Tragedy on journey

1262 Kata
    Pagi hari yang kala itu cerah membuat Abraham begitu antusias untuk melukis pemandangan di atas menara Kerajaan, tentunya bersama dengan kelima calon kepercayaan yang selalu menyertainya sejak dua tahun yang lalu.   “jujur saja, sebenarnya aku benci jika aktivitasku yang satu ini di pantau oleh kalian semua” gumam Abraham, tangan kanannya masih sibuk menggoreskan kuas berwarna biru langit ke permukaan kanvas yang sebelumnya telah di berikan gambaran dasar oleh dirinya. Dari sekian banyak gumaman yang Abraham lontarkan, namun kelima orang dari mereka tidak menggubrisnya dan tetap menyertainya di atas menara tersebut.   Hening …   Tak ada satu pun dari mereka yang angkat bicara, hingga akhirnya keheningan itu terpecahkan oleh datangnya salah seorang Prajurit. “maaf Pangeran Ab, saya datang atas perintah Baginda Raja” perkataan sang Prajurit membuat kelima orang yang senantiasa menyertainya itu menoleh menatapnya yang kini sedikit membungkuk untuk memberi hormat padanya, “apa yang ia perintahkan padamu?” diliriknya sang Prajurit dengan ujung matanya, dan ia kembali menggoreskan kuasnya ke atas kanvas miliknya yang sempat terhenti, “anda diperintahkan untuk menghadap Baginda Raja sesegera mungkin, Pangeran. Begitu pula calon kepercayaan anda” dan jawaban dari sang prajurit saat ini membuat Abraham kembali menghentika pergerakannya dan menoleh menatap sang prajurit, “seluruhnya?” tanya Abraham masih menatap sang Prajurit yang kini menganggukkan kepala seraya berucap, “seluruhnya” penjelasan sang Prajurit membuat Abraham mengerutkan dahinya, karena sebelumnya ia tak pernah diperintahkan untuk menghadap sang Raja seperti saat ini.   Sebuah pintu portal terbuka di tengah lorong yang mengarah ke ruang utama Raja dan itu adalah portal silver milik Rezen, yang kini mengantarkan Abraham beserta kelima kepercayaan lainnya untuk kemudian menelusuri lorong tersebut. Langkah kaki tegap seorang pangeran beserta kelima calon kepercayaan di sana, terlihat begitu elegan hingga memberikan kesan sekumpulan anak lelaki gagah yang tengah berjalan memasuki ruang Raja, Abraham menghentikan langkahnya begitu ia mendapati pintu besar yang tertutup rapat dan di jaga oleh dua Prajurit di setiap sisi pintunya, “bukakan pintu, Saya diperintahkan Baginda untuk menghadapnya bersama dengan kelima calon kepercayaan saya” layaknya mengucapkan sebuah kode pass, membuat kedua prajurit itu membuka pintu tersebut dan mempersilahkan mereka semua masuk ke dalam dan menghadap sang Raja. “aku datang atas perintahmu, baginda Raja” ucapan Abraham yang terkesan di paksakan itu membuat sang Raja yang mendengarnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “duduklah, Ab” perintah Regard di laksanakan oleh Abraham yang kini duduk tepat di hadapannya dan menatap sang Ayah dengan wajah yang penuh dengan keseriusan. “kau tau, ini sudah dua tahun semenjak aku memberikanmu calon kepercayaan seperti mereka” dianggukkannya kepala Abraham ketika mendengar penjelasan dari sang Ayah, “dan… sudah waktunya bagimu untuk bersosialisasi dengan negara lain, bersama dengan mereka yang menemanimu” sambung Regard meyakinkan Abraham,   “aku tidak paham dengan apa maksudmu, Baginda. Kenapa harus aku? Bukankah kak Reglus yang lebih pantas untuk datang?” tanya Abraham, karena jujur saja… ia benar-benar bingung dengan seluruh tugas yang di berikan perihal kerajaan, karena pada dasarnya ia tidak ingin menjadi seorang Raja., dan terlebih ia juga tahu bahwa kakaknya lah yang menginginkan posisi tersebut. “Reglus tidak dapat melakukannya, dia sangat sensitive dengan Kerajaan yang satu ini, jadi kuputuskan bahwa aku memberikan undangan ini padamu, untuk mewakili Kerajaan Valens di sana. Abraham” diberikannya sebuah kertas dengan lambang segi enam yang ditengahnya memiliki bentuk seperti gembok berapi dengan warna hijau tua kehitaman, “Kerajaan Sowvra?” diliriknya sang Ayah yang kini menganggukkan kepalanya, “pergilah bersama dengan mereka berlima” dahi Abraham spontan berkerut ketika mendengarnya, “apakah Ray juga akan mengawaliku?” ditatapnya sang Ayah yang kini tersenyum tenang seraya berucap, “tidak, kalian akan pergi tanpa kawalan siapapun”.   … Dihelakannya nafas Abraham berkali-kali, dari awal perjalanan yang mereka lakukan hingga saat ini, ketika mereka tengah berada di pinggir pelabuhan Kerajaan, “anda baik?” pertanyaan yang terlontar dari sahabat sekaligus calon kepercayaannya yang bernama Saint itu membuat Abraham menggelengkan kepalanya dengan pelan, “aku merasa tidak siap untuk mengarungi lautan” jawab Abraham dengan tangan kanan yang terkepal cukup kuat, ya… ia merasakan bahwa ia tidak siap atau lebih tepatnya takut, ini adalah kali pertamanya ia pergi tanpa ada kawalan dari sang Panglima dan tentu membuat perasaannya semakin resah ketika hanya dia dan kelima orang disampingnya lah yang pergi, tak ada Panglima maupun Prajurit, itu cukup membuatnya frustasi. “mengarungi lautan memang cukup panjang, kita membutuhkan setidaknya waktu tiga hari untuk sampai di Kerajaan Sowvra. Namun akan lebih panjang lagi jika kita menggunakan jalur darat, Pangeran Ab… jadi bertahanlah untuk tiga hari kedepannya” diliriknya Rezen yang baru saja berucap dengan cukup sinis oleh Abraham, “aku tau itu!! aku tidak takut dengan lautan, hanya saja…- … ah sudahlah!” Abraham tidak melanjutkan ucapannya dalam membela diri di hadapan Rezen, ia lebih memilih untuk mengalah dan segera menaiki kapal milik kerajaannya. Kapal yang mereka tumpangi untuk mengarungi lautan tidaklah besar dan tidap pula kecil, ukurannya sedang untuk menampung sekitar seratus orang di dalamnya. Dan kini Abraham memiliki dua puluh awak kapal beserta kaptain kapal, serta lima orang calon kepercayaan yang juga merangkap menjadi pelindungnya, jika-jika hal yang tak diinginkan terjadi, total jumlah orang dalam kapal tersebut adalah dua puluh enam orang. Sore itu, dua puluh enam orang pun pergi meninggalkan pelabuhan untuk akhirnya mengarungi lautan selama tiga hari untuk menghadiri sebuah acara penobatan Raja baru di Kerajaan Sowvra.   …   Malam yang tenang, di atas kapal yang tengah mengarungi lautan, Abraham menatap ke arah luar jendela dek kapal yang di khususkan untuk seorang pemimpin kerajaan. Ditatapnya air laut itu, naik dan turun seiringan dengan kapal yang ia pijaki, “makam malam sudah siap, Pangeran” diliriknya Renore yang kini berucap di ambang pintu dek tersebut, membuat Abraham menghela nafasnya dan menganggukkan kepala dan berjalan menghampiri meja yang sudah menyajikan berbagai santapan lezat. Diliriknya Renore yang senantiasa menemaninya, ya… abraham sengaja meminta hanya Renore lah yang menemaninya di ruangan tersebut dan membiarkan calon kepercayaan lainnya untuk beristirahat, atau katakan saja bahwa Abraham bermaksud untuk membagi jam teman, agar ia lebih merasa nyaman. “apakah mereka juga memakam makanan yang sama sepertiku, Renore?” diliriknya sang calon kepercayaan sekaligus sahabat karibnya itu, mendengar pertanyaan sang Pangeran membuat Renore mengangguk mengiakan seraya berucap, “iya, menu makanan yang di siapkan sama seperti yang anda lihat saat ini… Pangeran” mendengar hal itu membuat bibir Abraham tertarik ke atas dan menganggukkan kepalanya pelan, setidaknya mereka pun menyantap apa yang kusantap. Itulah pikiran sang Pangeran yang dermawan. “apakah kau mengetahui tentang Kerajaan yang akan kita datangi ini, Renore? Karena jujur saja, aku tidak begitu memerdulikan tentang kerajaan lain selain kerajaanku sendiri” pertanyaan Abraham yang sata itu menyantap hidangannya pun di jawab gelengan oleh Renore yang kini berucap, “saya pun tidak begitu mengetahui kerajaan ini, yang saya ketahui bahwa Kerajaan Sowvra adalah salah satu Kerajaan yang bersahabat dengan Kerajaan Valens” jawaban Renore saat itu diberikan helaan nafas oleh sang Pangeran, “jika tentang hal itu aku jelas mengetahuinya, tidak mungkin mereka mengundang jika bukan sahabat!” jelas Abraham cukup sebal mendengar jawaban dari Sahabatnya Renore, “namun, jika anda ingin mengetahui informasi mengenai Kerajaan Sowvra lebih dalam, kurasa Rezen bisa menjelaskannya” kedua mata Abraham seketika memincing dengan tajam setelah nama Rezen terdengar di telinganya. “kenapa harus dia? Apakah Saint juga tidak mengetahuinya?” pertanyaan sang Pangeran membuat Renore tampak berpikir, “karena setahu saya, Rezen adalah anak yang sering membaca di perpustakaan kerajaan dan bahkan kami saja belum mengetahui mengenai Surat penundaan ketika peristiwa Negeri kabut terjadi selain dirinya” penjelasan itu membuat Abraham meletakan garpu dan pisau yang ia genggam ke atas piring, kedua matanya kini menatap Renore dengan sorot mata tidak setuju atas apa yang ia katakan. “kenapa kau malah menyanjung dirinya di depanku, Renore!” tegur Abraham kepada Renore kala itu membuat Renore segera menundukkan kepalanya danberucap maaf, “maafkan aku Pangeran, saya tidak bermaksud demikian” permintaan maaf Renore diterima olehnya yang kembali melanjutkan acara menyantap hidangan makan malamnya dengan santai.     …  To be Continue. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN