Dua bulan kemudian.
Ya, aku sudah kesana kemari selama dua bulan di Jakarta ditemani ingatan-ingatan mengerikan tetapi belum memberiku jawaban sama sekali. Aku hanya mengingat bagaimana mereka memaksaku bangun pagi di hari-hari pertama tinggal disana.
Bagaimana mereka memaksaku memasak padahal sesekali tanganku harus terkena api karena memegang kayu yang ternyata sudah terbakar api. Yang kuingat selama dua bulan ini hanyalah keseharianku disana sedang kelanjutan hari itu menghilang entah kemana.
Pembangunan hotelnya sudah berjalan 65% tinggal beberapa minggu lagi hingga benar-benar rampung, jadinya aku bisa kembali ke Bandung memulai pencarian pasar yang ada di sekitaran markas mereka.
Perjalanan ke markas hingga ke pasar hanya butuh 20 menitan berarti jaraknya tidak terlalu jauh, aku hanya perlu ke markas itu mengandalkan ingatanku hingga bisa menemukan penjual sayur itu serta anak lelakinya.
Ya, namanya Mba Tira.
Perempuan bersuara tegas itu namanya Mba Tira, mungkin kalau aku bertemu dia pasti akan langsung mengenalku walaupun penampilanku kini berbeda. Dia memilki seorang putra yang selalu menemaniku setiap kali ingin membeli bahan makanan selain sayur.
Suara bising daritadi terdengar begitu jelas, aku juga tidak ingin disini sebenarnya tapi malas ke kantor juga karena hari ini Lexion sedang mengadakan pertemuan penting mana isinya dominan perempuan, katanya mereka perwakilan ayahnya, aneh kan?
Hubungan kami sesekali dekat layaknya orang pacaran kadang juga sperti musuhan karena aku kurang suka dengan caranya yang selalu berlebihan. Membelikan banyak perhiasan unutkku padahal aku tidak suka sama sekali.
Bukan tidak suka perhiasan hanya saja aku bukan perempuan mata duitan yang berdiri didekatnya hanya karena ingin mempunyai banyak set perhiasan, meskipun Andatio memahami tapi sama saja aku tidak suka, mereka selalu berlebihan jika menyangkut hadiah untukku.
"Lantai bagian atas sudah rampung, cuman masih ada beberapa sudutnya perlu dicek lagi," aku mendongak, untungnya memakai kacamata jadi tidak terlalu terganggu dengan sinar matahari.
"Hati-hati, Nona. Keselamatan anda adalah taruhannya semua pekerja yang ada disini," aku meringis mendengar apa yang ketua tim yang berdiri disampingku katakan.
Tidak salah sih, aku pernah jatuh karena mereka. Kemarahan Lexion pasti cukup membekas jadinya mereka begitu memperlakukanku bagaikan kaca yang tidak boleh pecah sama sekali. Merasa kehadiranku disini malah membuat mereka ketakutan dan tidak fokus aku pamit kembali saja.
Apakah aku berhasil menyelamatkan Syakila hari itu?
Pertanyaan itu terus aku gumamkan, semenjak ingatanku kembali sikapku benar-benar berubah. Biasanya bodoamat kini mulai perhatian pada sekitar, Benfa sering menegurku karena terlalu ramah pada semua orang.
Setelah melepaskan helm pelindung dan menyimpannya di tenda, aku berlalu dari sana mengendarai mobil dengan santai. Mau tak mau aku harus kembali ke perusahaan, menyaksikan Lexion dikelilingi banyak perempuan cantik.
Cantik? Ayolah Qeila, kamu juga cantik.
Butuh waktu lama hingga aku sampai, banyak mobil berjejeran seolah mengatakan padaku, mereka semua adalah keturunan orang kaya, mereka mempunyai segalanya harusnya salah satu dari merekalah yang menjadi tunangan Lexion.
"Bu Qeila!" aku mendekati Meja resepsionis sesaat setelah mendengar panggilan penjaganya,
"Ada apa?" tanyaku setelah berdiri didepannya terhalang meja resepsionis.
"Pak Andatio berpesan padaku, anda segera menemuinya." aku mengangguk, menuju lift dan menekan nomor lantai paling atas untuk bertemu dengan ayah tunangan pura-puraku.
Jangan berpikir aku sendiri, nyatanya didalam sini ada pekerja perempuan. Mungkin mereka tidak mengenaliku karena aku hanya memakai baju kaos hitam, outer hitam, celana jeans plus tas yang talinya di lilitkan di pinggang.
Ditambah lagi aku hanya memakai sneakers bukan high heels seperti biasanya, topi hitam ditemani kacamata hitam juga. Sampai sekarang pun aku belum membuka maskerku karena di lapangan tadi banyak sekali debu.
"Kudengar perempuan yang dulunya mau dijodohkan dengan Pak Lexion juga datang, apa mereka akan bernostalgia?" aku melirik perempuan berbaju kemeja putih, suka bergosip ternyata.
"Memangnya mereka pernah bertemu? Bukankah dari terdengar perjodohan itu dulunya hanya keinginan orangtua si perempuan saja? Sedangkan Pak Andatio menolaknya?"
Astaga, kasihan sekali perempuan itu.
Mana suara mereka berdua kentara sekali. Ayo berusaha tidak peduli, Qeila. Kamu kesini hanya perlu bertemu dengan Andatio setelahnya kembali keuanganmu untuk tidur.
Pintu lift terbuka dan kedua tukang gosip itu keluar tinggal beberapa orang lagi.
"Anda akan ke lantai paling atas?" aku melirik orang yang baru saja bertanya, mengangguk sebagai jawaban tanpa mengatakan apa pun.
"Anda tidak ikut pertemuan besar itu?" dia kembali bertanya, aku melepaskan kacamataku dan menatapnya. Dia mundur selangkah menabrak orang lain, suara shock mereka sangat jelas terdengar.
Mereka pasti sangat kaget dan tidak menyangka aku adalah tunangannya Lexion, memangnya sejak tadi mereka menganggapku apa? Tamu juga? Untuk apa aku membuang waktu untuk pertemuan membosankan sperti itu?
Pintu lift terbuka, bukannya hanya satu yamg keluar tapi mereka semua malah keluar.
"Kami akan menggunakan lift selanjutnya, Bu Qeila." ujar salah satu dari mereka, aku hanya mengangguk membiarkan lift kembali tertutup. Memangnya aneh ya satu lift denganku? Tapi baguslah.
Kubuka topi dan maskerku bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Aku berjalan keluar, beberapa orang menatapku aneh, mungkin karena pakaianku yang biasa sekali tidak cocok di pakai ke kantor.
Terserah lah. Aku kesini hanya ingin bertemu dengam orang yang katanya ingin sekali aku menjadi menantunya. Langkahku berhenti saat kumpulan perempuan didepanku juga ikut berhenti padahal tinggal lewat saja.
"Permisi," pamitku, melanjutkan langkah menuju ruangan Pak Andatio.
"Sebentar," kakiku berhenti melangkah kembali menatap perempuan berpakaian formal lengkap menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kamu tunangannya Lexion?" tanyanya dengan suara tak sopan,
Aku menatap ke belakang ada Joe disana, aku segera mengkodenya untuk menyelamatkanku dari kumpulan perempuan ini. Dia mengerti,
"Permisi, Nona Qeila harus segera masuk." dia menunduk sopan dan mempersilahkanku berjalan lagi, baru kali ini aku bersyukur ada Joe yang selalu berdiri di belakangku.
"Permisi," ulangku untuk kedua kalinya, tersenyum ramah.
"Aku baru tau kalau tunangannya Lexion ternyata Fashionnya serendah itu," baru beberapa langkah kakiku berjalan kini berhenti kembali merasa tidak terima dengan apa yang dia katakan.
"Terus berjalan, Nona. Ada informasi penting tentang pasar yang anda cari itu," bisik Joe padaku.
Kuanggap angin lalu, tanpa mengetuk pintu ruangan membuat pemiliknya sedikit kaget, aku tidak peduli. Aku duduk disofa tanpa dipersilakan, moodku benar-benar turun karena perkataan perempuan sok cantik tadi, apa katanya? Fashionku rendah?
"Ada apa dengannya, Joe?"
"Nona merasa kesal karena salah satu tamu kita mengatainya, Tuan."
Andatio terkekeh pelan, mendekati calon menantunya dan duduk disofa seberang menatap Qeila yang masih memasang wajah kesal.
"Apa perlu kita mengadakan pesta dan memperlihatkan pada semua perempuan yang hadir kalau calon menantuku adalah yang terbaik? Mau?" aku menggeleng mendengar tawarannya,ada-ada saja keluarga ini.
"Joe, pergi dan temui Lexion. Katakan dan jelaskan dengan detail kejadian tadi,"
"Baik Tuan."
Hingga Joe keluar ruangan pun, aku masih merasa kesal dengan mereka. Padahal mereka tidak tau bagaimana susahnya aku mendapatkan outer yang sedang kupakai, sepatu yang sedang kupakai juga harganya tidak main-main. Topi yang ada ditanganku sekarang pun sama mahalnya dengan kacamata hitam milik Lexion yang tertinggal.
Perempuan itu memang gila urusan.
"Selera sebagian perempuan memang berbeda-beda, calon menantu." suara Andatio kembali menggema.
"Saya kurang suka dengan panggilan anda itu, Pak Andatio." ia tertawa lagi, menaikkan kedua tangannya tanda menyerah. Ia berdiri mengambil map hitam di mejanya lalu menyodorkannya padaku.
"Penjual sayur yang kamu cari itu, setelah mendengar adanya penangkapan penjualan anak-anak, dia memutuskan untuk berpindah tempat meninggalkan kawasan pasar. Menurut dokumen, dia pindah ke Bandung yaitu kota yang sama denganmu,"
Mengabaikan tentang perkataan perempuan tadi, aku kini membuka dengan cepat map yang Andatio berikan. Aku kini bisa melihat wajah perempuan bersuara tegas itu, ternyata berambut pendek khas perempuan tomboy.
"Suaminya sudah meninggal 7 tahun lalu,pekerjaannya masih sama sampai sekarang yaitu penjual sayur. Kamu bisa ke pasar yang tertera disana untuk menemhkanna, tapi saranku pakailah penyamaran agar dia tidak menghindar." kulirik Andatio yang kini menyesap kopi di cangkirnya.
"Simpan dokumen itu, putraku akan datang membawa perempuan yang menyakitimu." membingungkan tapi aku tetap menuruti apa yang dia katakan, menyimpan dokumen itu kedalam tas jinjing yang selalu aku bawa kemana-mana.
Braakk.
Aku terperanjat kaget menatap pintu yang baru saja dibuka dengan kasar, barulah Lexion berdiri disana dengan wajah amarahnya. Ia menarik kasar seorang perempuan hingga lutut perempuan itu terbentur dilantai.
"Lexion!" sentakku kesal, sebagaimana pun orang membenciku ataupun aku bodoamat pada mereka tapi aku tetap membenci k*******n pada perempuan.
"Anda tidak papa?" tanyaku, berniat membantunya berdiri tapi perempuan itu malah mendorongku menjauh darinya membuat punggungku terbentur di ujung sofa, ish! Untung yang ada disana tinggal bekas jahitan saja tidak membentuk luka lagi.
"Qeila! Astaga, kenapa sikap baikmu kembali lagi hm?" perlahan wajah marahnya menghilang, mendekatiku dan membantuku berdiri, duduk kembali disofa.
"Aku lebih suka kamu yang bodoamat dengan sekitar daripada menjadi perempuan lemah layaknya Herlena dulu," tentu saja perkataannya yang terakhir ia katakan dengan suara pelan.
"Putri ketua cabang perusahaan kita yang ada di Bali? Bagaimana perasaan ayahmu saat dia tau kamu mendorong calon menantu keluarga Andatio, hm?" aku ingin melihat keadaan perempuan itu tapi Lexion malah menghalangi pandanganku, dia terus berdiri di depanku.
"Biar Papa yang urus, kamu ikut denganku saja, oke?" dia membantuku berdiri bukan membantu sebenarnya tapi memaksaku berdiri. "Joe, ambil tas laptop miliknya." lanjutnya lagi.
Aku akhirnya ia bisa melihat perempuan itu, sesuai dengan apa yang Andatio katakan tadi ternyata perempuan yang mengatai fashionku rendah adalah anak dari ketua cabang perusahaan mereka yang ada di Bali, berarti ayahnya adalah bawahan Andatio.
Aku berhenti melangkah, jongkok didepannya setelah meyakinkan Lexion jika aku baik-baik saja. Aku tersenyum lembut menatapnya, mulai mendekat padanya yang kini duduk melantai dengan lutut memerah.
"Bahkan mungkin, harga set perhiasan yang sedang kupakai saat ini tidak sebanding dengan gaji ayahmu selama sebulan. Harganya masih jauh diatas harga milik orangtuamu, kamu pikir kamu siapa? Ingin melukaiku? Bahkan tanpa nama Lexion di belakang namaku sekalipun, aku masih bisa menjatuhkanmu." bisikku tajam, tangannya dengan cepat ingin menamparku tapi tertahan dengan gerakan Lexion lebih cepat menarikku berdiri.
"Kupastikan ayahmu dalam masalah setelah ini," ujarnya tajam sebelum benar-benar membawaku keluar dari ruangan Pak Andatio.
Tanganku terus gemetar, membuat Lexion menggenggamnya dengan erat. Tanpa sadar aku menangis tanpa kejelasan ataupun alasan yang sangat pasti. Apakah karena perkataannya padaku, ataukah yang lainnya?
"Joe!"
"Ya, Tuan?"
"Panggilkan Dokter Benfa kemari!"
"Baik Tuan."
Didalam ruangannya aku menangis dengan tangisan pilu didalam pelukan Lexion, aku merasa dadaku terasa sakit sekali... Sakit sekali hingga aku lupa bagaimana caranya bernapas.
"Herlena, hey! Semua baik-baik saja. Kamu aman? Mereka yang salah bukan kamu. Kamu cantik hari ini, kamu luar biasa hari ini. Pakaianmu mahal, aku tau itu." bisikannya lemah lembut itu membuat tangisanku sedikit terhenti.
"Aku sangat tau bagaimana mahalnya topi yang kamu gunakan, okey?" aku refleks mengangguk, semakin mengeratkan pelukanku padanya. Aku hanya merasa ingin menangis, tiba-tiba saja tanganku gemetar, kepalaku rasanya ingin meledak akan banyaknya asumsi didalam sana.
"Kamu perempuan luar biasa, Qei."
Airmataku belum terhenti mungkin jasnya sudah basah.
"Dokter Benfa sedang menuju kemari, Tuan. Beliau menyarankan Nona dibiarkan menangis dan jangan mengajaknya bicara. Biarkan beliau terus menangis hingga merasa lega dan tertidur dengan sendirinya."
"Apa harus begitu?"
"Katanya Dokter Benfa akan menjelaskan semuanya setelah sampai disini,"
"Hmm baiklah."
Suara percakapan mereka malahan seperti teriakan kesakitan untukku, tepukan pelan tangan Lexion membuatku kini perlahan tenang tapi aku masih menangis, suara tangisanku masih terdengar dengan jelas.
Hingga beberapa menit kemudian, aku merasa mataku berat sekali hingga lama-kelamaan aku benar-benar menjemput alam mimpi.
***
"Apa yang terjadi padanya?"
Benfa yang baru saja selesai memasangkan infus pada Qeila masih belum menjawab, sibuk membereskan barangnya.
"Dokter Benfa,"
"Trauma tiba-tiba, karena ingatannya yang mulai kembali maka kita harus siaga setiap kali dia merasakan hal itu. Setiap kali Qeila merasa tertekan, ataupun shock maka kita akan menemukannya histeris. Kamu bisa mencari lebih detailnya dengan mengetik nama PTSD di laman pencarian." Benfa menjelaskan sembari ikut duduk disofa didepan Lexion.
"Ingatannya perlahan kembali tanpa jeda semenjak bertemu denganmu,mimpi buruk setiap malamnya dan dia seringkali di desak oleh sekitar tanpa sepengetahuanmu sama sekali,"
"Aku akan menelpon Arfan, kurasa Qeila harus kembali ke Bandung tanpa persetujuannya sekalipun."
Lexion terdiam ditempatnya, pantas saja sikap Herlena tadi berubah dalam sekejap. Ia menatap perempuan yang kini terbaring lemah diranjang ruang tunggunya, ditangannya terdapat infus.
"Apa yang sebenarnya yang sudah kamu lalui tapi tidak ada aku disana Herlena? Apa yang mereka lakukan padamu? Kalau memang bukan kamu pelakunya lalu apa maksud sahabatku menyebutkan namamu sebelum meninggal ditempat itu?" bisiknya lirih.
Kali ini Lexion tidak akan menghentikan Meraka membawa Herlena kembali ke Bandung, mendengar tangisan pilu perempuan itu membuatnya tidak berdaya.
"Kak Langit... Tolong! Maafkan aku! Kumohon..."
Ia mendekati Herlena dengan cepat, memegang tangannya yang tidak terpasang infus. Didepannya Qeila masih menggumamkan maaf dan meminta tolong, apakah dunia perempuan ini telah lama hilang?