22 - Masa Lalu Ameera

2054 Kata
Mobil mewah itu melaju meninggalkan rumah Arfan, Ameera duduk menatap kosong pantulan dirinya di cermin yang memang terpasang dibelakang kursi mobil didepannya. Wajah yang di tatapnya sungguh cantik, anting yang terpasang di telinganya juga berlian asli berkilau. Kalung kecil berlinton bintang sungguh megah terpasang di lehernya, baju keluaran terbaru yang diproduksi hanya beberapa pasang kini Ameera pakai dengan baik. Matanya kosong, tidak bahagia dengan gelimang harta. "Ibu pengen banget kamu nantinya pas besar bisa pake baju mahal, berlian bisa kamu beli kapanpun kamu pengen tapi memikirkan uang. Pake mobil mewah sama rumah bak istana, pokoknya ibu do'akan seperti itu tiap hari selepas shalat." "Terus anak-anakmu akan kamu bahagiakan, ibu pengen kamu rukun sama menantumu. Kamu terima dia, jangan malah ditolak karena kasta belaka. Kamu itu cantik, anak kesayangannya ibu, ibu punya feeling kamu akan kaya Raya punya segalanya." Ameera Jespara. Siapa yang tidak mengenalnya Sekarang, hidup bergelimang Harta tanpa kekurangan apapun setiap harinya. Namanya sering masuk kumpulan perempuan penuh fashion dan panutan, kebanggaan semua kaum perempuan. Doa ibunya diterima dengan baik, kini Ameera bisa membeli apapun. Tapi sayangnya Ameera tidak bisa membahagiakan anak-anaknya, tidak bisa rukun dengan menantunya malahan menolaknya karena sebuah Kasta. "Nanti kalau feeling ibu benar, kamu jangan merendahkan kaum dibawahmu, Nak. Kamu pernah merasakan apa yang mereka alami, kamu ibu besarkan dengan susah payah. Ibu bahkan rela menentang bapakmu demi memberikan semua yang ibu punya." Petuah-petuah yang tidak pernah Ameera jalankan dengan baik, pesan-pesan terakhir ibunya ia anggap angin lalu. Anaknya malahan kini hidup tanpa pengakuan, berjuang sendirian ditengah kerasnya bertahan hidup. Herlena Jespara. Andaikan ibunya masih hidup mungkin ibunya akan memakinya, meneriakkan Akan Agama dan Tuhan padanya. Ibunya mungkin yang akan membesarkan Herlena penuh kasih sayang seperti caranya membesarkan Ameera dulu. Ibunya akan menatapnya dengan penuh kecewa, mengatainya gila seperti orang terdekatnya ataupun anak-anaknya. Ameera anaknya ibu Farika sudah lama meninggalkan dunia, sedetik setelah ibu Farika menghembuskan napas terakhirnya juga. Ameera penurut, penuh kasih sayang, lemah lembut telah Ibunya bawa ikut pergi bersamanya. Apalagi saat Ameera diserahkan begitu saja pada Detan, tidak ada keluarganya yang mengingatnya. Mereka malah datang bagai penjilat meminta uang yang banyak. Keluarga adalah sumber patahmu. "Maaf, Nyonya. Apakah anda jadi mampir ke pemakaman?" lamunan panjangnya terhenti. "Tidak perlu, langsung ke lokasi arisan saja." balasnya tenang, "berapa lama sampainya?" lanjutnya lagi. "20 menit Nyonya." Ameera tidak mengatakan apapun lagi, kini memilih berganti pakaian di dalam mobil dengan cepat, supir juga tidak melihatnya sama sekali karena adanya penghalang. Ia mengganti pakainnya dengan baju memanjang hingga mata kaki tapi terdapat belahan di kaki kanan hingga bagian lutut. Bajunya tanpa lengan jadinya ia serasikan dengan jaket mahal terbarunya, Ameera menghapus make upnya menggantinya dengan yang lebih cocok dengan pakaiannya hari ini. Membiarkan rambutnya terurai hingga ia keliatan tidak menua sama sekali. Tepat setelah semuanya selesai mobil juga terhenti membuatnya turun, tak lupa dengan tas yang juga di gantinya. Ameera tidak memakai kacamatanya, kini masuk kedalam lokasi arisannya hari ini dengan pakaian berbeda. Senyumnya berubah menjadi ramah tatkala melihat kumpulan wanita sosialita, berjalan anggun kearah mereka. "Aaaa Ameera, kamu cantik sekali." Ameera disambut pujian, duduk dengan anggun tak lupa menyilangkan kakinya. Tas mahalnya ia simpan di meja perlahan menoleh menatap sang pemuji tadi. "Ahera, anda juga cantik sekali hari ini." balasnya memuji membuat meja yang penuh dengan perempuan kaya itu banjir tawaan. Mata Ameera tak sengaja bertemu dengan mata seseorang sempat kaget tapi hanya beberapa saat, ia melanjutkan perbincangan hingga Arisan itu terus menerus berlanjut seperti biasanya. "Kemarin aku sempat ke butik sana cuman kehabisan," Ameera menyimak dengan baik, sesekali ujung matanya melihat perempuan yang sejak tadi duduk diseberang sana. Memangku anak kecil yang Ameera sangat kenal wajahnya. "Anaknya tampan sekali Syakira, namanya siapa? Pasti lebih mirip papanya kan?" Semua pandangan mereka tertuju pada perempuan cantik yang sedang memangku anak kecil, Pandangan Ameera juga kesana. Bajunya termasuk pakaian mahal yang Ameera yakini kini dia hidup kaya Raya. "Bilal Angkara, Kak." jawabnya, umurnya sudah masuk kepala tiga tapi diantara semua perempuan disini dialah yang paling muda. "Anda istrinya Pak Angkara? Wah pantesan bisa pakai baju mahal." Ahera yang tadinya memuji Ameera bersuara, perempuan itu hanya tersenyum mulai terbiasa dengan perkataan-perkataan yang ada di lingkup perempuan kaya. "Saya ke kamar mandi sebentar," izinnya yang disetujui. Mereka kembali sibuk membahas perhiasan keluaran terbaru, Ameera hanya menanggapinya sesekali karena sejujurnya ia sudah memilikinya. Kemarin suaminya pulang membawakan satu set perhiasan untuknya, diminta untuk dipakai pas acara penting nanti. "Saya liat Ameera sering kali memakai kalung yang itu," sebuah sindiran telak untuknya. "Kalung ini diberikan suami saya pas lamaran, jadi saya anggap barang penting." jawabnya anggun membuat sang penanya bungkam, perhatian mereka kembali teralihakan saat Ahera membahas baju yang dibelinya di korea katanya. Tangan Ameera sekilas memegang liontin bintang itu, sengaja ia pesan khusus bukan pemberian Detan sama sekali. "Saya ke kamar mandi dulu." Ameera meraih tas mahalnya berjalan dengan tegak serta pandangan kedepan, wajah tenang tanpa keraguan sama sekali. Semua orang mengenalnya, jadinya setiap langkahnya harus sempurna takutnya ada paparazi disuatu tempat. Didalam kamar mandi ada Syakira yang sibuk membersihkan wajah anaknya yang penuh dengan hiasan kue, Ameera membuka tasnya mengeluarkan bedaknya. Menyempurnakan make upnya, padahal tidak luntur sama sekali. Setelah satu orang keluar Ameera bisa leluasa memandang anak kecil yang wajahnya mirip dengan seseorang yang sudah lama tidak Ameera lihat. Matanya sempat bertemu dengan mata Syakira tapi dia alihkan dengan cepat. Setelah bedak, Ameera mengeluarkan lipstik yang langka ditemukan memoleskan kembali pada bibirnya padahal sebenarnya mau bertahan selama seharipun lipstik itu tidak akan menghilang kecuali dibersihkan dengan pembersihan wajah. "Bilal jangan makan lagi ya, nanti papa marah loh kalau Bilal sakit." "Pa pa pa." "Iya Papa, habis ini papa jemput kita." Senyum Ameera sempat terbit beberapa detik kemudian kembali menyibukkan dirinya, memeriksa make upnya sudah membaik atau belum. Menata rambutnya padahal sudah rapi sekali. "Angga apa kabar?" Syakira sempat mematung selama beberapa saat bahkan tidak memperdulikan putranya yang merengek meminta diperhatikan, Syakira sibuk menatap Ameera dari samping. "Baik kak, Mas Angga sangat merindukan kakak." jawabnya pelan, kini kembali memusatkan perhatiannya pada putranya yang hampir saja menangis. Ameera kini berhadapan langsung dengan Syakira, menatap Bilal yang juga fokus menatapnya entah apa yang ada di pikiran anak kecil berumur 2 tahun itu. "Anak pertama kalian, mana?" tanyanya lagi. "Berliana? Berli sedang sekolah kan umurnya sudah 10 tahun beda 8 tahun dengan Bilal." Syakira membalasnya masih dengan suara pelan, "Saya perhatikan tadi kamu memberikan es yang cukup banyak padanya, jangan biasakan takutnya malah sakit. Kalau memang menurunkan sikap Angga, dia akan mudah sakit kalau makan es cukup banyak," sarannya, tangannya meraih tasnya. "Untuk itu kurasa turun ke Berliana kak, tapi belum tau kalau Bilal." "Hm." Syakira menatap Ameera yang kini meninggalkannya dengan Bilal berdua di kamar mandi, senyumnya mengembang saat tubuh penuh dengan kesempurnaan itu menghilang di belokan. "Papa pasti senang banget kalau tau Tante Ameera menanyakannya, malahan sampai memberikan saran untuk kamu loh." "Pa pa pa," "Iya papa, senangnya." Perkataan itu masih Ameera dengar dengan baik, ia sengaja masih berdiri didekat pintu depan kamar mandi. Merasa ia semakin diluar kendali Ameera meninggalkan tempatnya menuju meja tempat semua temannya berada. "Kalau kaya beneran, kamu harus bisa buat kalung bintang biar ingat sama ibu. Kenapa harus kalung? Soalnya kalung dekat dengan hatimu, biar hatimu tetap masih sama seperti yang ibu ajarkan." Wejangan lama yang memudar, Ameera sudah berbeda dengan apa yang Farika ajarkan. Berbanding terbalik dengan semua itu. Dunia kini telah berbeda. Sama dengan Anaknya, Herlena Jespara. Putri yang telah ia rubah sikapnya menjadi orang asing setiap waktunya. *** "Wah pak Angga, saya engga tau kalau perempuan yang baru bergabung bersama kami benar-benar istri anda, kirain tadi asal bicara saja," "Benar banget, Pak. Baju-baju yang Pak Angga produksi Bagus semua, saya aja engga kebagian kemarin. Kalau mau produksi seri yang kemarin call call ya Pak, saya hampir debat sama suami gara-gara engga kedapetan." "Saya juga sama, Pak. Diantara semua kelompok arisan kami hanya Bu Ameera dan istri anda yang punya bajunya. Duh, Saya iri Pak." "Bagi-bagi info ya, Pak. Produksinya yang banyak dong jangan yang cepat habis." Ketukan sepatu Ameera terhenti pertanda ia berhenti melangkah, karena postur tubuhnya yang tinggi dibantu high heels nya membuat Ameera bisa melihat dengan jelas wajah orang yang hanya bisa ia liat dari berita juga majalah bisnis. Didepan sana, Angga Angkara sedang dikelilingi teman-teman arisannya mungkin sedang memesan ataupun membahas baju yang Angga luncurkan. "Nah itu Papa sayang, papa itu sekarang hebat bisa jadi orang besar." Ameera melirik kesamping ada Syakira yang menggendong anaknya, Bilal. "Eh kak Ameera, sapa Bu Ameera dulu datang. Halo Bu Ameera, anda sangat cantik." Syakira mendekatkan anaknya pada Ameera tapi tidak begitu dekat takutnya ditolak habis-habisan hingga bisa mempermalukan dirinya sendiri. Sebenarnya Bilal sudah bisa berjalan hanya saja terlalu Aktif membuat Syakira harus menggendongnya kesana kemari jika sedang berada diluar, beberapa kosa kata juga sudah bisa diucapkan hanya saja belum jelas sama sekali. Anak kecil itu hanya tertawa memandang Ameera, tangan Ameera terulur memegang jemari Bilal senyumnya hadir. Tawa Bilal semakin besar melihat respon perempuan asing didepannya, tetapi itu hanya berlaku beberapa menit setelahnya Ameera kembali ke mode tenangnya. Kembali anggun sperti biasanya, menatap kumpulan ibu-ibu tadi kini telah pergi tinggal Angga yang menatapnya. Ameera berjalan tanpa mengatakan apapun, menghentikan langkahnya sejenak menatap adiknya. Tidak mengatakan apapun lalu kembali melangkah masuk kedalam mobil meninggalkan suami istri itu. Tapi Ameera ingat dengan jelas apa yang Angga katakan tadi, sangat jelas. "Tidak ada gunanya memakai kalung bintang jika kakak sendiri memperlakukan anak kakak layaknya orang asing." Sebuah pukulan telak untuknya, Angga kecilnya kini telah dewasa mempunyai dua orang anak yang sangat tampan dan cantik. Angga kecil yang begitu manja padanya kini telah mempunyai perusahaan yang cukup besar. "Tadi Tuan Besar menelpon Nyonya," Ameera menegakkan badannya, "apa katanya?" "Beliau meminta anda bersiap, Tuan besar akan keluar negeri tepatnya Singapura untuk perjalanan bisnis. Anda akan ikut juga, Tuan besar meminta anda mempersiapkan perlengkapan." "Baik, segera pulang." Ameera kembali menyandarkan punggungnya membuka jaket mahal yang terasa pengap sekali, membiarkan lengannya terekspos begitu saja. Mengikat rambutnya menjadi satu tapi masih terlihat cantik seperti biasanya, Ia membuka tabnya memeriksa berita terbaru. 'Angga Angkara sukses meluncurkan baju wanita pertamanya, langsung habis dalam sejam' 'Inilah keseharian Putri dari Angga Angkra' Adiknya, kini benar-benar menjadi orang besar tanpa dukungan siapapun. Membangun perusahaan sendiri, tanpa bantuan nya ataupun keluarganya yang lain. "Apa pernah Pak Angga bertemu dengan Pak Bian?" pertanyaan itu ia tujukan untuk supirnya. "Kemarin keduanya menjalin kerjasama, Nyonya. Akan ada set jas terbaru yang Angkara grup keluarkan, salah satu pemasok terbesar di project itu adalah Pak Bian. Tuan Besar pemasok paling besar sedang Pak Bian setelahnya," Ameera baru tau tentang informasi ini, pantas saja adiknya tau tentang Herlena. Bian pasti sudah membeberkan semuanya, bahkan mungkin keduanya sudah bertemu. "Kalau Bu Qeila dan Pak Angga, apakah keduanya pernah bertemu?" "Tidak Nyonya, sudah tiga hari Bu Qeila menghilang tanpa kabar. Biasanya Bu Qeila akan keluar bekerja ke perusahaan lalu ke perusahaan satunya lagi tapi sudah bebarapa hari menghilang, ada yang bilang dia dipindahkan ke Jakarta oleh Pak Arfan, tapi itu tidak jelas sumbernya." Ameera juga baru tau tentang hal ini, kemarin ia memang menunda kedatangannya bertemu Kena, baru bisa hari ini. Banyak bisnis yang harus ia periksa juga beberapa kunjungan bersama suaminya di beberapa cabang perusahaan Jespara. Herlena menghilang tanpa kabar? Mana mungkin perempuan gigih sepertinya menyerah tanpa alasan yang jelas. "Ada yang bilang dia pingsan diruangan Pak Andatio tapi sebagian lagi mengatakan itu hanya berita palsu karena perusahaan Andatio baik-baik saja, tidak ada rumor yang beredar. Andaikan Bu Qeila benar-benar sakit, mungkin Pak Arfan dan istrinya sibuk menjaga tapi mereka tenang-tenang saja, masih menjalankan kesehariannya sperti biasa." "Cukup." Supirnya mengangguk paham, menghentikan penjelasannya dan memfokuskan kembali pikirannya. Ameera tentu tau, Arfan masih menjalankan kesehariannya buktinya tadi Arfan datang menggunakan jas dokternya. Kena juga aman-aman saja tidak terlihat sedang khawatir, lalu kemana anak perempuan itu? Setelah datang menggemparkan Bandung karena keahliannya kini menghilang tanpa jejak. Ya, Ameera harusnya bahagia karena suaminya bisa kembali tenang tapi sisi keibuannya merasa khawatir. Dibantu penghalang jadinya supir tidak akan tau apa yang Ameera lakukan. Tangannya mengetik pesan dengan cepat lalu mengirimnya, dengan was-was menunggu balasan seseorang. Ameera dengan cepat membaca pesan yang sudah masuk kurang dari 10 menit ia menunggu, ternyata tidak meninggalkan Bandung. Perempuan itu masih ada di kota yang sama dengannya, masih belum menyerah meminta pengakuan. Beliau belum pernah keluar dari apartemennya selama 3 hari. *** notes : seperti judulnya, cerita ini pasti lebih dominan masa lalu ya. flashback nya banyak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN