katanya datang untuk bertemu dengan papanya, yaitu Andatio. Aku belum pernah bertanya pada Qei, apa tujuannya datang untuk bertemu dengan Andatio. Dan Lexi juga tidak tau apa yang mereka bahas," Menyimpan ponsel di meja dan mengaktifkan mode loudspeaker. "Sekarang gimana? Masih dirumah sakit atau sudah pulang? Pulangnya kerumah kita kan?" Walaupun Kena tidak melihatnya tetapi sebagai respon refleks, Arfan menggeleng. "Pulangnya ke apartemennya, katanya Qei butuh ketenangan. Kamu tidak perlu kemari, setelah memastikan Qei makan aku akan pulang kerumah." "Kenapa tidak berusaha membujuknya agar Qei mau kerumah? Jika terjadi sesuatu padanya bagaimana dong? Kalau dirumah kan aman." "Sayang, yang Qei perlukan bukan kasihan atau kepedulian yang sangat berlebihan seperti itu. Dia hanya butuh dukungan dan kepercayaan kita padanya, kamu tidak melakukan pekerjaan rumah yang banyak kan? Kemarin kita sudah sepakat untuk memakai pembantu." "Yaudah, pastiin Qei makan ya. Kerjaanku sejak tadi hanyalah duduk di ruang tengah menonton film. Yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah pembantu semua." "Itu baru istriku, kumatikan dulu mau periksa apakah Qei sudah bangun atau belum." "Baiklah." Sambungan telepon mati, Arfan berjalan kembali masuk kedalam kamar adiknya meninggalkan minumannya diatas meja makan. Sesampainya di kamar ia tersenyum, Qei sedang memakan masakannya. "Dihabisin ya?" "Hmm." "Gimana? Sudah baikan?" "Lumayan." Arfan tidak berniat bertanya lagi, memilih mengamati Qeila makan dalam diam. Kalau memang keluarganya menolak kehadiran Qeila maka Arfan akan tetap menerimanya apapun yang terjadi, meskipun seluruh dunia membenci adiknya sekalipun. Setelah adiknya selesai makan, Arfan dengan sigap mengambil piring yang sudah kosong itu, menyodorkan air minum. Kembali ke dapur untuk mencuci piring bekas makan adiknya tadi. "Aku pamit pulang, dulu. Kalau ada apa-apa telepon saja ya." "Iya." Arfan memeluk adiknya singkat dan pulang. Memberikan apa yang adiknya mau yaitu ketenangan. *** Ameera mengupas mangga dalam diam, tidak ada siapapun disini. Oh ada, suara cucunya yang sedang bermain di halaman belakang bersama para baby sitter sedang ibu anak itu dan menantunya keluar menghadiri sesuatu yang penting. Bisa saja Ameera meminta pembantu untuk melakukannya tetapi kali ini ia ingin melakukannya sendiri. Detan akan marah jika melihatnya mengerjakan hal ini, tapi karena orang itu sedang berada diluar kota tadinya Ameera bebas melakukan apa pun yang dia mau. "Aku akan ke luar kota dalam beberapa hari, jangan membuat kesalahan apalagi hal yang membuatku malu. Jangan menghadiri pesta tanpa aku disampingmu, takutnya mereka salah mengira." "Iya,Mas." "Sesekali pantau Herlina, takutnya dia malah ragu ketika sedang mengelola sebuah Butik. Miliknya itu sudah terdaftar di bawah naunganku jadinya harus sempurna." "Iya, Mas." "Kalau tidak salah tebak, istri Arfan sedang hamil. Kunjungi dia dan berikan beberapa hadiah. Aku tidak ingin dicap sebagai mertua yang lupa pada menantunya." "Iya Mas." Dan masih banyak lagi yang Detan katakan padanya sebelum pergi tadi, Tapi poin pentingnya hari ini adalah Ameera harus mengunjungi menantunya, yang sedang mengandung anak Arfan. Ameera dengan malas menatap banyaknya bingkisan di lantai, itu semua akan dibawa untuk mengunjungi membantunya untuk pertama kalinya. Sebenarnya Ameera tidak ingin kesana, tidak ingin berurusan lagi dengan Arfan yang semakin hari semakin banyak menentang keputusannya. Pertemuan terakhir mereka masih Ameera ingat dengan jelas, sudahlah. Setelah ini, Ameera akan ke salon dulu membuat dirinya secantik mungkin setelahnya akan datang menemui menantunya, bukan menantu. Rasanya Ameera masih menolak karena Arfan lebih memilih menikah dengan perawat biasa, daripada dengan anak teman Ameera. "Nyonya, ada yang berkunjung." "Siapa?" tanyanya santai. "Tuan Bian, sepertinya ada hal penting." Apakah adik iparnya datang kemari untuk mengajaknya berdebat lagi tentang perempuan buta itu? "Tidak, katakan padanya kalau saya sibuk. Saya harus ke salon segera, kemudian membawakan banyak hadiah untuk calon cucuku, saya tidak punya waktu untuk bertemu dengannya." "Baik Nyonya, akan saya beritahu." Selepas kepergian pelayan, Ameera medengus kesal. Menyebalkan sekali. Ia meninggalkan acara makannya, masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian menuju salon yang selalu ia tuju. Memilih pakaian yang paling mahal, perhiasan elegan tetapi berkilau dan sepatu yang baru dibelinya kemarin. Matanya tak sengaja menatap fotonya yang terpasang di dinding, begitu miris. Ameera tertawa pelan, seumur hidupnya Ameera akan sangat membenci keluarganya dan akan selalu memandang rendah mereka karena telah berani menyakitinya. Ameera akan membuat mereka bersujud dan meminta uang padanya setiap waktu. Ia kembali melanjutkan kegiatannya, memakai perhiasannya sembari terus bergumam pertanda sedang senang sekali. Memakai anting yang begitu berkilau, membiarkan rambutnya terurai karena akan di model di Salon nanti. Setelah memasang perhiasan, Ameera memilih tas mana yang akan ia pakai. Didepan matanya begitu banyak jejeran tas mahal yang harganya tidak main-main. Tangan putihnya, meraih tas pemberian menantunya sepulangnya dari Paris kemarin, Keylan. Masih terus bergumam senang, Ameera memasukkan dompet kecil mahalnya kedalam tas berukuran sedang itu. Memasukkan beberapa lipstik, cermin kecil dan juga tak lupa ponselnya. Kembali masuk kedalam walk in closet untuk memilih sepatu kembali, ia ingin yang lebih berkilau dan cantik. Setelah mendapatkan apa yang Ameera mau, ia sedikit memoles sedikit make up, setelahnya berjalan keluar kamar. "Tolong pindahkan semua ini ke begasi mobil, hati-hati." perintahnya pada pelayan yang memang berdiri di samping meja makan. "Baik Nyonya." Ameera lupa sesuatu, oh iya. Ia lupa membeli kacamata mahalnya. Ameera kembali masuk kedalam mengambil apa yang tadinya ia lupa, memakainya dan berjalan anggun ditemani suara sepatunya yang menggema dalam keheningan rumah siang ini. "Silahkan masuk Nyonya." Ameera masuk kedalam setelah dibukakan pintu mobil, menunggu bungkisan masuk kedalam begasi secara keseluruhan. "Semuanya sudah masuk, Nyonya." beritahu supir didepan sana. "Kita ke salon biasa, setelahnya kerumah Arfan." "Baik Nyonya." Mobil melaju, tidak peduli bagaimana respon Arfan nanti yang penting Ameera sudah melakukan apa yang suaminya inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN