"Anda punya masalah apa? Qeila tidak pernah menampakkan dirinya didepan publik dengan Jespara, lalu kenapa mengusiknya?" Ameera tertawa kecil, berjalan dengan anggun serta suara sepatu tingginya yang menggema.
"Dia melaporkan apa padamu hm? Apa dia mengatakan bunda mengusiknya? Apa dia begitu takut menghadapiku?" ujar Ameera Santai, duduk disofa kebesarannya dengan gaya anggun, tipikal perempuan sosialita.
Arfan menatap Ameera dengan kebencian yang begitu mendalam, takdir macam apa yang ia punya sehingga mempunyai keluarga segila ini?
"Dia berlagak anggun didepan klien padahal dulunya dia begitu cacat. Hanya karena belas kasih seseorang akhirnya dia bisa melihat, dimata bunda. Dia adalah Herlena yang cacat permanen," dengan suara tenangnya Ameera kembali bersuara.
"Kalau memang anda tidak ingin mengakui nya maka berhenti mengganggunya. Selama 2 tahun ini Qeila tidak pernah menganggu keharmonisan serta kesempurnaan keluarga anda ini. Dia hidup dengan caranya sendiri, tidak pernah sekalipun memimpikan berdiri diantara kalian,"
Masih dengan jas dokternya Arfan berdiri dari duduknya, "hotel itu masih atas namaku karena sebagian orang tak mau aku melepaskannya. Herlina hanyalah patung yang tidak bisa melakukan apapun," calon ayah itu membersihkan kursi bekas duduknya tadi.
"Saya permisi Nyonya Ameera yang terhormat, silahkan junjung tinggi apapun yang anda pahami. Sekali lagi anda mengusik ketenangan adik saya, Qeila. Maka saya tidak akan tinggal diam," ada nada tekanan di akhir ucapan,
Ia membungkukan badannya selama 3 detik setelahnya berjalan keluar dengan badan tegak.
"Kamu menganggu bunda lagi?" langkah Arfan terhenti, ternyata mantan adiknya yang menyapa.
Arfan berjalan ke arahnya, "kemarin saya bertemu dengan ibu kandung bayimu, dia menyapa Qeila, adik tercintaku." bisiknya tepat di telinga Herlina,
"Yang catat sebenarnya adalah kamu tapi sayangnya mereka semua terlalu buta, jangan mengacau kalau kamu berani melewati batas maka saya juga akan melewati batas, membeberkan penipuan terbesarmu, mantan adikku tersayang."
Memundurkan langkahnya ke belakang Arfan menepuk pundak Herlina dua kali, mengusap pipi bayi kecil yang ada gendongannya. "Kasihan sekali bayi tidak berdosa ini, takdirnya begitu buruk," Arfan menaikkan alisnya sebelah kemudian terkekeh, Herlina hanya mematung menatapnya kosong.
Tentu Herlina tidak menyangka kedoknya selama bertahun-tahun diketahui orang apalagi kakaknya sendiri, selama ini Herlina berusaha menyembunyikan semuanya.
Arfan tertawa terbahak-bahak, suaranya cukup keras. Berjalan keluar dengan langkah santai, setidaknya Herlina tidak akan menganggu keseharian Qeila.
Keluarga ini benar-benar gila,
***
"Atas nama siapa Bu?"
"Qeila Purnamasari,"
"Silahkan, kamar 404 dilantai 4. Terimakasih."
"Terimakasih kembali,"
Dengan suara sepatu yang saling bersahutan aku berjalan menuju kamar hotel, saat ini aku sedang check-in di hotel yang Azura maksud untuk meninjau langsung lokasinya, Untuk 3 hari kedepan.
Pertama masuk tadi aku langsung tau ini milik Arfan, dari segi warna sangat Arfan sekali. Perpaduan coklat tua dan abu-abu itu adalah warna favorit Dokter suka mengatur itu.
Kebanyakan hotel identik dengan cat berwarna putih tetapi Arfan berani mengambil warna lain, pintu lift terbuka aku langsung berjalan santai menuju kamar yang resepsionis sebutkan tadi, kamar 404.
Kamar yang cantik, tapi warna spraynya kurang menarik dimataku, biru laut? Really?
"Halo Mba,"
"..."
"Tolong spray di kamar 404 diganti jangan warna biru laut."
"..."
"Okey, saya tunggu."
Kesalahan teknis katanya atau memang disengaja atas suruhan Detan gila itu? Tidak mau terlalu memusingkan aku berjalan keluar kamar untuk berkeliling mencari-cari ide untuk awal sketsa nantinya.
"Ku dengar dari pegawai yang lain orang menempati kamar 404 itu adiknya dokter Arfan, berarti keluarga Jespara dong?"
Ah, gosip lagi.
"Mungkin iya, tapi yang bertugas di bagian depan tadi bilang kalau namanya engga ada nama Jespara di belakangnya mungkin saja itu adiknya Mba Kena, istrinya Dokter Arfan."
"Bisa jadi."
Kenapa orang-orang begitu gemar membicarakan orang lain? Padahal aku selalu berharap mereka memperhatikan dirinya sendiri. Lihatlah pegawai yang berkata tadi, bajunya terlalu ketat seolah siap menggoda tamu hotel.
Terus yang pegawai yang ada disampingnya, lihatlah. Bibirnya terlalu mencolok seolah mengundang semua orang menatap kearah sana, rasanya menyebalkan berada di tempat yang begitu membosankan.
Mataku sedikit tertarik menatap gazebo kecil disamping Hotel, ada rumah-rumahan kecil disana.
"Herlena, aku membangun rumah-rumahan di pohon dekat sungai, tempatmu biasa mencuci pakaian. Kamu ingin melihatnya?"
"Apakah cantik?"
"Tentu saja, kemarin giliranku untuk keluar membawa anak dan aku mampir membeli lampu juga."
"Lampu? Apakah lampunya warna warni?"
"Tentu saja."
"Aku sangat ingin melihatnya, tapi sayangnya mataku tidak berfungsi sama sekali."
"Tidak papa, aku sangat yakin kamu akan melihat suatu hari nanti."
"Terimakasih,"
Langkah kakiku terhenti, kilasan tak diinginkan itu datang tanpa ku beri izin sama sekali. Siapa laki-laki yang membuatkan rumah pohon untukku? Apakah dia Langit?
"Halo Nyonya Qeila," aku berbalik menemukan adik iparku, Keylan. Boneka Herlina.
"Kemarin aku bertemu dengan istrimu, dia sungguh merindukan bayi kecilnya," tipikal langsung pada intinya itulah aku sekarang, untuk apa berbasa-basi?
"Dia perempuan bercadar dan sangat taat agama sepertinya. Jangan terlalu mau di perbudak oleh Herlina si catat itu, berlagak sempurna padahal kekurangannya sangat fatal,"
Kulanjutkan perjalananku, ahh aku baru ingat. Kemarin Azura mengirimkan email padaku, Keylan Fernandes adalah orang yang ditunjuk Detan untuk mengelola hotel ini.
"Darimana kamu tau soal itu?" ternyata dia masih mengejarku ya? Mungkin kaget.
"Ada apa? Apa kamu merasa terancam karena aku mengetahui faktanya? Padahal aku hanya membahasnya denganmu tapi kenapa tanganmu gemetar begitu?" aku bercanda, tangannya tidak gemetar malahan faktanya tangannya terkepal erat.
"Aku merasa kasihan denganmu adik iparku, padahal jika dilihat dari segi kekayaan kamu punya segalanya lalu kenapa ya mau dijadikan boneka?"
"Upss... Sorry. Aku kelepasan bicara," aku memperlihatkan senyum bersalahku tapi tentunya Keylan mengerti itu hanya sekedar formalitas.
"Apa yang dia katakan padamu?" Keynan duduk didekatku, menatap danau buatan didepan sana. Dia mempercayai ku?
"Kamu bisa menolongku andaikan kamu ingin tapi nyatanya kamu memilih menyibukkan dirimu dengan menjadi sempurna, anakku diambil paksa oleh kembaranmu."
Keylan, dia tertawa miris. Kasihan sekali,
"Aku kasihan dengannya," jujurku, sebenarnya aku tidak ingin ikut campur tapi perempuan itu pasti merasa hancur. Dua kali melahirkan tetapi anaknya diambil paksa oleh perempuan gila itu yang tak lain adalah adiknya sendiri.
"Memangnya ada yang bisa aku lakukan untuk mengakhiri semua ini?" Aku tertawa sumbang, laki-laki lemah.
"Tidak istri tidak suaminya semuanya mengganggu adikku."
Dokter Arfan ini memang sangat posesif sekarang, harusnya tetap tenang.
Keylan berlalu, biarlah.
"Apa dia mengancammu? Apa dia melukaimu?" aku memutar bola mataku malas mendengar pertanyaan itu.
"Mending dokter pulang daripada menganggu waktuku disini, aku disini untuk bekerja bukan untuk reuni dengan keluarga gila itu," kataku malas, memilih membaringkan badan saja di rumah-rumahan sederhana ini.
"Aku barusan dari rumah Jespara, meminta Ameera untuk tidak menggangumu, mengancam Herlina agar tidak keluar dari zona nyamannya." tidak tertarik, aku tidak tertarik dengan pembahasan itu.
"Kena memintaku kemari, untuk apa kamu kesini?"
"Apa rumah sakit kelebihan dokter? Kenapa dokternya ada disini bersantai malahan." kudengar suara tawa Dokter Arfan, padahal tidak ada yang lucu.
"Pertanyaanku belum kamu jawab,"
Aku memilih tidak menjawab, mataku malahan fokus melihat awan yang begitu cantik. Bandung sedang cerah hari ini, menemani mereka yang begitu bersemangat mencari uang kesana kemari.
"Kamu benar-benar menerima kerjasama perusahaan Jespara?" inilah alasanku tidak menjawab pertanyaannya tadi, sudah tau jawabannya tapi tetap bertanya.
"Pegawai hotel mengira aku adalah adiknya Kena."
"Oh ya? Bukan sebagai adikku?"
Dengan mata masih memandang langit aku menggeleng, "bukan, yang mereka tau kan adikmu hanyalah Herlina bukan saya."
"Dimana Langit sebenarnya," mataku melirik kearah Dokter Arfan, dia tidak menanggapi perkataanku sama sekali.
"Mungkin Langit sudah melupakanmu," dengan gerakan cepat aku menatap Dokter Arfan, untuk pertama kalinya dia menanggapi ucapanku.
"Dia siapaku?"
Tanpa mengatakan apapun Dokter Arfan berlalu, masuk kedalam hotel meninggalkanku sendirian di rumah-rumahan.
"Tidak ada yang tau bagaimana masa depan kita Herlena, tapi aku berharap kamu masih bersamaku terus menerus."
Kilasan itu lagi, aku memegang kepalaku yang terasa sangat sakit,
"Katakan dengan jelas, lo kan yang membocorkan tempat ini?"
"Bu-bukan... Aku tidak melakukan apapun. Langit, aku engga tau apapun. Tolong,"
"Langit? Hahaha, dia engga bakal percaya. Mau lo nangis darah sekalipun dia engga mau mau nolongin. Dasar munafik, jangan-jangan lo cuma pura-pura buta?"
"Engga, engga. Aku engga tau apapun. Ku mohon... Hiks tolong."
Plak Plak.
"Perempuan tidak tau diuntung."
"Qeila? Qeila? Hey! Kamu kenapa?"
Sayup-sayup suara Dokter Arfan terdengar tetapi tiba-tiba saja semuanya terasa gelap, rasa sakit dikepalaku begitu terasa.
***
"Apakah menurutmu Bintang sangatlah cantik? Karena menurut cerita anak-anak padaku mereka selalu mengatakan Bintang sangat cantik. Mereka bilang, Bintang sangatlah lucu, bersinar sangat terang."
"Menurutku, Bintang hanya sekedar hiasan langit saja."
"Berarti Bintang yang menjadi hiasanmu siapa? Bukankah namamu langit?"
"Hmm, bagaimana kalau kamu saja yang menjadi bintangku?"
"Aku? Haha, kamu bisa saja."
"Namaku kan Langit."
"Langit?"
"Qeila? Kamu tidak papa?" suasana hotel langsung menyambutku, sinar matahari begitu terik.
Aku mengedarkan pandangan ternyata masih di kamar hotel, mataku menatap sprei ranjang hotel ternyata sudah diganti.
"Qeila? Kamu kenapa tadi? Jangan membuatku gila karena keadaanmu yang seperti ini." merasa jengah dengan pertanyaan dokter satu ini, aku bangun menatapnya jengah.
"Berhenti menanyaiku hal yang tidak perlu, sana keluar aku ingin berganti pakaian." ketusku, aku menariknya berdiri dan mendorongnya keluar kamar, dasar dokter kurang kerjaan.
Tanpa menunggu apa yang dokter itu gumamkan, aku menutup pintu kamar hotel dengan cukup keras. Memilih membersihkan diri dan berganti pakaian, aku akan mencari restoran dekat sini.
***
Arfan menatap pintu kamar hotel adiknya dengan pandangan khawatir, apa ia harus ikut bermalam juga disini? Tapi Qeila akan semakin tidak suka dan menanggap Arfan begitu posesif padanya.
Sebaiknya ia pergi ke meja kasir saja menanyakan langsung kepada mereka apa saja kegiatan Qeila sesampainya disini sejak beberapa jam lalu, keadaan hotel ini masih sama seperti sebelumnya yang berbeda paling penataan kamarnya yang tidak elegan sama sekali.
"Bu Qeila hanya beberapa hari disini, palingan untuk melihat-lihat."
Arfan meninggalkan meja resepsionis, kenapa adiknya begitu keras kepala? Kenapa harus berurusan dengan segala Keluarga gila kesempurnaan itu? Bisa sajakan adiknya cukup menjalani kesehariannya tidak perlu seperti ini.
"Hai kakak ipar,"
Arfan menatap murka kearah adik iparnya, "hai juga bonekanya adikku, kenapa anda tidak berani untuk mengungkapkannya? Bukankah bagi anda untuk memperlihatkan pada dunia bahwasanya hubungan kalian tidak berjalan baik?" sapanya ramah,
Keylan tertawa miris, kenapa tidak ada yang mengerti posisinya sama sekali?
"Sebenarnya mudah bagi kita, harusnya kamu bisa tapi kamu lebih memilih pandangan daripada jatidiri anakmu sendiri." setelah mengatakan itu Arfan pergi meninggalkan Keylan yang mematung ditempatnya.
Arfan tidak ingin ikut campur dengan urusan mereka, yang paling penting baginya adalah adiknya tetap aman dari keluarga gila itu. Haruskah Arfan mengambil alih hotel ini untuk beberapa hari kedepan untuk mengawasi adiknya?