Disambut bak Putri Raja.
Itulah yang kurasakan saat pertama kali masuk kedalam rumah utama Lexion, yang di Bandung saja kalah jauh sama yang ini. Ini baru rumahnya Lexion belum rumah utama Andatio, tidak terbayang luasnya bagaimana.
Untungnya, aku sudah mengucapkan syukur sejak tadi. Aku tidak perlu menunggunya di rumah sakit katanya langsung dibawa kerumah. Takut terbawa media, tapi sepertinya sudah tertawa media deh karena sejak tadi TV didepan saja sudah menampilkan bagaimana Lexion pingsan.
Lagian ada-ada saja, sudah tau tidak enak badan masih saja memaksakan diri untuk bekerja.
"Pak Lexion sejak pagi tadi kebanyakan melamun,Bu. Saya sudah bilang beberapa pertemuan bisa diwakilkan tapi beliau tidak mau, lebih suka terjun langsung." pemberitahuan Sekertarisnya sebelum pergi tadi kembali kuingat, apa Lexion memikirkan masalah perkataan ku ya?
Jadi, dia benar-benar tidak tau kalau aku pernah di tembak? Harusnya dia tau dong.
Suara sentakan sepatu membuatku sadar kembali, dokter datang dari dalam. Aku baru melihatnya,segera berdiri menyambutnya sebagai tanda menghormati.
"Hanya kecapean saja, Nona. Kalau bisa biarkan seharian ini Tuan istirahat di kamarnya jangan biarkan bekerja apalagi keluar, bisa?"
"Bisa, terimakasih atas waktunya dokter."
"Sudah sepantasnya karena memang pekerjaan saya, Nona."
Kami saling bersalaman sebelum Dokter itu benar-benar keluar dari rumah. Gara-gara Lexion aku harus berpamitan dengan wajah bersalah pada Adni dan juga Gesa. Dua pasangan itu sudah susah payah datang menyambutku malah kutinggal setelah bertemu selama beberapa menit saja.
"Saya lihat di TV kamu bertemu dengan Pak Gesa, pengelola Mall yang berada dibawah naungan Andatio. Kamu ingin pertemuan seperti itu? Saya bisa meminta Joe mengaturnya," ku balikkan badanku, sejak kapan Andatio duduk disofa itu?
"Tenang saja, ini sudah kesekian kalinya Lexion pingsan ditempat begitu. Dokter tadi sudah sangat hapal dengan tabiatnya, bagaimana? Mau diatur?"
Aku mendekat padanya, menatap layar TV ternyata sedang menampilkan aku dan Adni saling berpelukan. Disana hanya wajah Adni yang terlihat itupun tersenyum sumringah, judulnya adalah,
'Apa yang dibisikkan calon menantu Andatio pada perempuan berparas cantik ini?'
Ada-ada saja.
"Qeila?"
"Hm, apa ada pesta? Aku sangat ingin pergi bertemu dengan perempuan seusiaku membahas pekerjaan ataupun dunia perempuan." bukannya menyetujui keinginannya, aku malah membahas hal lain.
"Malam nanti saya akan menggantikan Lexion ke pesta pernikahan tapi bisnis juga, kalau kamu berniat ikut bisa pergi bersamaku. Tapi kurasa putraku tidak akan menyetujuinya, lihat saja wajah marahnya itu?"
Ku ikuti arah pandangnya, padahal tadi dokter berpesan padaku untuk menjaga Lexion untuk tetap berbaring di ranjang lalu apa sekarang? Orangnya malah berjalan keluar dengan wajah pucatnya.
"Dokter tadi berpesan padaku kalau kamu harusnya berbaring di ranjang untuk seharian ini, lalu apa lagi sekarang?" dengan cepat aku menarik lengannya kembali masuk kedalam kamarnya.
"Salah Qeila, ke sebelah kanan."
"Maaf, aku tidak tau."
Kami kembali ke depan dan terdengar suara tawa Andatio diruang tengah, mana aku tau lorong mana yang menuju kamar laki-laki keras kepala ini. Sesampainya di kamarnya aku sempat tercengang karena desainnya yang begitu cantik.
"Dari ekspresimu aku bisa menebak kalau kamu sangat suka dengan kamar ini, kamar ini bisa menjadi milikmu andaikan kamu bersedia menikah denganku, bahkan seluruh asetku bisa menjadi atas namamu. Mall yang kamu kunjungi tadi juga bisa menjadi milikmu,"
Aku tertawa sarkas, memaksanya berbaring. Jangan katakan kami hanya berdua, aslinya ada pelayan yang berdiri didekat pintu menunggu perintah.
"Kamu pikir saya perempuan sematre itu? Aku sudah memiliki banyak uang lalu kenapa aku harus menikah dengan seorang lelaki hanya karena dia kaya? Lalu setelah dia miskin nanti aku akan meninggalkannya begitu?" kusimpan tasku dimeja bundar tak jauh dari ranjangnya.
Aku duduk disofa empuk berbentuk persegi tanpa sandaran menatapnya, wajahnya mengerut tak suka.
"Aku tidak akan pernah miskin berapapun banyaknya hartaku yang kamu pakai," tidak ku pedulikan memangnya aku mau menikah dengannya?
"Qeila?"
"Aku tidak mau menikah dengan orang yang masih menyimpan dendam untukku, Lexion. Kamu pikir aku perempuan lugu yang tidak paham bagaimana sesekali kamu memandangku? Kamu seakan ingin mendorongku menjauh darimu tapi akhirnya hatimu lah yang menang. Sudahlah, baru beberapa bulan berhenti membahas pekerjaan,"
Kututup perkataan panjangku dengan meneguk air dingin yang langsung pelayan sediakan di meja bundar tadi, setelah isi gelas tinggal setengah barulah aku berhenti. Ku lirik Lexion dia ternyata masih menatapku.
"Nona, waktunya Tuan makan tapi beliau tidak mau makan jika dalam mode sakit." bisik pelayan padaku, ku pandang arah pintu ada banyak makanan yang mereka bawa.
"Simpan makanannya di meja ini." perintahku yang langsung mereka turuti, setelahnya kembali berdiri di samping pintu.
"Qeila, aku ti-"
"Aku siapkan sayang,makan oke?" potong ku cepat, mengambil sesendok nasi plus lauk.
Berjalan ke sisi ranjang, "geser sedikit," pintaku yang langsung Lexion setujui.
"Kalau kamu menjadi anak manis hari ini maka besok akulah yang akan menjadi anak manis menuruti apa pun yang kamu inginkan, tapi hanya sehari. Aku melakukan ini bukan karena aku telah mencintaimu kembali tapi sebagai tunangan yang baik." jelasku panjang lebar mulai menyiapkannya makanan.
"Sudah,"
"Tidak mau, habiskan."
Lexion makan sesekali melirikku karena sejak tadi aku terus menatapnya tajam setiap kali Lexion enggan membuka mulutnya untuk makan, aku tau dua pelayan yang berdiri didekat pintu sejak tadi menahan tawanya.
"Hm, bisa ambilkan aku piring juga? Aku lapar."
"Baik Nona," salah satu dari mereka keluar melaksanakan apa yang aku perintahkan.
Setelah selesai makan, aku segera membantunya minum. Lexion sebenarnya bisa melakukan ini semua tapi aku menghargainya maka aku memperlakukannya sebagai anak kecil.
Pelayan kembali membawa satu piring untukku, aku menerimanya dengan menggumamkan kata terimakasih, kembali ke meja makan dalam diam, aku tau Lexion memandangku tetapi aku tidak peduli.
"Tuan besar berpesan, apakah anda akan ikut dengannya ke pesta?"
"Tidak." hey, bukan itu jawabanku padahal aku ingin menghadiri pesta.
"Beritahu ayahku, Dia tidak akan ke pesta."
"Baik Tuan."
Aku memandang Lexion tajam dibalasnya dengan senyuman, dasar orang gila. Kulanjutkan acara makanku tanpa membatasinya sama sekali, aku tidak pernah memperlakukan diet pada diriku sendiri.
"Aku sudah selesai." tiga pelayan yang ternyata masih ada berdiri diluar maju, membereskan semua makanan yang ada dimeja itu.
Setelahnya mereka pergi lagi, tapi yang berdiri di pintu masih ada. "Apa kalian tidak lelah? Coba kemari dan duduk disofa ini." perintahku, keduanya tersentak kaget tapi tetap melaksankan perintahku dengan baik.
"Ada denganmu, Qeila? Biasanya kamu tipikal perempuan tidak peduli dengan sekitar. Apa karena ingatanmu perlahan kembali?"
"Hm kalian bisa membuatkan Lemon tea untukku? Dan kamu? Bisa buatkan gorengan untukku?" keduanya menganggukkan kepalanya dan meninggalkan aku dan Lexion berduaan didalam kamar dengan pintu kamar terbuka lebar.
Aku juga tau didepan kamar pasti ada Joe dan beberapa pelayan yang menunggu perintah.
"Kamu benar-benar tertembak?"
"Kenapa? Bukannya kamu sudah tau tentang hal itu?" balasku bertanya.
"Bagaimana kamu tertembak Herlena? Sedang kamu baru kembali dari pasar saat sore hari dengan pakaian Bagus. Kamu sengaja membawa polisi itu kembali kan?" aku mengerutkan kening bingung.
"Apa maksudmu sore? Dari ingatanku yang kembali, aku kembali dari pasar di pagi hari. Aku bahkan memberitahukan preman yang ada belakang ada polisi yang datang jadinya mereka bisa menyembunyikan anak-anak,"
"Aku kembali ke depan... "Aku berusaha mengingat kembali ingatan yang datang pagi tadi.
"Ya, aku kembali ke depan. Ingin menyelamatkan seorang anak kecil, mereka sempat adu tembakan. Satu kakak preman yang bertahan didalam sana, dan suara tembakan terdengar hingga aku kaget dan bangun, mana mungkin aku kembali lagi kesana?"
"Jangan membual Herlena, tidak ada bekas tembakan ataupun darah dibajumu ketika mereka menyeretmu masuk."
"Aku mengatakan yang sejujurnya."
Kami saling berpandangan cukup lama hingga dering ponselku menggema. Aku memutuskan keluar mengangkat telepon, tidak kaget lagi karena ada Joe berdiri didepan. Aku mengkodenya mengangkat telepon sebentar menampilkan nama Benfa disana, dibalasnya dengan anggukan.
Hari yang cukup melelahkan.
***
Benfa menyimpan ponselnya setelah menelepon sepupunya, di laptopnya sedang melakukan video call dengan Arfan.
"Kurasa Qeila mengingat sesuatu tengah malam, Ar. Karena aku memantaunya di kamar, dia sedang melakukan sesuatu agar bisa mwnyunukkan dirinya. Apa menurutmu itu ingatan mengerikan?" mulainya,
"Rasa sakit kepalanya makin bertambah sekarang, tadi pagi saat aku telepon wajahnya pucat menahan sakit kepalanya. Kamu tidak bisa mengikutinya kemanapun dia pergi? Aku takut terjadi sesuatu padanya." Benfa melirik jam, sudah waktunya pulang.
"Kamu tau sendiri, Ar. Dia tidak suka diikuti kemanapun dia pergi, aku sebenarnya ingin melakukannya tapi takutnya Qeila malah makin menjauh dariku. Tapi aku telah membahas ini dengan pengawal yang selalu ikut dengan Qeila, katanya akan melaporkan padaku jika terjadi sesuatu." ia melepaskan jas dokternya, menggantungnya di dalam lemari kecilnya.
"Projectnya masih lama disana kan?" suara Arfan kembali terdengar.
"Masih, tadi papa sempat telepon aku dan aku bahas itu. Mungkin masih ada 4 bulanan untuk pengerjaannya, ada apa? Apa waktu itu tidak cukup untuk meyakinkan teman-teman lainnya agar tidak membuka mulut mengenai siapa donor matanya?"
Ya, salah satu tujuan Arfan membawa Qeila ke kota bukan sekedar menjauhkannya dari Detan untuk sementara waktu tapi Arfan juga sedang berusaha membuat temannya yang dulunya ikut operasi Qeila bungkam.
Arfan sedang berusaha membuat orang di klinik dekat dermaga itu bungkam jadinya jika Qeila kesana tidak akan ada orang yang membuka mulut siapa pendonor matanya.
"Aku harus pulang, Ar. Kamu jaga istrimu, aku sempat dengar dia sempat setres gara-gara Ameera."
"Jangan membahas hal itu, sangat mengerikan untuk ku ingat. Baiklah, beri kabar terbaru padaku."
"Oke sepupu."
Video Call terputus, Benfa segera menata mejanya sebelum benar-benar keluar dari ruangan kerjanya, menyapa beberapa suster yang juga akan melakukan pergantian Shift.
Helaan napasnya terdengar lelah, untungnya ia kemana-mana harus menggunakan supir. Semua orang disekelilingnya terus saja memikirkan kondisi sepupunya itu, terus menerus menanyakan kabar Qeila.
Benfa bukannya iri, ia cukup tau diri hanya orang baru dalam keluarga itu tapi sesekali Benfa ingin diperhatikan seperti mamanya dulu menyeimbangkan rasa sayangnya pada mereka semua.
"Nona Benfa,"
"Kenapa?"
"Bukankah anda menyembunyikan perihal luka tembaknya Nona Qeila dari dokter Arfan, mau sampai kapan? Luka itu sampai sekarang belum menghilang karena pengobatannya yang terlalu acak. Bekas jahitannya saja belum hilang. Apa perlu kita membahasnya dengan dokter Arfan?"
Benfa tersenyum, "kurasa Qeila sudah tau, masa iya pemilik tubuh tidak tau ada bekas jahitan di tubuhnya? Hanya saja Qeila orangnya tidak suka orang lain ikut campur dengan urusannya, maka dari itu terkadang aku ingin iri padanya tapi sayangnya Qeila tidak pantas untuk dijadikan hal itu,"
"Nona..."
"Andaikan Qeila mau, dia bisa menyingkirkanku sejak lama. Tapi sejak kecil dia selalu berusaha agak menjaga sikap pada mama dan papa, begitupun dengan sekarang. Qeila menjauh dari keluarga besarnya yang gila sempurna itu, tidak pernah sekalipun memandang papa seolah meminta perhatian apalagi pada Dokter Arfan. Qeila berdiri dengan dirinya sendiri,"
"Apa anda baik-baik saja, Nona? Apa sebaiknya pertemuan anda dengan para pemegang saham di Hekasa di ditunda saja?"
"Tidak, aku harus tetap melakukannya. Papa sangat berharap banyak padaku, satu hal lagi mengapa aku tidak begitu ingin iri pada Qeila. Dia tidak pernah menggeser posisiku sama sekali, dia tetap membiarkanku mengembangkan semua hotel papa." perkataan Benfa ditutupi dengan hujan yang begitu deras.
Hujan yang pertama kali ia lihat semenjak datang ke Jakarta, akhirnya sejenak saja. Benfa bisa merasakan suasana Bandung walaupun tempatnya berbeda. Matanya sibuk memandang bagian luar. Ia tersenyum mengingat pembahasannya dengan Qeila di telepon tadi, tanpa sepengetahuan Arfan sama sekali.
Karena mereka sempat teleponan sebentar sebelum Arfan memintanya menelpon Qeila.
"Siapa saja yang tau mengenai luka tembak itu?"
"Ada apa? Bukankah itu luka lama, kalau mau menghilangkannya kita bisa mengatur jadwalnya dirumah sakit."
"Aku tidak ingin menghilangkannya karena nantinya itu adalah bukti kalau aku bukanlah penyebab markas itu ditemukan."
"Kamu sudah mengingat semuanya?"
"Belum, aku hanya perlu mencari sesuatu sebelum benar-benar memberitahukan Lexion mengenai kasus penting itu. Karena bisa saja di masa depan, amarah menguasainya dan malah berbalik menyakitiku bukan melindungiku lagi seperti dulu."
"Kamu bisa ke keluargaku, Qeila. Aku dan papa bisa memberikan pengawalan yang terbaik untuk kamu, apalagi ada Pak Angga yang aku yakini akan membantumu menyelesaikan semuanya."
"Tidak akan, sampai kapanpun aku tidak akan pernah meminta perlindungan pada keluargamu, Benfa."
"Kenapa?"
"Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu mulai tergeserkan sekarang?"
Suara hujan yang semakin deras menyentakkan lamunan panjang Benfa, mobil memasuki perusahaan utama ayahnya yang memang berada di Jakarta pusat. Perjalanan kurang lebih 30 menit ataupun bisa saja kurang dari itu tidak memakan waktu lama baginya. Benfa bahkan sempat mengemudi dari Jakarta ke Bandung ataupun sebaliknya.
Pintu mobil terbuka, pengawalnya yang memang seorang perempuan sejak tadi menemaninya kini berdiri menunggunya keluar dengan payung ditangannya. Keduanya berjalan masuk kedalam, menuju tempat pertemuan.
Benfa tersenyum ramah menemukan Keylan disini, ternyata dialah perwakilan Jespara sore ini. Bonekanya Herlina itu ternyata masih berperan dengan baik tanpa berhenti sama sekali.
"Kamu sudah memastikan istrimu baik-baik saja sebelum kamu tinggalkan sepupu ipar?" bisiknya ramah, dan melanjutkan langkahnya.
Dunia memang penuh dengan permainan.