"Sampai kapan pun, Banyu adalah milik saya! kamu memang ibunya. Namun kamu enggak memiliki hak apapun untuk banyu!"
AKu sebenarnya ingin sekali bebicara dengan beliau dan mengucapkan banyak terima kasih padanya, karena beliau telah menyelamatkan aku. Namun melihatnya bedebat dengan seseorang yang ada di balik telpon sana, membuatku tentu saja harus menunggunya di sini.
Aku juga tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, karena dia telah menyelamakan dua nyawa sekaligus. Nyawaku dan juga nyawa anak ku.
"APa! yang harus nuntut itu saya. Bukan kamu! sembarangan saja kamu ini!"
Aku kembali memilih diam dan berdiri agak jauh darinya. Dia sedang bicara di taman rumah sakit, sedangkan aku bediri di dekat tiang. Aku tadi selesai berbicara dengan Dokter. Beliau mengatakan bahwa aku hamil sudah empat minggu, dan keadaan janin di dalam perut aku sehat.
Aku inginnya segera kembali pulang dan bertemu dengan Mas Faizal juga ibu mertuaku. Aku yakin mereka akan sangat bersyukur dan kembali menyayangi aku setelah tahu bahwa aku ini sedang hamil anaknya.
"Terserah kamu! aku enggak peduli! yang jelas, banyu adalah milikku. Aku yang akan membesarkannya. Kamu silakan mau pergi dengan laki laki mana pun aku enggak peduli. Tapi Banyu, banyu adalah milik ku!"
Aku melihat Pak AKbar menutup panggilannya dan menatap ke arah ku dengan penuh keterkejutan.
"Kamu di sini?"
Tanya nya padaku. Aku mengangguk dan berdeham pelan. "Maaf, pak. Saya malah mendengarkan pembicaraan bapak. Saya hanya mau menunggu bapak untuk mengucapkan rasa terima kasih saya pada bapak."
"Oh, kamu jangan sungkan. Saya bersyukur kalau kamu baik baik saja."
"Saya baik baik saja, pak. Saya hamil, sehingga saya merasa pening tadi."
"Oh, Syukur lah kalau kamu sedang hamil. Saya ikut senang. jadi sekarang kamu mau pulang ke mana, biar saya antar saja?"
Dari dulu, Pak Akbar memang baik dan ramah. Dia sejenis atasan yang enggak sombong meski ke pada seorang mantan karyawan bawahan sepertiku pun.
"Enggak usah, pak. Saya mau pulang naik ojeg saja. Kebetulan dari sini memang dekat sekali jaraknya ke rumah saya."
"Baiklah, kalau begitu. Saya pulang duluan, ya. Saya mau meeting sama klien. Oh, iya. Nilam barusan nelpon saya, bahwa dia sedang berada di SG. Dia akan pulang beberapa hari lagi. Kamu katanya nelpon dia ya. Dia tadi sedang mengikuti seminar di sana. Saya memang sedang ada urusan di sini, sehingga saya menyuruh dia untuk pergi ke SG."
OH, mungkin itulah yang membuat Nilam tidak mengangkat panggilan ku.
"Baiklah, pak. Sekali lagi, saya sangat berterima kasih, karena bapak telah menyelamatkan saya."
"Iya, sama sama. Kalau begitu saya permisi dulu, ya."
Setelah berbicara dengan PAk Akbar, aku pun kembali pulang ke rumah kami. Rumah yang dibangun antara aku dan Mas Faizal. meski pun kecil, tapi rumah ini penuh dengan kenangan.
AKu bahkan rela meninggalkan rumah besar kedua orang tuaku, dan aku sewa kan ke tetangga yang membutuhkan. Dari pada kosong dan tidak terawat, maka aku sewa kan saja dengan harga yang murah, yang penting orang itu mau menjaga rumah kedua orang tuaku dengan baik.
"Ayana!"
Seseorang yang aku kenal berhenti dengan motor besarnya. Dia adalah teman ku, Rudy. Dulu kami bersahabat dan sangat akrab. Kami tinggal di kampung yang sama, dan juga sekolah SMA yang sama.
Hanya saja, setelah sekolah selesai, aku kuliah bersama Mas Faisal. sedangkan Rudy ini membuka warung nasi, dan sampai sekarang warung itu menjadi berkembang sangat pesat. AKu sebagai temannya merasa bangga padanya. Karena Rudy yang hanya lulusan SMA saja sudah memiliki rumah makan besar, dengan puluhan karyawan. Sedangkan aku yang lulusan D3 sekarang menganggur, dan aku tidak memiliki pekerjaan yang mapan.
"Hay apa kabar?"
Sudah lama tidak berjumpa dengannya, sejak aku keluar dari sekolah SMA kala itu. Dia tersenyum dan menjabat tangan ku.
"AKu baik baik saja. Kamu sendiri bagaimana? kamu keluar dari rumah sakit? siapa yang sakit?" tanya nya.
"Oh, aku enggak sakit, ko. Akun baru saja cek dan aku hamil."
Dia terlihat tertegun selama beberapa saat, kemudian tersenyum, "Wah selamat ya. Aku rasa, aku lah yang paling enggak beruntung sekarang." keluhnya.
"Kenapa memangnya, ko bilangnya enggak beruntung? kan kamu mah sudah menjadi pengusaha loh, sekarang. Semua orang yang ada di sini, malahan sudah tahu kalau kamu sudah menjadi seorang bos."
"Ayolah ayana. Apa untungnya menjadi seorang bos, kalau aku masih saja belum memiliki seorang istri." Katanya.
Aku tekekeh mendengarnya,
"Kamu sih, malah menikah dengan laki laki lain. Jadinya aku enggak punya kesempatan buat lamar kamu!" godanya. Laki laki ini sedari dulu memang seperti itu.
Waktu SMA, aku malah sering di gosipkan dengannya, padahal diantara kami tidak memiliki hubungan apa apa. Kami murni hanya berteman saja.
"Bisa saja, kamu."
Dan aku selalu saja membalasnya dengan hal yang datar datar saja. Karena aku yakin seratus persen, bahwa laki laki ini tidak mungkin menginginkan aku. Dia seorang bos dan juga memiliki wajah yang manis. Jadi tidak mungkin seorang lelaki yang populer seperti dia enggak memiliki seorang kekasih atau calon istri kan?
"Ayo, kamu mau ke mana? biar aku antar." ujarnya.
"Aku mau pulang, sih. AKu mau nunggu ojek online." AKu melihat ke screen ponselku, yang memperlihatkan aplikasi ojek online.
"Ayolah, pulang bareng aku saja. Dari pada kamu nungguin ojol itu lama. Lagian ya, sekarang itu banyak sekali ojol yang enggak aman tahu. Kamu sedang hamil akan lebih baik, kalau yang antar jemput itu adalah suami kamu kan?"
AKu memilih terdiam dengan senyuman tipis. Mana mungkin aku mengatakan padanya bahwa saat ini hubungann ku dengan Mas Faisal sedang tidak baik baik saja kan.
"Oh, mas Faiz sedang sibuk. AKu enggak bisa ganggu dia."
"Baiklah, justru karena itu. Ayo kamu naik moge aku saja. Aku akan antarkan kamu pulang sampai selamat ke tempat tujuan."
Boleh enggak ya, aku ikut Rudy. Semoga saja tidak kenapa napa. Dari pada menunggu ojol lama, mungkin akan lebih baik kalau aku pulang bersama Rudy saja.
Sepanjang perjalanan aku terus mengusap perutku. Rasanya aku amat besyukur dan bahagia atas hadirnya janin yang besemayam di sana.
Nak ... kamu akan menjadi pemersatu ayah dan ibu. Terima kasih kamu telah menyelamatkan penikahan kami.
Disepanjang jalan, aku mengobrol dengan Rudy, dan kami berbagi cerita. Dia menceritakan baru saja putus dari kekasihnya dan mengatakan bahwa hubungannya kandas karena sebuah perselingkuhan. Dia bilang kekasihnyan itu telah selingkuh dengan temannya sendiri.
Aku hanya menjadi pendengar yang baik dan sesekali mengomentari dengan nada yang wajar. Tanpa menghakimi dan tanpa membela salah satu diantara mereka. Lantas akhirnya aku telah sampai di depan rumah ku.
Rumah kecil kami, yang mungkin nantinya akan menjadi tempat beraung dan membesakan anak anak kami.
AKu membayangkannya saja, sudah amat bahagia. Bagaimana jika semuanya memang benar benar terjadi. Maka aku akan menjadi satu satunya perempuan yang paling bahagia di dunia ini.
"Terima kasih, rud. AKu udah sampai."
Aku turun dari moge nya Rudy. Dan laki laki itu membuka helmnya. Merapikan rambutnya yang terlihat keren ala ala anak boyband itu. "Baiklah, kamu hati hati. "
"yang harus hati hati itu kamu, karena kamu mau mengendarai moge kamu." sinisku, dan dia tekekeh. Kembali memakai hemlnya dan menyalakan moge.
"Baiklah, aku pamit dulu. Sampaikan salam ku pada fais."
Dulu mereka saling mengenal akrab. Ketika aku di dekati oleh Mas Faisal yang merupakan kakak kelas ku itu.
"Akhirnya aku bisa lepas dari AYana, bu. AKu tidak sabar untuk segera menikah dengan Madona!"
Belum saja aku sampai di pintu, aku malah mendengarkan kalimat yang tidak enak ini dari mulut suamiku sendiri. Kalimat yang membeku kan seluruh sendi sendi ini menjadi kan diriku patung.
Dan jiwa ini seperti hendak mati.
"Iya, selamat. Ibu dukung saja, kalau kamu mau menikah dengan Madona. Pastikan saja wanita kampung itu tidak mengetahuinya, karena kalau dia tahu mungkin saja dia akan mengacaukannya!"
Wanita kampung!
Mas Faisal mau menikah dengan perempuan itu! lalu bagaimana dengan anaku!
Kuusap perutku, kasiha kamu Nak. Bagaimana bisa ayah dan nenek mu sejahat ini.
"Kamu masih di sini!"
Mertuaku menemukan ku di luar rumah. Aku memang belum sanggup masuk.
"Bu ... aku barusan dari rumah sakit, dan aku hamil." Aku tersenyum pada Mas Faisal dan mertuaku. AKu berharap mereka bahagia mendengar ini. Namun ...
Ibu mertua telihat geram dan membelalakan kedua matanya padaku.
"Anak siapa itu!"
Hah!
apa!
Bagaimana?
Apa maksudnya?
"Ini anak mas Fais, bu. Apa maksud ibu?"
Ibu mertua terbahak. "Anak faiz? yakin? barusan saja ada lelaki yang nganterin kamu. Kamu pikir kami enggak tahu!"
Aku mematung. Bagaimana mereka bisa tahu. Tapi meski begitu, aku dan Rudy tetap saja enggak pernah melakukan hal yang tidak tepuji.
Mas Fais berdiri dan menatap padaku dengan geram. "Katakan ayana! itu anak siapa? apakah dia anak laki laki yang mengantarkan kamu!"
Kamu b******k mas! kamu benar benar b******k!