"Dari mana kamu dapat uang!"
Mas Faisal menemukan uang yang aku simpan untuk membayar hutang ke ibu warung. Aku menyimpanya di bawah bantalku. Aku belum sempat memberikannya karena aku pikir, besok saja aku akan membayarnya.
"kembalikan mas, aku butuh sekali uang itu."
Aku mau mengambilnya, namun Mas Faisal malah mengangkatnya ke atas. Aku tidak mampu meraih uang itu, meski pun aku harus berjinjit.
"Dari mana uang sebanyak ini kamu pasti main main sama laki laki hidung belang kan?"
teganya mas, kamu mengatakan itu.
"Tidak mas, demi Allah. Aku enggak berani melakukan itu. Aku meminjam uang ini dari teman ku mas."
"Mana ada, teman kamu memberikan uang sebanyak ini. Kamu pikir, aku ini bodoh?"
"Aku bisa bersumpah, mas. Uang itu dari teman aku. Dia meminjamkan aku satu juta, dan uangnya akan aku pakai untuk membayar hutang ke ibu warung mas. Aku malu karena beliau sudah menagih mas."
"lagian hutang apa sih? kamu kan sudah aku kasih uang, masa enggak cukup. Kamu juga makan sendirian di rumah kan?"
"Dua puluh ribu enggak cukup mas."
Hatiku ngilu sekali rasanya, bagaimana bisa uang dua puluh ribu masih saja ia jadikan masalah.
"Lah! perempuan boros memang susah! aku juga punya teman, dia bisa ko ngelola uang segitu. Kamu saja, yang enggak becus! dikira nyari uang itu gampang apa!"
Aku terdiam.
Kedua mataku rasanya enggak bisa menahan air mata ini lagi. Aku lelah menahan semua rasa sakit ini.
"Kamu jangan berbohong! teman mana yang mau meminjamkan uang sebanyak itu!"
Ibu mertuaku datang dan ikut memaki diriku. Seakan tidak cukup dengan semua kalimat pedas yang diberikan oleh suamiku itu.
"Kamu pasti pergi sama lelaki hidung belang kan?"
"Ya Allah, bu ...."
Aku kehilangan kata. Dan ibu mertuaku hanya mendengus. "Jangan bawa bawa Allah, kamu! perempuan bernoda kaya kamu enggak pantes nyebut nyebut nama Allah."
Memangnya aku sekotor apa!
Apa yang pernah aku lakukan pada Ibu sebenarnya. Apa salah ku.
"Faiz! ibu yakin sekali istrimu ini memang sudah selingkuh sama laki laki hidung belang. Dan uang itu mungkin saja bayaran atas apa yang dilakukannya."
"Bagaimana bisa ibu memfitnah saya, bu?"
Ku tatap Mas Faisal, aku berharap dia mau membelaku. Namun tidak sedikit pun ia terlihat ibat padaku. Ia tetap diam, dan memegang erat uang ku.
"Saya bukan fitnah. Tapi cobalah pake logika kamu, Faiz. Mana ada teman yang mau meminjamkan uang padanya, kalau dia saja seorang perempuan pengangguran dan tidak memiliki apa apa. Hanya orang bodoh lah, yang mau melakukannya!"
"Bu, saya akan buktikan, kalau saya memang meminjam uang itu dari teman saya. Sekarang saya akan menelpon teman saya bu."
"Silakan telpon saja, kalau kamu memang benar. Tapi awas saja, kalau orang yang kamu telpon juga telah bersekong kol dengan kamu!"
Kupegang d**a ini, rasanya sesak sekali. Bagaimana Ibu mertuaku bisa berubah seperti ini.
Aku pun segera menelpon ke nomornya Nilam. Namun sayangnya sahabat ku itu tidak mengangkatnya. Mungkin Nilam sedang sibuk sehingga ia tidak bisa mengangkat panggilan ku, atau malah dia tidak mengaktifkan suara ponselnya.
"kenapa? dia tidak menerima panggilan mu kan?"
Ibu terdengar mengekeh dengan berkacak pinggang. "Lihat Faiz! perempuan ini memang pura pura polos. Padahal aslinya dia binal. Kasihan kamu nak, sepertinya salah satu alasan kenapa kalian masih enggak memiliki seorang anak, adalah karena perempuan itu memiliki penyakit di rahimnya, akibat suka main sama laki laki lain! kasih kamu faiz."
"IBU!"
terpaksa aku membentaknya, karena aku merasa bahwa perempuan yang telah melahirkan suamiku ini terlalu menghinaku. AKu sungguh tidak bisa menerimanya.
Plakk!
Tamparan mendarat di pipiku. Mas Faisal menamparku kuat, dan rasanya menyakitkan sekali. Bukan hanya pipi ini yang terasa sakit. Namun juga hatiku yang begitu remuk dan hancur.
"Mas ..."
"Kamu menampar ibuku?"
Ku lihat amarah Mas Faisal begitu menggunung. Aku tahu aku salah, karena telah membentak baliau. Namun apakah Mas Faisal tidak mau sedikit pun membela ku.
Aku ini istrinya, aku ini perempuan yang ia ambil dengan cara yang hormat dan bermartabat. Bagaimana bisa ia membiarkan aku di hina olehnya. Bagaimana bisa!
"Ibu menghinaku, mas. Ibu ...."
Aku tidak sanggup menahan tangis ini. Ku tutup mulut ini oleh tangan ku agar aku bisa meredam tangis ini.
"AKu tidak pernah menyakiti ibuku, kalau kamu mau tahu. Aku selalu berkata pelan dan sabar, karena aku tahu bagaimana sakitnya seorang ibu melahirkan anaknya. Dan kamu mungkin tidak akan bisa merasakan itu. Karena kamu hanya lah seorang perempuan mandul yang tidak berguna!"
Astagfirullah ....
Ku kepal kan erat tangan ini bahkan sampai kuku kukunya menusuk telapak tangan ku. Kepalaku mendadak terasa pusing, dan dadaku sakit bagaikan ditusuk oleh ribuan belati.
"Mas istigfar, mas ... aku ...."
"Kamu keluar dari rumah ini!"
Aku mematung!
Ku lihat ibu tersenyum sinis menatap ku. Ada pancaran sebuah kepuasan yang tersorot di kedua netranya saat melihat ku.
"tapi mas ..."
"Aku tidak sudi memiliki istri yang jahat dan tidak menghormati ibuku. Aku tidak rela melihat ibuku dibentak oleh kamu!"
Mas Faisal mendekat padaku dan mencengkeram rahangku. "Kamu itu siapa? kamu hanya orang lain yang kebetulan aku ambil dan aku jadikan sebagai istriku. Apa kamu sadar di mana posisimu saat ini? ibuku jelas lebih berarti dari pada kamu!"
Ini seperti sebuah petir yang sedang menyambarku. Kedua telingaku terdengar berdenging begitu memekak kan.
Tubuhku gemetar, dan aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan cintanya mas Faizal untuk ku.
"Mas ... aku enggak binal ..."
Ku tahan tangis ini. Ku telan rasa sakit ini. Aku harus menjelaskan padanya dan membuatnya mengerti bahwa aku masih seperti dulu, masih Ayana yang hanya untuk mas Faizal.
"Keluar ..."
"Mas ... aku bersumpah demi tuhan, bahwa uang ini memang pinjaman dari teman ku. Aku --"
"Keluar dari sini!"
Mas Faisal tidak lagi mau mendengarkan ku. Mas Faisal sudah benar benar membenciku. Dan aku tidak lagi diberikan kesempatana olehnya. Tidak lagi ...
Mas Faizal melemparkan uang itu ke wajahku dengan kasar. "Aku enggak menyangka kamu se hina itu, ayana. Kamu telah menodai hubungan ini."
"Tidak, mas. AKu tidak--"
"Aku akan talak kamu. Tunggu saja, surat cerai dariku!"
Aku di dorong keluar dari pintu rumah kami, dan aku mau tidak mau harus keluar dari sana. Aku berjalan ke arah pemberhentian bus, aku akan pergi ke rumah kedua orang tuaku yang sudah lama kosong, karena mereka berdua sudah meninggal.
Tapi ketika aku menaiki bus, kepalaku terasa sangat pusing. Kemudian aku menjadi tidak sadarkan diri.
***
Kedua mata ini perlahan terbuka, aku menemukan diriku di atas brangkar sebuah kamar yang serba putih, sepertinya aku berada di rumah sakit.
Seseorang duduk di kursi di dekat brankar ku, dan dia adalah Pak Akbar. Laki laki itu mungkin ada di dalam bus itu.
"Apa kamu baik baik saja?"
Tanya nya padaku. Aku perlahan bangun seraya memijat kening ini. "Pak AKbar, terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah sakit."
"Iya, sama sama. Saya kebetulan sedang berada di pom bensin, dan melihat kamu naik ke bus. Kamu jatuh ketika hendak naik bus, beruntung sopir bus itu menahan kamu. Sehingga kamu enggak jatuh ke aspal."
"terima kasih sekali, pak. Saya tadi pusing sekali."
"Kamu pucat. Apakah kamu sedang sakit?"
"tidak, pak. Tadi pagi, saya baik baik saja."
"Oh, sebentar." Dia terlihat mengangkat panggilannya. Aku melihat kedua rahangnya mengeras. Dia berdiri dan menjauh dari ku.
"Apa maksud kamu! kamu pikir saya enggak tahu kamu selingkuh dari saya! kamu yang meninggalkan kami. Lalu sekarang kamu mau Banyu ikut bersama kamu? Tidak Angelin! aku tidak akan pernah mengijinkan Banyu ikut sama kamu!"
Aku rasa Pak Akbar memang memiliki masalah besar dengan mantan istrinya itu.
Seorang Dokter mendekat dan ingin berbicara dengan ku, sehingga Pak Akbar pun keluar meninggalkan kami berdua.
"Jadi saya ini kenapa Dok? kenapa kepala saya pusing sekali?"
Dokter perempuan itu tersenyum dan menatap padaku. "Selamat, bu. Anda hamil!"