Sepertinya cuaca memang dalam musim hujan, sudah beberapa kali aku menemukan rintikan itu datang dengan derasnya. Kepalaku masih sakit, beberapa kilasan masing datang seiring waktu.
"Kena memaksaku untuk membawamu datang kerumah, disana ada Kena yang bisa menemanimu. Keadaanmu sedang tidak baik-baik saja, Qei."
Mataku terpejam, kenapa rasa sakit ini makin terasa sekali? Siapa sebenarnya lakilaki itu?
"Kamu kenal Lexion?" tanyaku, tidak memperdulikan perkataannya sebelumnya.
"Lexion? Indonesia itu luas, dunia itu banyak. Kamu yakin menanyakan satu nama padaku hanya dengan satu suku kata tanpa marga hal lainnya?"
Itu benar, lagian jika dilihat dari penampilannya spertinya orang tadi itu pengusaha terkenal, hanya saja dia hanya menyebutkan satu namanya saja bukan versi lengkapnya.
"Suaranya mirip dengan Langit." gumamku yang langsung disambut helaan napas panjang oleh Arfan,
"Kamu tidak terlalu mengingat bagaimana suaranya, bisa saja hanya itu asal mencocokkan saja. Mana mungkin dia datang padamu dia sudah membuangmu sejak lama, bukankah kamu memiliki ingatan tentangnya? Dan pastinya hanya kamu yang tau jawabannya bukan?"
Kubuka pejaman mataku, Arfan benar.
"Akhir-akhir ini kamu terlalu memaksakan dirimu jalan kesana kemari tanpa istirahat total, ingat! Sebelumnya kamu hanya bekerja didalam ruangan dan ini pertama kalinya bagimu bekerja diluar, kali ini aku ingin kamu dirumah tanpa bantahan sama sekali."
Jejeran pohon yang begitu cantik, aku hanya penasaran bagaimana aku dulu mengingat dulunya mataku tidak berfungsi sama sekali. Ya, dia bukan Langit. Didalam ingatan samar-samar itu Langit spertinya begitu membenciku dipertemuan terakhir, jadi mana mungkin orang tadi adalah Langit yang selama ini kucari.
"Terkadang, ada beberapa orang yang selalu kita samakan dengan dia padahal kenyataannya dia bukanlah dia. Hanya orang lewat yang kebetulan memiliki kemiripan dengannya. Itu salah satu penyebab mengapa orang selingkuh dari pasangannya,"
Tidak perlu kutanggapi, aku membenci hal tidak penting itu.
Ameera, satu nama itu yang harus kubuat mengakui keberadaanku. Akan kubuat dia menangis terisak didepan lututku sambil terus menggumamkan kata Maaf beribu kali. Rasa sakit, trauma, mimpi-mimpi menyeramkan dan bayangan semu berkepanjangan. Semuanya harus ia bayar lunas tak tersisa.
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Baik, Azura sudah mendengarkan konsep yang aku inginkan dan itu usulan dari salah satu pegawaimu yang ada disana. Kurasa hidupnya sangatlah menyedihkan, kasihan sekali."
Aku tertawa, dia memang sangat kasihan.
"Jangan terlalu abai sekitarmu, Qei. Suatu hari nanti kamu ingin membutuhkan bantuan tetapi mereka malah memalingkan wajahnya darimu karena disebabkan sikapmu kepada mereka dulu. Semandiri apapun kita selama ini, kita tetap membutuhkan manusia untuk melanjutkan perjalanan."
Lagi dan lagi tidak kubalas.
Manusia-manusia diluar sana tidak ada yang punya rasa syukur. Maunya terus serakah, egois, dan terus menerus hidup dengan tekanan obsesinya sendiri. Bersikap seolah-olah takdir yang menuntutnya banyak hal padahal dia sendiri yang membuat dirinya sendiri berada di titik itu.
"Menurutmu, apa Kena bisa bersamaku selamanya?"
Aku tertawa pelan, pertanyaan macam apa itu?
"Aku hanya merasa takut, apalagi Kena hanya terpesona dengan ketampananku sejak awal dan juga profesiku. Aku mengajaknya menikah hanya karena aku ingin memilki jalan pulang."
"Lepaskan kalau kamu ragu, lebih baik menyakiti sejak awal daripada menanamkan luka padanya yang akan ia simpan selamanya. Kamu tidak tau bagaimana jahatnya perempuan ketika dia memilih menjauh dan melupakan, kamu tidak tau bagaimana jahatnya mereka saat mereka mengatakan ingin melupakan tanpa adanya kembali, jangan menyentuh titik mengerikan itu."
"Aku percaya padanya, aku hanya takut sesuatu malah membuatnya tidak betah."
"Kukatakan berhenti jika kamu ragu." tidak ada suara lagi,
Sebenarnya aku sangat tau, dia ini sangat mencintai istrinya hanya saja takut jika semuanya malah gagal karena kecerobohannya. Tetapi untuk apa aku peduli? Sangat tidak penting untuk dipikirkan bukan?
Mobil terhenti tepat didepan halaman rumahnya, terlihat Kena menyambut kami dengan senyuman senangnya, aku menatap Arfan yang juga tersenyum menatap istrinya.
Terkadang, manusia lupa segalanya jika sudah disangkut pautkan dengan Cinta seperti orang disampingku saat ini.
"Kepalanya masih sakit?" sebuah penyambutan yang luar biasa.
"Kamu tinggal disini dulu ya,temenin aku juga. Akhir-akhir ini Arfan sibuk banget di luar, yuk masuk." aku menoleh pada Arfan sekilas dan dia meringis pelan, perempuan ini yang ia ragukan? Membuang pikiran saja.
"Kenapa sih harus kerjasama dengan mereka, belum cukup sebulan kamu sudah terdengar sakit. Putuskan kerjasama aja ya? Arfan pasti engga keberatan bayar dendanya, bisa kan?"
Kubalas dengan gelengan, kerja ya kerja, lagian mereka tidak akan pernah mempengaruhi apapun.
"Mereka berdua memang kakak adik, sama-sama keras kepala." gumanan itu masih kudengar dengan jelas, aku memilih masuk kamar yang selalu diperuntukkan untukku, istirahat.
"Kamu pikir kamu siapa hah? Jangan karena Langit selalu membelamu selama ini jadinya kamu semena-mena."
Pejaman mataku terbuka dengan cepat, apa tadi? Kenapa wajahku terlihat sangat menyedihkan.
Aku duduk dengan cepat, ini pertama kalinya semuanya jelas terlihat. Rambutku ditarik, wajahku didongakkan, apa itu? Aku disiksa?
Kupegang erat kedua sisi kepalaku, kenapa sakit sekali? Dan tiba-tiba saja semuanya gelap.
***
"Jangan pernah ada yang mengungkit nama Herlena di keluarga kita ini, aku tidak menyukainya, sangat dan sangat tidak menyukainya."
Setelah mengatakan itu Detan berlalu, beberapa jam lalu ia mengadakan rapat untuk restoran terbarunya dan semua perusahaan yang diajaknya bekerja sama memuji perempuan gagal itu, sekalipun seluruh dunia mengatainya sempurna tetapi menurutnya dia adalah kegagalan paling fatal di dunia ini.
Ameera menatap kepergian suaminya dengan wajah lelah, ya seharusnya. Seharusnya ia membunuh anak itu dulu bukan malah mengasihinya dan membiarkannya hidup hingga sekarang.
"Ditempat ini terdapat transaksi diluar nalar, aku ingin pihak kepolisian menggeledahnya hingga batas akhir. Ini alamatnya, jika terus menerus dibiarkan maka akan memakan banyak korban."
Ameera tertawa, kenapa juga ia harus melakukan itu semua? Seharusnya ia tetap membiarkan itu semua terjadi, membiarkan anak gagal itu terjual dan hidup di dunia gelap selamanya. Andaikan nalurinya sebagai ibu tidak datang, maka anak gagal itu tetap pada tempatnya bukan malah membuat keluarganya seperti sekarang ini.
Hidupnya pasti akan terus aman, akan terus baik-baik saja andaikan anak gagal itu masih berada di tempat itu. Tetap buta, menjadi pembantu seumur hidupnya disana.
"Mommy? Ada yang salah? Kenapa wajah mommy sperti melakukan kesalahan? Bukankah kita hidup aman selama ini?" lamunan Ameera buyar, tersenyum manis menatap Putri paling sempurnanya. Putri yang membuatnya dipandang sempurna hingga sekarang.
"Kamu jangan sampai mengecewakan kami, Herlina. Kamu adalah kesempurnaan yang tidak boleh patah suatu hari nanti." ujarnya manis, sangat manis hingga membuat tangan Herlina bergetar di bawah meja.
"Mommy masuk kamar dulu, istirahat." ia meraih tas mahalnya, sepatunya menggema seiring langkahnya yang menjauh.
Herlina menangis dalam diam, menumpukan dahinya di meja makan. Kalau boleh jujur, ia lelah dituntut sempurna padahal aslinya dialah yang paling gagal Diantar ke tiga saudaranya.
Kenapa adiknya harus buta?
Kenapa ia harus di vonis tidak bisa memiliki anak seumur hidupnya?
Kenapa Arfan lebih memilih dia daripada dirinya?
Herlina tersentak kaget, dengan cepat mendongak dengan mata berair.
"Ini aku. Jika ingin menangis maka masuklah dalam kamar takutnya mama dan papa melihatmu dan malah menjadi malapetaka. Anak-anak sudah tidur dan makan malam, baby sitter barusan memberitahuku."
Dengan tubuh lemah, Herlina memegang kedua tangan suaminya. Keduanya berjalan memasuki kamarnya yang langsung di rambut ranjang besar, tapi tak banyak yang tau di sudut kamar terdapat pintu, dan disanalah Keylan tinggal dan tidur.
"Aku bukannya melarangmu menangis, hanya saja perhatikan sekitarmu. Kamu tau bagaimana papa jika mengetahui semuanya bukan?" Keylan mendudukan istrinya dipinggir ranjang, berlutut depannya dan menghapus jejak airmatanya.
"Aku yang gagal bukan Dia." Keylan hanya mengangguk, inilah salah satu alasannya kenapa masih bertahan. Hanya dia yang tau kelemahannya, hanya dia yang tau siapa Herlina yang sebenarnya.
"Aku merenggut anaknya, aku membuatnya terlihat menyedihkan." lanjutnya lagi.
"Tapi mereka tidak tau bagaimana kamu berusaha membuat anak-anak kita nyaman, mereka tidak tau betapa kamu sangat menyayanginya selayaknya anakmu sendiri. Tenanglah, aku akan menutupinya dengan baik."
Herlina kembali menangis, suara tangisnya menggema begitu keras.
"Bersabarlah, aku akan berusaha menampilkan yang terbaik."
Perempuan itu masih menangis.
"Istirahat, nanti malam akan ada pertemuan bisnis dan pastinya papa tidak mau melihat matamu membengkak."
Keylan berdiri, "apa aku mati saja?" alarm bahaya langsung ada dalam pikiran Keylan. Berbalik cepat dan memeluk istrinya. Tanpa sepengetahuan istrinya, ia membuka laci kecil dan meraih suntikan, menyuntikkan dengan cepat melalui lengan Herlina. Perlahan, Herlina tertidur membuat Keylan bernapas lega.
Meraih ponsel, "bawa kompres dan urus mata bengkaknya." setelah mematikan sambungan telepon, Keylan berjalan masuk kedalam kamarnya berbaring di ranjangnya.
Sejak dinyatakan tidak bisa memilki anak, Herlina menggila, hanya Keylan dan pengasuh anaknya yang tau tentang hal ini. Keylan tidak tau sejauh mana ia bisa menyembunyikan semua ini tetapi pastinya ia selalu berharap bisa selamanya.
Banyak hal yang bisa membuatnya bercerai, Tetapi rasa kasihannya sangatlah besar, bagaiamana jika Herlina lepas kendali dan tidak ada dirinya disampingnya? Bagaimana bisa mengatasi semuanya?
***
"Amnesia?"
"Beliau sempat koma selama sebulan dan bangun dalam keadaan tidak mengingat apapun. Tetapi akhir-akhir ini ingatannya perlahan datang, sperti kemarin saat bersama anda, Tuan."
Lexi merenung, apa mereka benar-benar menyiksa Herlena? Tetapi ini juga salah perempuan itu kenapa melaporkan keberadaan markas hingga semuanya terungkap.
"Yang menolongnya adalah Arfan, atau bisa dikatakan saudaranya sendiri. Membantunya mendapatkan pendidikan, hingga menjadi seperti sekarang. Arfan malahan meninggalkan rumahnya demi bersama adiknya."
Lexi mengerutkan keningnya bingung.
Seolah mengerti, bawahannya kembali melanjutkan informasinya.
"Detan Jespara, sangat membenci beliau karena terlahir buta tidak seperti kembarannya yaitu Herlina. Ameera membuangnya saat ia masih sangat kecil hingga akhirnya ia bertemu dengan anda. Saat ini namanya adalah Qeila Purnamasari bukan Herlena Jespara."
Lexi mengibaskan tangannya membuat bawahannya keluar, ia tidak tau jika ternyata kehidupan Herlena cukup menyedihkan juga. Tapi tidak bisa memaafkan pengkhianatan yang Herlena lakukan padanya.
"Maafkan atas kelancangan saya Tuan, sebentar lagi akan ada meeting."
"Tunggu sebentar." sekertarisnya akan keluar tetapi tertunda.
"Apakah restoran yang akan dibangun sudah memiliki arsitek?"
"Belum Tuan."
"Yakinkan semua orang jika hanya Qeila yang pantas mengurusnya dan buat Qeila menerima kerjasama ini, kalau perlu berikan dia bayaran yang sangat besar. Harus bisa,"
"Akan saya usahakan Tuan, sebisa saya."
Sekertarisnya keluar, meninggalakan Lexi sendirian didalam sana.
"Hahaha, benarkah? Apa aku sungguh cantik?"
"Iya, apa menurutmu aku sangat tampan?"
"Hm hm, aku sungguh yakin kalau kamu itu tampan malahan sangat tampan. Menurutku ketampanan seorang laki-laki bukan dari tampangnya tapi dari caranya memperlakukan seorang wanita."
"Herlena."
"Kenapa kak Langit?"
"Kalau nantinya kamu mendapatkan kebebasan ataupun bisa keluar dari sini. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu mempunyai mimpi yang sangat besar?"
"Hahaha, apa yang perempuan buta inginkan kecuali ingin melihat dunia yang begitu luas? Apa yang aku inginkan? Palingan aku hanya ingin menikmati betapa bebasnya jiwaku."
"Apa kamu menginginkan kemewahan? Harta yang berlimpah? Atau pakaian yang begitu cantik?"
"Tentunya tidak kak Langit, aku ingin kebebasan. Menjadi diriku sendiri, memberikan tempat berteduh untuk banyak orang, membangun bangunan yang sangat cantik untuk mereka semua. Bukankah sejak dulu aku suka menggambar? Walaupun aku sendiri bingung apa yang aku gambar."
"Kamu tidak ingin sembuh dari buta?"
"Ingin, begitu ingin. Tapi banyak yang mengatakan ada baiknya kita melihat kegelapan selamanya daripada harus melihat dunia yang terkesan menyeramkan, bisa membuat lupa diri dan tidak bersyukur lagi."
"Menikah? Memangnya kamu tidak ingin menikah?"
"Hahah, memangnya ada yang mau menikah dengan perempuan buta sepertiku? Pastinya aku ingin menikah, hanya saja aku tau diri sendiri. Buta adalah penghalangku sudahlah! Aku ingin menyiapkan makanan. Terimakasih bunganya kak Langit, aku semakin penasaran bagaimana bentuk bunga."
Lexi tertawa pelan, kenapa kenangan begitu menyenangkan? Perbedaan sikap yang begitu mencolok. Lexi Lebih suka melihat mata Herlena saat buta daripada harus melihat tetapi dengan mata kosong tanpa kehidupan seperti itu.
"Kenapa harus ada pengkhianatan diantara kita?" gumamnya, "bagaimana reaksimu kalau tau aku adalah seseorang itu, seseorang yang selama 12 tahun lamanya ada disampingmu. Apa dan bagaimana kamu menanggapinya?" lanjutnya, menatap foto Herlena yang selalu ia pajang setiap tahunnya.
Penampilan yang sangat sederhana, dan senyum yang begitu tulus tanpa kemunafikan sama sekali. Lalu apa yang terjadi hingga membuatnya berubah seperti sekarang ini?
Tawa yang begitu lepas.
"Mari kita memulai semuanya dari awal, melihat bagaimana ingatanmu memproses keberadaanku disekelilingmu."
Ia mengambil foto Herlena, menatapnya sendu selama beberapa detik dan kembali menatapnya tajam. Mungkin harusnya Lexi bertanya, tapi bagaimana caranya ia bertanya jika orangnya sendiri malah lupa dengan masa lalunya.
Semuanya sudah jelas, rekannya mana mungkin membuat Herlena koma dan berakhir mengerikan andaikan bukan Helrena pelakunya. Andaikan Herlena tidak melakukannya pastinya sekarang ia dan Herlena sedang berbincang santai sembari menunggu waktu makan siang.
Lexi merindukan suara tawa Herlena, caranya berbicara yang begitu semangat tanpa merasa lelah. Padahal katanya, Herlena tidak menginginkan kebebasan lalu untuk apa ia melaporkan? Lagian selama ini Herlena selalu curhat padanya lalu apa yang ia sembunyikan?
Lexi memejamkan matanya, kenapa dunia selalu saja tidak adil?