"Saya pernah tertembak."
Pengakuan itu membuat Lexion membulatkan matanya tak percaya, tidak ada bekas tembakan yang Dokter Arfan beritahukan padanya, hanya lukanya saja.
Keduanya masih sibuk berpandangan hingga dering ponsel Lexion kembali menggema mengagetkan keduanya, Lexion segera keluar dari ruangan itu tanpa mengatakan apapun. Apa maksudnya Herlena pernah tertembak?
"Klien sudah menunggu sejak tadi, Pak." perkataan sekretarisnya hanya Lexion balas dengan anggukkan, segera masuk kedalam ruangannya.
Sepanjang pertemuannya dengan Klien, Lexion tidak bisa fokus sama sekali. Sesekali harus ditegur hingga bisa mendengar kembali penjelasan klien didepannya, butuh waktu 2 jam lebih hingga pertemuan itu selesai.
Lexion berusaha mengingat, teman lamanya memang memiliki pistol ilegal tapi jarang sekali terpakai, sekedar pajangan ataupun bahan gertakan jika ada anak-anak yang tidak mau mendengar ataupun menurut.
Saya pernah tertembak.
Dimana Lexion harus menanyakan hal itu? Sebagian rekannya telah meninggal sebagian lagi dipenjara ditempat terpencil atau bisa dikatakan diasingkan. Butuh koneksi yang besar agar bisa menembus dunia penjara.
"Maafkan atas kelancangan saya, Pak. Sebentar lagi anda akan keluar bertemu dengan klien dari perusahaan Jayatanka." Ia mengibaskan tangannya meminta sekertarisnya keluar.
Ia berdiri memperbaiki jasnya sejenak sebelum keluar ruangan, sekretarisnya segera mengikut di belakangnya. Langkahnya terhenti saat melihat Herlena keluar dari ruangan Papanya, perempuan itu berlalu begitu saja tanpa menyapanya.
"Spertinya Nona sedang memikirkan sesuatu sampai-sampai beliau tidak melihat anda, Pak." asumsi Sekertarisnya, tidak ada jawaban sama sekali membuat sekretaris tersebut harus memperbesar rasa sabarnya lagi.
"Pak? Tinggal 20 menit sebelum pertemuan. Takutnya dijalan kita malah terjebak macet saat menuju tempat pertemuan, apalagi tempatnya agak jauh mungkin memakan waktu sekitar 25 menit,"
"Mari."
Andaikan ini bukan pekerjaan penting, Lexion akan mencerca Ayahnya dengan banyak pertanyaan tapi mana bisa.
Di pertemuan itupun, Pikiran Lexion tidak fokus, sekretarisnya bahkan sesekali menegur ataupun menanyakan kabarnya apakah baik-baik saja. Butuh waktu 2 jam hingga Kliennya pergi, katanya akan mengurus pertemuan selanjutnya.
"Apa sebaiknya pertemuan anda selanjutnya di tunda saja dulu? Saya perhatikan anda tidak bisa fokus." ujarnya sembari memeriksa jadwal Lexion selanjutnya.
"Kemana kita setelah makan siang nanti?"
"Anda akan menghadiri seminar di 3 universitas siang nanti, setiap seminar anda hanya sebagai tamu mengingat dana yang anda masukkan kesana cukup mendominasi. Kalau anda tidak bisa hadir, kita bisa meminta yang lainnya untuk mewakili." jelasnya panjang lebar, jarinya menggeser jadwal selanjutnya.
"Setiap universitas, waktu anda hanyalah 30 menit jadi jam satu lewat empat puluh menit anda akan meninjau pembangunan sekolah dasar di beberapa desa, ini juga bisa diwakilkan tapi mereka sangat berharap anda datang. Telah menyiapkan banyak jamuan," jari Sekertarisnya kembali menggeser jadwal.
"Jam 4 lewat, anda akan meninjau pembangunan project hotel kita yang ada di Jakarta barat. Malamnya anda akan menghadiri pesta pernikahan rekan kerja anda dari perusahaan Pasexat. Disana nantinya anda bertemu tiga klien sekaligus membahas bisnis yang ingin anda coba yaitu pakaian, sepatu dan dunia oleh-oleh khas Indonesia."
"Saya sudah memastikan pemimpin ketiga usaha itu akan hadir, mengingat perusahaan Pasexat memang sebagian bergerak di bidang itu. Apakah anda akan menghadiri semuanya?"
Lexion memijat pelipisnya, kenapa banyak sekali jadwalnya hari ini? Padahal Lexion ingin berdua dengan Herlena. Ia menganggukkan kepalanya, bersedia menghadiri semua kegiatannya hari ini.
***
"Anda punya waktu luang Pak Andatio?"
"Ada apa? Ingin membahas kerjaan atau pribadi?"
"Pribadi."
Daripada tinggal di kantor dengan kepala pening tanpa henti, aku memutuskan bekerja di lapangan saja dengan pakaian berbanding terbalik, maksudku di cuaca yang cukup panas aku malah menggunakan pakaian rajut yang lebih cocok dipakai pas musim hujan.
"Oh masalah itu, menurut mata-mata saya yang ikut tinggal disana. Kamu memang sering pergi ke Pasar, berangkat subuh itupun kamu sudah selesai memasak. Dan akan pulang setelah matahari mulai meninggi sedikit. Ada apa? Kamu mengingat sesuatu?"
"Saya bermimpi tertembak, setelah saya periksa benar-benar ada bekasnya di bagian punggung sebelah kanan. Saya hanya penasaran bagaimana selanjutnya? Siapa yang menyelamatkan saya? Andaikan hari itu saya tidak diselamatkan maka mungkin saya telah meninggal bukan?"
Suara-suara bising di lapangan terasa sekali, kutumpukan kepalaku dimeja kayu panjang dibawah tenda ini. Andaikan ini luar negeri, aku akan membuka baju rajutku membiarkan tanktop pendek itu sebagai pakaian saja, tapi ini negera mayoritas islam. Sudahlah, pemikiranku makin tidak beres saja.
"Syakila? Kamu masih mengingat anak itu?"
Mataku terbuka dan menegakkan badanku, beberapa pekerja yang sedang istirahat sampai memandangku aneh. Ish! Aku benci dibuat penasaran oleh masa laluku sendiri, ini semua karena apa? Aku pemeran utamanya tapi aku tidak tau apa saja yang pernah terjadi padaku.
"Sore nanti, Pak Lexion akan kemari memeriksa perkembangan." aku memfokuskan pendengaranku, Lexion? Akan kemari? Ada baiknya aku segera pergi dari sini.
Lagian aku juga sudah mengecek dan aman, segera kuraih slingbagku meninggalkan tenda itu menuju Mobil Benfa. Aku tidak mau dulu berurusan dengan Lexion, aku harus menemukan sesuatu.
Mengendarai mobil dalam keheningan, memikirkan berbagi macam alasan siapa tau bisa memberiku jawaban tapi bukannya mendapatkan jawaban malah membuat kepalaku makin pening.
"Kalau pulang sekarang, bibi pasti akan melapor pada Benfa dan perempuan cerewet itu akan melapor pada Dokter Arfan." tebakku, ku putar balik arah mobil mencari udara segar kemanapun mobil ini pergi.
Ku ketuk-ketukkan jariku di stir mobil berusaha memikirkan kemana aku harus pergi mengasingkan diri sejenak. Dermaga? Tapi apakah ada dermaga di Jakarta barat? Masalahnya aku tidak tau kemana arahnya kalau memang ada, aku bukan anak Jakarta.
Tidak tidak, jangan ke dermaga.
"Kamu bisa ke pasar dekat hutan itu dulu, walaupun banyak pasar yang terlihat di maps tapi kalau sudah berada disana kita pasti tau dimana paling terdekat. Kalau kamu mau kesana, saya bisa memerintahkan Joe untuk menemanimu, tanpa sepengetahuan putraku ataupun kakakmu."
"Anda yakin pasarnya yang itu?"
"Kita tidak akan tau sebelum kesana memeriksanya langsung, markas itu sudah ditutup lama sekali. Sejak penangkapan besar-besaran itu, malahan sebagian ada yang terbakar karena kudengar bos preman yang sempat kabur membakarnya agar tidak bisa dilacak."
Kutepikan mobilku didepan mall besar, entah aku masih di Jakarta barat ataukah sudah ke daerah lainnya. Mungkin aku akan terus seperti ini hingga malam.
"Bisakah aku bertemu dengan bos preman itu?"
"Untuk apa? Sejak kejadian mengerikan itu mereka begitu ingin membunuhmu karena kamu melaporkan markas mereka pada kumpulan polisi."
"Sebagian ingatanku mengatakan saya bukan pelakunya, malahan saya yang memberitahu yang lainnya jika ada polisi yang datang, saya malahan tertembak. Menuju pasar saja saya begitu kesusahan, lalu mereka saya mampu sampai ke kantor polisi?"
"Coba kamu katakan kalimat itu pada putraku agar rasa bencinya padamu segera menghilang."
"Apa alasan yang membuat putra anda begitu percaya jika saya adalah pelakunya?"
"Saya tidak tau,"
Hari yang cukup melelahkan sekali bukan? Kenapa menyedihkan sekali menjadi kamu Herlena? Kenapa harus ada sosokmu didalam diriku, yang begitu lemah, maunya dijadikan kambing hitam juga disiksa tanpa alasan yang kuat.
Aku membenci kamu Herlena.
Kamu hanyalah perempuan lemah yang tidak bisa memerdekakan dirimu sendiri, kenapa di saat Langit menawarkan keluar kenapa kamu tidak keluar hah? Dengan dalih ingin menjaga anak-anak itu? Apa hubunganmu dengan anak-anak itu? Mereka saja yang kurang beruntung.
Siapa yang kamu ambil sikapnya Herlena? Keluargamu tidak mempunyai perikemanusiaan sedikitpun. Mereka bahkan lebih jahat dari kumpulan preman itu.
Aku meminum air putih yang memang selalu kubawa kemana-mana,tersedia aman didalam mobil. Aku menatap Keluar, orang-orang begitu bebas dengan dirinya sendiri tanpa adanya dinamakan sempurna ataupun tidak sempurna.
Apa yang salah dengan perempuan buta? Mereka bahkan lebih murni karena tidak perlu melihat banyaknya kejahatan dunia.
Tok tok tok.
Aku menurunkan kaca mobilku menemukan Joe lah yang mengetuknya, "ada apa?" tanyaku sarkas, ternyata sampai sekarang mereka masih mengirimkan penjagaan ketat untukku.
"Anda baik-baik saja Nona? Saya perhatikan sudah 20 menit didalam mobil tapi belum keluar juga. Apa anda pusing? Atau ada hal lain?"
"Tidak papa, sana sana."
Untungnya Joe menurut, segera memundurkan diri dan malah berdiri di sisi mobilku mengawasi. Terserah dialah, aku masih ingin duduk disini menatap padatnya manusia yang berlalu lalang keluar dari mall.
"Joe!"
Dari kaca mobil dia sedikit mendekat tapi pandangannya tetap mengarah ke depan. Kami sperti orang yang sedang berpacaran sembunyi dan takut ketahuan,menyedihkan sekali.
"Apa menurutmu menjadi perempuan buta itu salah?" tanyaku pelan,
"Tidak salah Nona, setiap orang mempunyai kehebatannya masing-masing. Mungkin dulunya penglihatan anda memang kurang mendukung tapi kudengar cerita lamanya, anda dulunya adalah perempuan penuh tawa, lemah lembut dan ramah sekali. Khas perempuan feminim." oh, kejujuran pemirsa.
"Lalu sekarang?"
"Saya pernah melihat foto anda sebelum kejadian itu terjadi, saat itu anda berumur sekitaran 20 tahun. Anda sederhana sekali, pakaian pun masih pakaian tertutup bukan memakai jilbab maksud saya. Anda selalu tertawa bersama anak-anak disana, memasak dengan segenap hati anda walaupun sesekali tangan anda malah tarkena api."
"Kamu sepertinya tau banyak tentangku,"
"Tuan besar meminta saya mencari tau tentang anda, Nona. Beliau ingin tau bagaimana perempuan yang brhasil membuat putranya akhirnya kembali dan mau melanjutkan bisnis keluarga. Anda alasan utama Tuan Lexion akhirnya ingin bekerja di perusahaan," aku tidak tau bisa seluas biasa itu.
"Joe!"
"Ya, Nona."
Aku diam sebentar, menatap dua anak kecil yang masing-masing tangannya di pegang oleh perempuan muda, mungkin seumuran denganku. Wajahnya putih tanpa polesan eye shadow, eye liner ataupun maskara.
"Kenapa Lexion ada di tempat itu? Kenapa dia bergabung bersama preman itu? Bukankah dia orang kaya? Andaikan karena uang saya rasa itu bukan alasan utamanya. Apa karena aku juga?"
"Tuan Lexion sejak kecil memang suka tinggal di luar Nona, lebih memilih tinggal bersama teman-temannya daripada rumah mewah katanya kesepian. Dia sudah lama melakukan hal seperti itu, Tuan besar membiarkan asalkan tetap ingat pulang sesekali."
Sembari menjawab pertanyaan perempuan didalam mobil ini, Joe juga terus menatap sekitar dengan waspada takutnya lengah dan nyawanya malah jadi taruhannya.
"Tuan Lexion telah mencintai anda selama 14 tahun," hm? Kenapa begitu?
"Dia dulunya sewaktu SMA sempat pulang meminta uang yang cukup banyak, katanya ingin menebus anak kecil. Awalnya Tuan besar tidak memberikan tapi dia tetap berusaha."
Aku tertegun, dia telah jatuh Cinta padaku selama bertahun-tahun lamanya? Pantas saja selalu mengekoriku kesana kemari. Cinta memang semengerikan itu bukan? Selalu membuat manusia lupa akan dirinya sendiri.
"Anda masih mempunyai pertanyaan, Nona?" lamunanku tersentak kemudian menggeleng,
"Anda berniat turun?"
Aku menatap banyaknya manusia di dalam sana, mungkin ribuan. Aku juga tidak tau ingin membeli apa, kesini pun karena bingung ingin kemana karena tidak begitu hapal dengan ibu kota Jakarta ini dan beserta sekitarnya.
Lagian jika aku masuk, pasti akan mencolok karena Joe pasti akan terus mengikutiku kesana kemari. "Apa menurutmu sudah banyak orang yang mengenalku?" tanyaku, aku bukannya kepedean tapi takutnya benar-benar ada yang mengenaliku sebagai tunangannya Lexion.
"Ini salah satu Mall yang didanai oleh perusahaan Andatio, saya juga sudah mengabari orang yang mengelola mall ini jika anda ingin berkunjung. Mungkin sedang dalam perjalanan kemari, anda ingin menemuinya?" aku membulatkan mataku menatap Joe,
"Kamu tau saya tidak suka menjadi pusat perhatian kan?"
"Anda harus mulai terbiasa, Nona. Perusahaan Andatio itu lingkupnya besar bukan bergerak di satu bidang saja tapi banyak. Anda harus terbiasa dengan namanya pusat perhatian bukan? Termasuk ini salah satunya."
Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi mobil, belum lama setelah Joe mengatakan itu kini mobil datang berjejeran didepan Mall membuat sebagian orang berhenti melangkah.
Aku menatap malas Joe yang kini telah membukakan pintu mobil untukku, aku masih belum turun. Memeriksa penampilanku yang biasa sekali, mana tadi habis cuci muka jadinya make up tipisku sudah menghilang.
Kuperiksa wajahku di kaca mobil, astaga! Siapa perempuan itu? Kenapa wajahnya pucat sekali.
"Penampilan anda dulunya lebih menyedihkan, Nona." aku menatap Joe tajam yang masih Setia menungguku turun dari mobil.
Mana didepan sana tatapan orang kini mengarah ke mobilku, aku menatap laki-laki berjas rapi mungkin seumuran Dokter Arfan dan ada perempuan cantik didepannya. Astaga! Dia bahkan lebih cantik dariku.
"Nona, sekedar informasi. Istri dari Pak Gesa sedang hamil muda jadi beliau tidak boleh terlalu lama menunggu."
Ingatkan aku untuk memukul Joe setelah ini, menyebalkan sekali.
Dengan anggun, untungnya masih ada kacamata Lexion di dashboard mobil jadinya aku pakai. Aku turun menampilkan senyuman ramah, suara bisik-bisik kini terdengar ramai dan paling luar biasanya mereka memuji kecantikanku.
"Selamat datang di Mall kami, Bu Qeila. Sebuah penghormatan anda ingin kemari, perkenalan ini istri saya, Adni." aku mengulurkan tanganku pada Perempuan bernama Adni yang malah membuatnya tersentak kaget.
Aku menariknya kedalam pelukanku, "anda begitu Cantik, saya merasa dikalahkan dan selamat atas kehamilan anda." bisikku, aku tau dari binar matanya ia sedikit was-was. Apa takut suaminya akan beralih padaku?
Pelukan kami terurai, dia tertawa kecil dan aku melihat binar lega disana. Kami berjalan beriringan masuk kedalam mall, aku menggandeng lengan Adni dan berjalan lebih dulu membiarkan suaminya di belakang bersama Joe.
Aku tidak suka menyakiti perasaan seorang perempuan, kalau memang mereka merasa waspada maka aku harus membuatnya nyaman disisiku. Karena bisa saja apa yang terjadi sekarang malah terjadi padaku nanti.
Perempuan hamil disampingku terus tersenyum, membahagiakan orang ternyata sebahagia ini padahal biasanya aku selalu bodoamat dengan sekitar.
"Nona, Tuan Besar meminta anda segera kembali. Tuan Lexion pingsan di acara seminar,"
Ish, si gila kerja itu.