7 - Sempurna

1810 Kata
"Untuk bagian tamannya, terkadang rame pas weekend bisa dikatakan banyak anak-anak kemari untuk sekedar bermain. disebelah hotel kan ada perumahan juga, mungkin sekitaran beberapa meter, mereka menjadikan tamannya sebagai tempat hiburan." Kutatap kumpulan anak-anak yang bermain, mereka spertinya bahagia sekali. "Kalau memungkinkan, mungkin anda bisa memberikan satu ruangan khusus untuk anak-anak didalam restoran untuk bermain nanti, jadinya peminatnya akan sangat banyak." Pegawai hotel ini benar, spertinya aku harus memberikan satu ruangan khusus anak-anak. "Nah, di bagian depan restoran mungkin anda bisa memberikan konsep bertema santai yang diperuntukkan untuk anak remaja, mengingat didepan sana ada mall besar." Mataku mengarah ke arah telunjuknya, disana sangat ramai penuh dengan remaja yang sedang jalan-jalan. "Restorannya punya berapa lantai?" Langkah kami terhenti, aku menoleh padanya. "Saya ingin memberikan dua lantai bagian restoran sedang untuk lantai tiga di khususkan tempat istirahatnya para pegawai dan ruang kerja atasan. Bisa dikatakan bagian dua lantai dibawahnya memang untuk restoran." Konsep ini belum aku bahas dengan Azura, mungkin besok aku akan ke perusahaan Jespara, menjelaskan konsepnya. "Bagian dalam lantai satu, mungkin bisa anda bagi menjadi dua bagian akan tetapi semuanya di peruntukkan untuk kalangan dewasa atau semacam orang yang suka ketenangan. 50% untuk bagian tanpa keributan, bisa dikatakan hening dan 50% untuk bebas dengan tema ala anak mahasiswa gitu atau pekerja magang." Jemariku sesekali menulis di buku sketsa yang aku bawa, sembari pegawai ini menjelaskan maka aku akan sesekali mencatat apa yang ia berikan sebagai saran. Pagi tadi, aku meminta tolong pada salah satu pegawai hotel dan mereka semua meminta perempuan disampingku untuk menemani. Katanya orang ini pengetahuannya luas, dan mengerti banyak konsep restoran. "Bisa di katakan, lantai satu ini memang benar-benar konsepnya santai sangat identik dengan dunia pekerja, ataupun untuk kumpulan mahasiswa yang sedang ingin nongkrong ataupun mengerjakan tugas. Pastinya restoran ini akan luas kan? Mana mungkin keluarga Jespara membuat sesuatu jika tidak sempurna?" Sempurna ya? Aku tersenyum menanggapi. Ya, keluarga itu memang selalu identik dengan kesempurnaan tetapi tak banyak orang yang tau jika keluarga itu penuh akan kekurangan. "Mungkin di bagian A, anda bisa menyediakan meja dan kursi yang nyaman malahan lebih ke sofa sih sebaiknya. Agar lebih santai, rileks, dan mengerjakan sesuatunya lebih gampang, setres jadi hilang. Mungkin anda lebih paham untuk pengecatannya." Pembahasan menarik, dari sini aku memahaminya. Tidak semua hal harus kita sendiri yang memutuskan, sesekali harus bisa mendengarkan sudut pandang orang lain. "Bagian B-nya. Mungkin anda bisa sediakan kursi kayu saja." "Bisa, jadinya nanti. Tangganya akan saya sediakan di luar untuk ke lantai duanya." "Benar sekali, duh senangnya bisa bicara langsung dengan orang seperti ini." "Kenapa kamu tidak bekerja sepertiku saja?" Dia berhenti melangkah, matanya berair, itu sangat jelas terlihat. "Saya mana bisa, diterima di hotel itu aja saya sudah bersyukur banget. Orangtua saya maunya anaknya jadi pengelola hotel katanya lebih berkelas daripada jadi desainer bangunan entah apa gunanya, katanya terlalu jauh dari mimpi mereka. Kenapa ya orangtua kadang lupa, anaknya punya mimpi sendiri bukan malah didesak untuk mewujudkan mimpi mereka." Cerita klise, sangat pasaran menurutku. Hal seperti ini sudah banyak terjadi. "Pengen memberontak tapi kasihan juga, mana bisa saya. Cuman bisa menerima dan sesekali membantu direktur mendesain kamar hotel yang baru." Aku kembali melangkah dan ia mengikuti, kalau bukan kamu yang membebaskan dirimu sendiri maka selamanya kamu akan terus di fase menyedihkan. "Kamu akan melihat bagaimana saranmu menjadi jadi." Dia pasti mengira aku akan menanggapi ceritanya padahal tidak, yang ingin kubahas dengannya adalah pekerjaan bukan cerita kesehariannya yang terdengar sangatlah menyedihkan. Tidak peduli, aku sangat tidak peduli bagaimana mereka diperlakukan, apa manfaatnya untukku? Mau kukasi saran pun akan percuma juga, dia yang memilih mengurung dirinya dalam egoisnya orangtua. "Menurut anda, sempurna itu apa?" "Sempurna? Kenapa tiba-tiba melenceng kesana?" tanyaku langsung, aku lebih suka menanyakan alasan daripada menunggu dijelaskan dengan teka teki. "Entahlah," jawabnya ambigu, begitu kentara keadannya sedang tidak baik-baik saja. "Kamu masuk saja, terimakasih sudah membantuku." Matanya menatapku tidak percaya,ada apa? Dia pastinya berharap aku kasihan padanya, begitu? Untuk apa aku kasihan pada orang asing? "Baik." Kuperhatikan langkahnya yang menjauh, aku tidak ingin dekat dengan siapapun. Yang perlu aku lakukan adalah hanyalah bekerja, menjalani hidup dan mencoba mencari tau dimana si Langit itu berada. Ku perhatikan tanah kosong di depanku, begitu luas. Akan ku perlihatkan pada Jespara apa arti kesempurnaan yang sesungguhnya melalui karyaku di proyek kali ini. Untuk apa aku mengemis padanya hanya demi kata sempurna, sangat tidak berguna sekali bukan? *** "Kamu yakin? Tidak salah orang?" "Saya mana mungkin salah orang tuan, dia adalah perempuan buta yang dulunya sangat dekat dengan tuan. Saat ini dia sedang berada di hotel milik Arfan, putra sulung Denta Jespara. Bukankah dulunya anda selalu dekat dengannya?" Ia termenung, tapi itu dulu. "Menurut salah satu pegawai hotel, dia sangat dekat dengan Arfan itu. Apakah menurut anda mereka berdua mempunyai hubungan? Tetapi setahuku beliau telah menikah, dan saat ini istrinya sedang mengandung." Tangannya mengepal erat, apa selama ini dia benar-benar bersandiwara? "Tapi Tu-" "Kamu keluar." "Maaf kalau saya lancang, dia pernah koma sebelumnya. Permisi Tuan," Napasnya berderu cepat, menatap pigura foto yang ada di sudut meja kerjanya. Apa harus sekarang? Tapi sudah selama ini, apa ingatannya masih ada tentangnya? "Apa menurut kamu senja itu Indah? Anak-anak selalu bilang padaku, senja katanya sangatlah cantik dan bisa memukau banyak orang. Apakah benar?" Ingatan yang cukup Bagus, mata hitam kelamnya menatap senja sore ini. Begitu cantik, apakah artinya perempuan itu sudah bisa melihat Senja? Apakah akhirnya ia bisa terhipnotis dengan orangenya sebuah semesta? "Aku selalu berharap, bisa bermain wahana bersama kamu, tapi sepertinya aku tidak bisa melakukanya. Aku catat, perempuan buta yang dibuang oleh keluarganya sendiri." "Apa kamu sudah bahagia Herlena? Kenapa setelah sekian lama akhir nya aku mengerti kalau kamu adalah keluarga Jespara?" bisiknya pelan, sangat pelan. "Tapi kenapa kamu mengkhianatiku, melaporkan tempat kami ke orang lain. Apa kebahagiaan dan kebaikan yang kuberikan padamu tidak cukup?" Ia terkekeh pelan, menatap tajam foto yang berjejer rapi. "Yang diluar." ujarnya tegas Bawahannya kembali masuk, menunggu tuannya mengatakan apa yang ingin dikatakan. "Dimana Qeila Purnamasari sekarang?" "Info terakhir, dia sedang mengadakan pertemuan dengan sekertaris Pak Detan." "Dimana?" "Di salah satu restoran, Tuan." "Segera siapkan mobil, kita kesana." "Baik Tuan." *** "Kamu langsung pulang." "Baik Tuan." Ia mengedarkan pandangannya, ternyata tempat ini ramai pengunjung dan kebanyakan kumpulan pertemuan antara klien. Memilih duduk di dekat jendela, 2 meja darinya ada Qeila yang sedang menjelaskan sesuatu dengan perempuan dihadapannya. "Kamu masih sama." gumamnya pelan, "tapi sayangnya, kamu telah mengkhianati saya." lanjutnya lagi, menatap Qeila lekat. Ditempatnya, Qeila menghentikan penjelasannya sejenak. Ia merasa sedang diamati oleh seseorang, tetapi setelah mengedarkan pandangannya tidak ada tatapan yang mengarah padanya, setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. "Ada apa Bu? Apa ada sesuatu?" "Tidak, saya lanjut kembali. Untuk bagian tangganya mungkin kita pilih yang sederhana saja mengingat bagian outdoornya sangatlah santai, kalem dan sederhana." kembali menunduk, menggeser beberapa bentuk tangga di tabnya. "Di map yang saya sodorkan, semuanya sudah saya lampirkan silahkan minta bagian anda untuk memilah pada yang cocok. Untuk bagian lantai dua, bentuk sofa, meja, warna-warna yang saya rekomendasikan sudah saya lampirkan juga. Silahkan dicek." "Baik Bu, saya cek dulu, takutnya Pak Detan tersinggung jika nantinya ada kesalahan soalnya beliau sangatlah pecinta kesempurnaan." Qeila memilih tidak menanggapi, ia tau, ada seseorang yang sejak tadi terus menatapnya. Tubuh Qeila mematung, disana. Ya disana. Terasa tidak asing tetapi siapa? "Kami akan mengadakan rapat pagi nanti,saya sedang terburu-buru, semoga hari anda menyenangkan bu Qeila." Azura dengan cepat membereskan berkas di meja, "Jangan terlalu cepat, bukankah atasan anda sangat membenci adanya kesalahan? Bagaimana responnya saat melihat kertas-kertas itu kusut?" pergerakan Azura terhenti, dengan hati-hati membereskan berkasnya, tersenyum ramah dan berlalu. Qeila menatap kepergian Azura dengan acuh, pakaiannya saja tidak rapi sama sekali dan itu yang mereka maksud dengan sempurna? Menyeruput secangkir coklatnya dan memanggil pelayan. Setelah membayar, Qeila membereskan tabnya memasukkanya kedalam tas jinjing kesayangannya. Hari ini ia akan kembali ke apartemen, menikmati ketenangan yang menurutnya paling sempurna di dunia ini. "Selamat sore bu Qeila?" ia mendongak, lakilaki ini sejak tadi mengamatinya. "Selamat sore juga, dengan pak?" "Lexion, panggil saja Lexi." "Selamat sore juga Pak Lexi." Keduanya saling berjabat tangan, ia tertegun sejenak. Apa dia benar-benar perempuan buta yang dulunya sangat dekat dengannya? Kenapa tatapannya berbeda sekali? Kenapa tidak berbinar lagi seperti dulu? "Saya lihat sejak tadi Pak Lexi tatapannya mengarah kesini terus, apa ada perlu?" tanya Qeila langsung. "Aku hanya penasaran bagaimana rupa Qeila Purnamasari yang katanya sangat berbakat itu, ternyata sangat profesional saat bekerja." Qeila tersenyum manis, membuat Lexi terpesona entah kesekian kalinya. Senyum itu yang membuatnya menahan rekannya untuk menjual Qeila 14 tahun lalu, padahal umurnya masih sangat belia saat itu. "Sayangnya keluargaku sendiri tidak menerimanya." gumaman yang sangat tetapi sayangnya masih Bisa Lexi dengarkan. "Maafkan atas ketidaksopanan saya Pak Lexi. Tapi saya harus segera kembali ke hotel mengambil barang-barang saya, permisi." ia berdiri, tersenyum manis sekali lagi pada pria didepannya. "Dan, suara anda menurutku sangat mirip dengan suara seseorang yang selama ini ingin kuketahui siapa dirinya, tapi kurasa pikiran saya yang melantur karena akhir-akhir ini ada beberapa bayangan yang datang tanpa henti, permisi." Qeila benar-benar melangkah pergi meninggalkan Lexi sendirian di meja tempatnya bertemu dengan Azura, sekertaris yang katanya sangat sempurna itu. "Hei! Aku dari kota dan membelikan beberapa minuman dan makanan untukmu. Ayo dimakan." "Adik cantik, kudapatkan boneka ini untukmu. Bagaimana? Empuk bukan? Bisa kamu jadikan bantal saat tertidur nanti." "Hahha, aku yakin andaikan kamu melihat wajahmu kurasa kamu akan ikut tertawa juga. Mukena itu sangat pas, sungguh cantik." Tepat disamping salah satu mobil Qeila menyandarkan badannya, kenapa ingatan-ingatan itu tiba-tiba saja datang? "Orang itu mana mungkin Langit kan?" tanyanya pada diri sendiri. Dengan kepala yang terasa masih pusing, Qeila mengeluarkan ponselnya berusaha menghubungi Dokter Arfan. Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau be- Qeila berdecak kesal, kenapa disaat-saat seperti ini Dokter itu malah tidak bisa dihubungi sama sekali? Padahal ia benar-benar membutuhkan bantuan sekarang. "Perlu bantuan?" Qeila menoleh kebelakang menemukan lakilaki yang tadi menyapanya. "Perlu bantuan adik kecil?" Ia dengan cepat memegang kepalanya, ingatan macam apa itu? "Pak Lexi?" "Ya, apa anda benar-benar membutuhkan bantuan? Mungkin saya bisa meminta supir untuk mengantar anda ke hotel yang ingin anda tuju." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Apa anda sebelumnya pernah begitu dekat dengan saya? Atau malahan seseorang yang selalu hadir dalam ingatan saya adalah anda? Suara kalian berdua benar-benar mirip bukan?" "Atau mu-" Ting. Ia berhenti berbicara, menunduk membaca pesan yang akhirnya berasal dari dokter super duper sibuk itu. Dokter Arfan. Ada apa? Qeila. Segera jemput aku di lokasi yang nantinya aku kirim, sekarang. Setelah mengirimkan lokasinya, Qeila kembali mendongak tetapi tidak ada laki-laki itu lagi. Padahal ia Menunduk tidak cukup semenit tetapi orangnya sudah pergi? "Mana mungkin dia Langit bukan? Mana mungkin seseorang yang menghilang selama 2 tahun ini datang dengan penampilan mewah seperti itu. Bukankah di dalam ingatanku Langit tinggal bersama kami di markas?" Yakin sekali, orang itu mana mungkin Langit. Mungkin dirinya lah yang terlalu melebih-lebihkan suasana yang harusnya tetap dianggap santai. Lagian suara orang kadang mempunyai kesamaan tidak semuanya harus dianggap dialah orangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN