Halimun 2

1238 Kata
Kedua mata Abraham kini terbelalak, bagaimana tidak… kuda-kuda yang baru saja ia dan yang lainnya tumpangi kini terbelah menjadi dua bagian, dengan tubuh yang terbelah secara diagonal.   Trang!!!   Kedua mata Abraham kini menatap ke arah Ray yang tengah menahan orang-orang yang hendak menyerangnya, begitu pula dengan keenam orang yang senantiasa menjaganya, “Rezen, bawa Pangeran pergi!!” perintah dari Ray membuat Rezen menoleh ke arah Abraham yang terduduk di atas tanah dan segera menariknya untuk berdiri dan kemudian ia kembali mendorong Abraham hingga ia kembali terjatuh, Abraham meringis, hendak mengomeli Rezen yang telah bertindak seperti itu, namun ia terkejut ketika ia tidak mendapati siapapun di sana dan posisinya saat ini tidak berada di tanah gersang melainkan rerumputan hijau yang indah. Portal, ya… ia menyadari bahwa Rezen melemparnya ke dalam poltar, yang akhirnya membuat Abraham terduduk dengan tenang di tengah padang rumput yang teduh, menunggu pintu poltar terbuka adalah pilihan satu-satunya yang diambil oleh Abraham. Satu… Dua… Bahkan kurang lebih dari tiga jam semenjak ia masuk ke dalam poltar, namun pintu yang ia harapkan tidak pernah muncul di hadapannya. Tentu hal itu membuat perasaan Abraham menjadi kacau, bagaimana jika mereka semua terluka dan bahkan mati?, apakah aku akan mnejadi penghuni poltar ini? Apakah Ray juga akan mati di sana??. itulah berbagai pertanyaan yang muncul di pikirannya dan membuatnya cukup terganggu. Cukup lama ia berdiam di tempatnya dan ketika sebuah lingkaran berwarna silver kehitaman muncul, dengan segera Abraham berdiri dari atas rumput itu demi menyambut kedatangan Rezen dan dua orang yang kini membopong Ray yang terluka cukup parah di bagian d**a serta kedua temannya yang juga membopong salah seorang dari calon kepercayaannya yang mengalami luka di bagian perut, dan tentu hal itu menimbulkan Shock baginya. “Ray?! apa yang terjadi, siapa yang menyerang kita?!!” dengan nada paniknya, Abraham segera melepaskan jubah miliknya dan merobeknya yang akhirnya ia jadikan sebagai kain untuk menahan pendarahan hebat yang dialami oleh Ray serta Darius (salah satu calon kepercayaannya). “Halimun, mereka adalah pembelot dari Negeri Kabut” kedua mata Abraham kini menoleh ke arah Rezen yang tengah membuka tas miliknya dan mengambil semacam botol yang dipenuhi oleh air, “kenapa mereka menyerang kita?! bukankah kita bersahabat dengan Negeri Kabut?!” Abraham merebut botol air yang digenggam oleh Rezen untuk kemudian membasahi kain robekannya dan kembali menempelkannya pada luka yang dialami oleh Darius, nafas Abraham memburu dan ia merasa amat panik ketika menatap calon Kepercayaannya itu memekik kesakitan dan mengalami tremor di kedua tangannya, “yang dinamakan pembelot adalah orang yang memihak kepada musuh” mendengar penjelasan Rezen membuat Abraham menolehnya, “jadi kita memiliki musuh?! Ray!! aku ingin pulang!” kedua mata Abraham menatap Ray dengan kedua mata yang membulat dan penuh ketakutan, ya… anak sembilan tahun tersebut tidak pernah mengetahui bahwa Kerajaannya memiliki seorang musuh dan ketika menyadarinya, segera saja ia meminta sang Panglima yang terluka itu untuk pulang kembali ke istana. “tidak pangeran, kita harus memenuhi undangan dari negeri Kabut” ucap Ray berusaha menahan Abraham untuk tetap pergi ke sana, “dengan kau yang terluka?! tidak!! aku tidak akan menghadirinya! Kita harus segera pulang dan menyembuhkan kalian yang terluka, aku tidak akan membiarkan salah satu diantara kalian mati di sini, jadi ayo pulang!” perintah sang Pangeran yang kala itu menolak perkataan sang Panglima pun membuat kelima orang calon kepercayaan Abraham saling menolehkan kepalanya, menatap satu persatu dari mereka dan termasuk Rezen yang pada akhirnya mengangguk menyetujui sang Pangeran, “saya setuju dengan ucapan Pangeran, lebih baik kita kembali ke istana” jelas Rezen seraya menoleh menatap mereka satu persatu, “jadi kita akan membatalkan undangannya??” kedua mata Abraham dan Rezen kini tertuju pada Shulan (calon kepercayaan lainnya) yang baru saja bertanya, “lebih baik kita menunda undangan tersebut, Pangeran bisa menuliskan surat penundaan pertemuan di istana nanti” jawab Rezen seraya menoleh ke arah Abraham yang mengangguk dengan cepat, “kita tidak memiliki banyak waktu, Rezen! Bawa kami ke istana!” perintah sang Pangeran membuat Rezen segera membuka pintu portalnya yang kini menyambungkan antara portal miliknya dengan ruang tabib di istana Valens. Setelah pintu itu terbuka, dengan segera Abraham membantu mereka menggotong dua orang yang terluka, termasuk Ray. “Tabib!!! bantu kami” perintah sang Pangeran segera di laksanakan oleh beberapa tabib istana yang akhirnya menangani Darius dan Ray.   …   “Kalian dengar? Pangeran Abraham di serang oleh pembelot dari Negeri Kabut hingga akhirnya membuat salah seorang calon kepercayaannya bernama Darius terluka parah dan mengundurkan diri sebagai seorang calon kepercayaan!”, “ku dengar bahwa Ray pun terluka”, “bagaimana kabar pangeran Abraham sekarang? Apakah dia mengalami trauma? Karena aku yakin ia baru mengalami hal yang seperti ini”, “ya… aku pun khawatir padanya, apakah Pangeran baik-baik saja?”,   “tidakkah kalian dengar? Pangeran Ab menuliskan surat penundaan pertemuan dengan Negeri Kabut, hingga akhirnya Negeri itu menyadari kendala yang di alami Pangeran, dan itu membuat mereka memberikan surat permohonan maaf kepada Kerajaan!!”, “Wah! Pangeran hebat!! bagaimana dia bisa memikirkan untuk memberi surat penundaan seperti itu??”, “kudengar itu karena seorang calon Kepercayaan yang menyarankannya!”,   “wah… anak itu pastilah anak yang cerdas!”,   Itulah pembicaraan yang tengah marak di Desa, mereka mengkhawatirkan sang pangeran sekaligus kagum dengan seorang calon kepercayaan yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dan mereka menilai bahwa jika Pangeran Abraham bersanding dengan calon kepercayaan itu, maka mereka akan menjadi Pangeran serta kepercayaan yang dikagumi banyak orang.   Maraknya berita tersebut pun akhirnya terdengar di telinga Regard serta Ivana, “siapa anak yang menyarankannya, Ray?” kedua pandang Regard kini tertuju pada Ray yang berdiri di hadapannya, kondisi Ray saat ini sudah pulih sepenuhnya, meski wajahnya terlihat pucat, namun ia dalam kondisi baik mengingat bahwa kematian tidak akan bisa menjemputnya. “dia adalah Rezen, yang Mulia” mendengar jawaban Ray membuat Regard serta Ivana saling bertatapan, “siapa anak itu?” tanya Regard menoleh menatap Ray, “dia adalah pengelana yang ditemukan oleh Ray di sekitaran sungai Issen, Regard” kedua mata Regard kembali berpaling dan menatap Ivana yang saat itu berucap seraya tersenyum dengan sangat senang, hal itu membuat Regard mengerutkan dahinya seraya ikut tersenyum, “kenapa kau begitu senang, mendengar bahwa anak itu lah yang menyarankannya, Ivana?” tanya Raja amat penasaran dengan senyuman manis yang ditunjukkan oleh sang Permaisurinya, “karena aku yakin bahwa anak itu bisa menemani Abraham nantinya, aku senang karena ekspetasiku ketika pertama melihatnya sama seperti realita yang terjadi, anak itu anak yang cerdas!” mendengar jawaban dari Ivana membuat Regard tertawa dan mengusap rambut sang Ratu pelan sebelum akhirnya mengangguk, “baiklah, kau bisa menambahkan sepuluh point untuk anak yang bernama Rezen itu, Ray” mendengar ucapan sang Raja membuat Ray kini mengangguk dan membungkuk hormat sebelum akhirnya pergi meninggalkan keduanya atas perintah sang Raja.   … “anda mendengarnya, pangeran? Mereka semua membicarakan tentang Rezen” kedua mata Abraham kini menoleh ke arah Renore yang berdiri di sampingnya, posisi mereka saat ini adalah sungai Issen, bersama dengan Reglus, Raph dan Saint. Mereka sengaja berkumpul di sana untuk menangkap ikan dan membakarnya bersama. ‘hari tenang’ itulah yang selalu Abraham lakukan bersama dengan sang kakak, Reglus Muller. Mereka akan membawa teman-teman mereka dan menangkap ikan bersama di pinggir sungai Issen yang akhirnya mereka bakar dan menyantapnya bersama-sama. “oh! Anak bermata Amber itu?” dianggukkannya kepala Saint mendengar pertanyaan sang Pangeran pertama, Reglus Muller, “berhati-hatilah dengannya, Ab… aku merasa bahwa ia menyembunyikan identitas aslinya” mendengar ucapan sang kakak membuat Abraham kini menatapnya yang tengah menancapkan tombaknya pada ikan yang pada akhirnya akan mereka santap di perapian, dahi Abraham berkerut dan ia berpikir dengan keras mengenai ucapan sang kakak. Tentu aku akan berhati-hati dengan anak itu, karena di awal aku juga sudah tidak menyukai anak bermata Amber yang penuh dengan hal yang misterius. Itulah hal yang dipikirkan oleh Abraham sebelum akhirnya ia mengangguk pelan, menyetujui pikirannya tersebut. to be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN