"Kakak preman, aku akan keluar ke pasar membeli bahan makanan. Mungkin akan lama karena mengingat bahan makanan yang banyak berkurang, aku sudah memasak didalam tinggal makan saja." ujar perempuan buta di arah pintu.
"Hm,"
Ia berjalan dengan tongkat ditangannya, hanya menghafal jalan saja.
"Setelah adanya pohon mangga, kita jalan tiga langkah terus belok ke kanan." gumannya, mengetuk-ngetukkan tingkatnya disekitar, bibirnya tersenyum saat tongkatnya berhasil menemukan pohon mangga besar.
"Satu... Dua... Tiga." lanjutnya lagi lalu memilih jalan kesamping, "untung kak Langit sudah memberiku arahan yang Bagus." ia tertawa sendirian ditengah hutan, hawa dingin begitu menusuk mengingat ini masih jam 5 pagi.
"Kenapa dingin sekali, apa hari ini akan hujan?" ia terus menggumam tanpa henti, tapi langkahnya juga tidak berhenti. Yang menemaninya berjalan hanya tongkatnya saja.
"Ada dua pohon besar, tinggal jalan kedepan tujuh langkah lalu belok ke kanan lagi."
Kakinya terus berjalan tanpa henti, mengabaikan suara burung-burung berkicau pertanda pagi makin datang. Berjalan selama 25 menit hingga suara bising pasar jelas terdengar.
Senyum cantiknya mengembang.
"Permisi! Permisi! Permisi!" meski matanya buta tapi telinganya masih berfungsi dengan baik, kakinya masih bisa berjalan kemanapun dia pergi.
"Mba penjual sayuran?" tanyanya tepat didepan penjual.
"Mba disini Herlena, kamu salah tempat." ia menggerakkan badannya kesamping barulah benar.
"Sperti biasa kan? Sayur campuran, tomat, timun, kangkung. Atau adalagi?" penjual yang memang sudah menghapal diluar kepala barang belanjaan Herlena menyebutkannya satu persatu.
"Tambahin bawang putih,merah sama bombay. Terus satu paket untuk membuat bakwan Mba, jangan lupa cabainya dua macam." Mba penjual mulai membungkus belanjaan Herlena.
"Kamu sudah dengar belum?"
Dengan memeluk tongkatnya, Herlena mengerutkan keningnya bingung, "dengar apa Mba?"
"Polisi sedang mencari markas penjualan anak, dengar-dengar ada yang melaporkan. Pantas saja anak-anak dipanti banyak dikabarkan hilang ternyata sekitaran sini ada markasnya toh. Katanya polisi punya tim sendiri, kamu hati-hati kalau jalan pulang takutnya malah ikut di ambil sama orang jahat itu."
Ekspresi wajah Herlena sempat berubah tapi kembali tersenyum ramah seperti biasanya, menerima bungkusan dan menyodorkan uang yang bos preman berikan padanya semalam.
"Masih ada kembaliannya Mba?" tanyanya memastikan, Herlena sudah menjadikan tempat penjual ini sebagai tempatnya membeli bahan selama bertahun-tahun jadi percaya padanya.
"Masih ada 350 ribu, kamu ngasinya 500 ribu. Mau beli apalagi memangnya?"
Herlena menerima uang yang Mba penjual berikan padanya lewat tepukan ditangannya.
"Mau beli udang, cumi, jagung sama ikan. Kalau uangnya masih cukup aku pengen beli ayam juga," jujurnya
"Nak! Sana anterin kak Herlena beli."
"Baik ibu."
Butuh waktu 20 menit hingga Herlena keluar pasar dengan membawa banyak belanjaan dikedua tangannya, agak susah berjalan karena harus terus menggerakkan tongkatnya agar tidak salah jalan.
Setelah berjalan susah payah selama berpuluh-puluh menit akhirnya ia bernapas lega menemukan pohon besar pertanda tempatnya sudah dekat, mendengar langkah kaki membuatnya siaga.
Herlena segera menyembunyikan barang bawaannya disemak-semak, berjalan biasa saja hingga ia mencium bau parfum asing pertanda orang itu juga asing.
"Anda orang sini?" tanya orang itu tegas, ia berusaha melihat kearah perempuan itu melihat tapi aneh, setelah ia periksa ternyata perempuan buta.
"Ya?"
"Segera pergi dari sini, kami sedang melakukan pekerjaan kami." setelah mengatakan itu dia pergi, Herlena dengan cepat berlari juga tongkatnya berjalan kesana kemari.
Tidak boleh, tidak boleh ada yang menemukan tempatnya atau anak-anak itu akan berakhir bahaya.
Dorr dorr dorr
Herlena memejamkan matanya mendengar suara tembakan yang begitu jelas terdengar, masuk lewat pintu belakang terus masuk menuju tempat dimana sebenarnya tidak boleh ia jangkau. Demi keselamatan anak-anak itu, Herlena harus kesana.
"Lo ngapain kesini perempuan buta? Sana masak!" sentakan itu ia abaikan
"Ada polisi, didepan lagi adu tembak." lapornya membuat para penjaga itu berdecak kesal, mengamankan semua anak-anak yang ada didalam sana.
Herlena teringat satu anak perempuan yang ada di luar, tepatnya dirumah paling depan dimana disanalah tempat anak-anak akan disiapkan sebelum dijual, ia berlari keluar lagi menuju ke depan dibantu tongkatnya yang terus mengetuk.
"Dimana markas utama kalian?" Herlena mematung di daun pintu, bau parfum ini adalah orang tadi.
"Heh! Perempuan buta ngapain lo kesini?" ia hapal suara itu, teman dekat Langit. Sering bercanda tawa dengan Langit,
"Saya tidak tau jika perempuan buta yang saya temui tadi ternyata salah satu orang jahat," polisi itu mendekati Herlena,
"TIDAK! KAKAK HERLENA AYO LARI! LARI!"
"Syakila? Kamu masih disini?" Herlena mengabaikan teriakan itu, ia berjalan kedepan melewati polisi yang memantaunya sejak tadi.
Herlena berjalan kesana kemari hingga berhasil menemukan anak berumur 5 tahun itu memeluknya erat. "Jangan anak ini! Dia tidak bersalah. Aku mohon! Aku bisa lakuin apapun tapi jangan anak ini." polisi itu tersenyum miring, ia mendekati Herlena dan menariknya. Cukup cantik juga ternyata.
Satu preman yang masih memegang pistol ditangannya berdecak kesal, walaupun ada peluru yang berhasil mengenainya tapi ia tetap berusaha mengarahkan pistolnya kearah punggung polisi tak beradab itu, polisi itu mulai menyentuh wajah Herlena sedang perempuan itu mulai menangis.
Dooorr.
"KAK HERLENA!"
Mataku terbuka dengan cepat, mimpi macam apa itu? Kenapa rasanya sangat terasa sekali. Tak ingin penasaran terlalu jauh, aku berjalan menuju cermin besar mengamati punggungku sendiri, ada bekas jahitan disana.
Aku terduduk dengan lemas di pinggir ranjang, kurasakan tanganku gemetar bahkan terasa dingin sekali. Jika aku pernah disentuh sedekat itu lalu bisakah aku beranggapan bisa lebih dari itu? Bagaimana jika ada yang berbuat padaku lebih dari itu?
Kupegang kepalaku yang terasa sakit sekali, aku masih ingin mengetahui lanjutannya tapi kenapa harus terbangun?
Masih pukul 2 pagi.
Pasar? Ya, aku harus kesana bertemu dengan penjual sayuran itu. Menanyakan banyak hal padanya mengenai tentangku di masa lalu.
Aku mengikat rambutku asal, membuka ponsel mencari di laman pencarian mengenai hutan tempat markas itu berada.
Tadaaa, aku menemukannya. Sayangnya ada banyak pasar di sekelilingnya, pasar mana yang harus aku kunjungi dan hanya mengenali suaranya saja? Ini sudah bertahun-tahun tapi dia pasti masih ada disana.
Kak Langit alias Lexion, dia yang mengajarkanku jalan menuju pasar jadinya dia pasti tau pasar mana yang ingin aku kunjungi bertemu dengan Mba penjual itu.
Atau bisa saja aku meminta dokter Arfan tapi dia mana mau memberitahukanku, jangan Lexion. Tapi aku bisa membahas ini dengan ayahnya Lexion yaitu Pak Andatio, dia pasti dengan senang hati memberitahukan tempat itu padaku.
Makin kesini aku semakin paham, mengapa dokter Arfan tak ingin aku menggali masa lalu tapi aku mana mungkin membiarkannya begitu saja. Aku butuh jati diriku bukan asal berjalan seperti ini.
Tapi intinya,aku telah menemukan satu jawaban mengapa ada bekas jahitan di sana. Tinggal memar-memar yang perlahan memudar, tentu aku masih ingat sampai sekarang saat bangun dari koma bagaimana banyaknya bekas luka saat itu.
Bukankah Dokter Arfan hanya menemukanmu di dermaga? Andaikan sebelumnya tidak ada orang yang menjahit lukaku maka mungkin aku telah tiada karena luka itu. Jadi, siapa yang melakukannya? Apakah Langit?
Daripada bingung, aku memilih keluar kamar disambut suasana rumah yang begitu hening, ya iyalah hening sudah jam 2 pagi lewat palingan Benfa sudah terlelap dalam mimpinya.
"Apa telepon Dokter Arfan saja?" tanyaku pada diri sendiri, tapi mana bisa. Dokter Arfan akan langsung khawatir jika tau aku menelepon.
Aku memutuskan berlari keliling halaman rumah saja, ditemani dinginnya malam yang terasa sekali. Mari melupakan mimpi itu sejenak agar bisa leluasa bekerja.
***
Memakai baju rajut kebesaran ditemani celana kulot hitam, memakai high heels yang cukup tinggi. Hentakan sepatuku menggema di ruang makan, disana sudah ada Benfa makan.
"Tumben bangun sepagi ini?"
"Ada yang salah?" balasku dengan pertanyaan juga, memakan roti yang telah pembantu siapkan.
"Subuh tadi kamu jogging diluar?"
Kunyahanku terhenti, "dari jam dua pagi, mataku engga mau tidur lagi. Saya duluan, mau pake mobil kamu. Males diantar pulang sama orang gila urusan," Benfa tertawa mendengar ucapanku, aku mengambil sepotong roti lagi.
"Mau saya masukkan kedalam tupperware, Nona?" pembantu maju menawarkan bantuan.
"Boleh, saya tunggu didepan."
Kuambil tasku, semangat Qeila kamu bisa.
Hanya butuh beberapa menit didukung jalanan yang lenggang untuk aku sampai di kantor Lexion, memeriksa penampilanku Sekali lagi sebelum masuk. Aku sengaja mengepang rambutku agar lebih cantik terlihat, pakaianku memang berbanding terbalik dengan pakaian para perempuan kantoran.
Setelah merasa semuanya sudah cantik, aku keluar dari mobil dengan tangan kanan menenteng tas laptop sedang tangan kiri memegang tupperware berisi roti lapis sebagai sarapan.
Lantai tujuh adalah tujuanku, disana hanya ada beberapa ruangan termasuk ruangan rapat untuk para manager yang ada diperusahaan ini, menyapa beberapa orang yang lewat ataupun mereka yang balik menyapa.
Aku berhenti melangkah satu langkah setelah keluar dari lift, didepan sana Lexion sedang tertawa bersama perempuan berpakaian khas kantoran, hm baiklah. Aku cukup melewati mereka berdua tanpa mengganggu bukan?
"Permisi!" ujarku karena mereka sedikit menghalangi jalan, perempuan itu sedikit menggeser badannya lebih dekat dengan Lexion.
"Qei, kamu datang pagi?" pertanyaan macam apa itu?
"Sefaria, ini tunanganku namanya Qeila Purnamasari. Dia Arsitek yang menangani project hotel saat ini," oh masih diakui ternyata, aku mengulurkan tanganku berniat jabat tangan dengannya, tupperwareku ku minta Lexion untuk memegangnya, permintaan tanpa suara.
Wajah cerianya menghilang, sebagai sesama perempuan aku tau dia tidak suka dengan keberadaanku. Senyumnya hanya sekedar formalitas didepan Lexion, "Qeila Purnamasari, tunangannya Lexion seperti yang orangnya katakan tadi." ujarku perkenalan.
"Safaria Ananta, teman lama Lexion." aku mengangguk, melepaskan genggaman tangan kami.
"Kalau begitu saya pamit masuk kedalam, harus segera bekerja." aku mengambil tupperwareku di Lexion, melanjutkan langkah menuju ruanganku yang bertetangga dengan ruangan maneger pemasaran.
Kubuka pintu ruangan dengan susah payah, menutupnya menggunakan pinggang. Jangan berpikir aku akan kepikiran mengenai pertemuan mereka berdua, malahan sekarang aku sibuk mengunyah roti lapis ditemani teh kotak yang kuambil di kulkas mini.
Mataku sibuk melihat gambar barang yang akan dipasang di hotel nanti, berusaha menyamakan sesuai dengan khayalanku tentunya. Aku bersenandung sembari terus mengklik mouse, hari yang cukup menyenangkan.
"Tolong Mba, tolong."
Kupejamkan mataku cepat, roti lapis yang tinggal sepotong terjatuh begitu saja. Kedua tanganku memegang isi kepalaku yang terasa sakit sekali, Mba? Aku meminta tolong pada seorang Mba? Tapi Mba siapa?
"Pergi! Pergi! Lo harus pergi dari sini!"
"Tapi kakak preman?"
Aku berjalan linglung menuju sofa panjang, menyandarkan punggungku disana. Dimana obatku? Aku membuka Mata sejenak berusaha mencari slingbag dimana didalam sana terdapat obat yang Benfa berikan.
Suara telepon yang berdering membuatku bangun kembali, dengan tangan kanan masih memegang sisi kepalaku.
Dokter Arfan.
Kenapa bisa pas sekali? Aku mana mungkin mengangkatnya dalam keadaan kesakitan begini, bisa-bisa Dokter Arfan menyusulku kemari dan aku sangat ingin itu terjadi. Baiklah, mari mengabaikannya Qeila.
Aku hanya mengambil obatku meminumnya dengan cepat, meminumnya pun hanya dibantu teh kotak bukan air putih entah manjur atau tidak. Beberapa menit kemudian sakit kepala itu mereda bersamaan dengan Dokter Arfan yang kembali menelepon.
Kuperbaiki tatanan rambutku sebentar, duduk kembali di kursi kerja. Barulah ku geser tombol hijau yang langsung menampilkan wajah kakakku dengan kacamatanya.
"Pagi Qei, kamu kenapa lama angkatnya?"
"Pagi juga Dokter. Tadi saya terlalu sibuk dengan kerjaan jadinya tidak terlalu memperhatikan ponsel. Dokter masih dirumah?" kucoba mengalihkan pembicaraan, membahas hal lain.
"Kamu sudah di ruang kerja? Pagi banget kemarin masuknya sekitaran jam 8 gitu. Kamu ada janji sama orang lain?"
"Cuman pengen pagi saja,bumil mana? Biasanya selalu nempel?" suara tawa Dokter Arfan langsung terdengar,
"Lagi siap-siap, mau ikut sama aku ke rumah sakit. Harusnya kamu katanya yang menemaninya ke rumah sakit untuk check up kandungan tapi kamunya jauh, jadinya ikut aku aja. Disana nyaman?"
Rasa sakit kepalaku kembali datang jadinya kupasang mode kamera belakang menampilkan ruanganku pada dokter Arfan. Aku tidak berjalan, hanya memijat kepalaku dengan tangan satunya.
"Ruangan kamu malah lebih mirip kost-an, Qei. Biasanya kamu sukanya warna yang gelap dikit tapi kenapa ruangan yang ini agak cerah ya?" suaranya kembali terdengar membuat kewarasanku sedikit kembali.
"Kan cuman sementara disini, titip salam untuk Kena. Kalau ada waktu bawa kesini untuk jalan-jalan nanti aku bawa tempat nyaman di Jakarta, saya tutup teleponnya, Dokter."
"Baik, jaga kesehatanmu."
Kumatikan video call kami, aku menyimpan ponselku dengan suara begitu keras, tidak peduli layarnya akan retak atau tidak. Pandanganku buram, sebagian benda diruangan ini seperti bergoyang kesana kemari.
Ceklek.
Pintu ruangan terbuka, disana Lexion berdiri dengn tangan masih memegang knop pintu. Berjalan dengan cepat berdiri di sampingku, memelukku dengan erat.
"Kak Langit, aku capek." bisikku pelan membuat Lexion semakin mengeratkan pelukannya padaku.
"Kenapa harus aku?" lanjutku lagi, aku menangis dalam diam.
Butuh waktu 30 menit hingga aku berhenti menangis menarik diri dari pelukan Lexion, dia pasti lelah terlalu lama berdiri demi menungguku selesai menangis.
Masuk kedalam kamar mandi untuk membasuh wajah agar lebih segar,setelahnya kembali keluar dari kamar mandi. Aku memandang Lexion yang juga sedang memandangku, kami berpandangan cukup lama hingga ponsel Lexion berdering.
"Aku akan kembali keatas." ujarnya setelah mematikan sambungan teleponnya.
"Saya pernah tertembak."
Lexion membulatkan matanya tak percaya melihatku, aku tersenyum sebagai balasan.