Apa Kabar Ayana

1095 Kata
"Makanya jadi istri jangan boros! kamu kan enggak punya anak. Kamu membuat hutang untuk apa sih!" Pagi pagi sekali mertua kerumah ku. Beliau sepertinya datang karena diberitahu oleh mas Faisal. Laki laki itu sepertinya telah mengadu pada ibunya tentang ku yang memiliki hutang enam ratus ke ibu warung. Tidak kah mereka berpikir kalau selama ini hutang itu untuk makan kami berdua? atau mas Faisal memang sengaja menjelek jelekan aku di depan Ibu? Ku lihat mas Faisal menatapku dengan sebuah seringaian. Jelas sudah kalau dia memang mengadukan ku pada mertua. Jadi untuk apa aku berada di sini lagi. Namun apakah ini serius tidak bisa aku perbaiki? "Dua puluh ribu itu lumayan. Kamu bisa beli lima telur, dan kerupuk. Memangnya kamu pikir nyari uang itu gampang ya. Kamu pikir lah kerja itu capek. Faisal itu harus nyari uang dari pagi hingga malam, tapi kamu mah enak tidur di rumah. Kamu jadi perempuan memang tidak ada bagus bagusnya. Udah mah diem di rumah, tapi juga enggak punya anak. Kasihan faisal nikah sama kamu tuh. " "Jadi kalian maunya giman? mau saya tetap di sini atau mau saya minggat dari sini?" Sudah saatnya aku tegas pada diriku sendiri. Sudah saatnya aku memikirkan mental ku dan menyelamatkan diriku. Persetan dengan pernikahan dan janji suci yang pernah kami ikrar kan. Karena nyatanya mas Faisal juga sudah tidak membutuhkan itu. Mereka terdiam selama beberapa saat. Ibu dan Mas Faisal saling menatap. "Pernikahan harus dipertahan kan, namun kalian harus saling mengerti. Terutama kamu yang memang nganggur.Kamu pergi lah ke rumah ibu dan bersihkan rumah ibu.Jadilah perempuan yang berbakti dan mantu yang berbakti. Kamu sudah tidak punya anak.Tapi kamu juga pemalas!" "benar yang dikatakan ibu! kamu bantu bantu lah ibu. Bersihkan rumah ibu, dan cuci lah baju baju ibu. Kamu tahu kan ibu sudah tua. Masa kamu tega biarin ibuku ngurusin rumah sendirian." Bukan itu mas jawabannya. Aku memintamu untuk membayar hutang, bukan malah mengalihkan topik dan memintaku macam macam. Mana janjimu mas? mana janji yang kamu ikrar kan pada kedua orang tuaku mas. Mas janjimu yang akan mencintaiku seumur hidup mu mas. Mana semua kebaikan yang selalu kamu berikan padaku mas. Mana ... mas. Ku helan napas ini. Menangis hanya akan membuat mereka semakin menghinaku. Maka Aku memang tidak boleh terlihat lemah di mata mereka. Aku harus kuat dan harus tetap bisa berdiri di kedua kakiku sendiri. "Aku bisa kerja, mas, bu. Kenapa aku harus tetap berada di rumah dan menjadi tanggungan hidup mu, mas. kenapa mas dulu melarang ku untuk kerja, dengan alasan bahwa aku harus berada di rumah. Sementara sekarang mas dan ibu mengeluh karena saya jadi benalu. Sebenarnya di mana letak kesalahan saya?" Mereka terdiam. "Kamu itu perempuan. Kamu harus berada di rumah dan mengurus rumah tangga. Kamu harus hamil dan melahirkan seorang anak, makanya kami ingin kamu berada di rumah. Namun nyatanya kamu emang enggak bisa diandalkan. Makanya kami menyesal." ibu yang menjawab. "kalau begitu kenapa mas enggak gugat saja saya. Kita cerai?" "Jangan jadi istri yang durhaka kamu! jangan dikit dikit cerai. Dikit dikit cerai. Kamu tahu, di keluarga kami cerai itu haram. Jangan bikin malu kamu!" Ibu mertua berkata. "Lalu saya harus bagaimana? saya tidak dinafkahi juga saya tidak dilepaskan. Saya harus bagaimana?" "Jadi istri yang patuh, yang berada di rumah. Gunakan uang sedikit namun tetap bisa menabung. Jadi perempuan itu harus irit dan harus mampu mengelola uang suaminya menjadi sesuatu yang berarti. Bukan hanya perut saja yang kamu utamakan. Jadi perempuan ko enggak ada baik baiknya." "Jadi perempuan harus seperti istri istri nya nabi. Mereka bahkan berani berjuang untuk suaminya. Mereka shalat malam dan mendoakan suaminya. Kamu mah boro boro. Kamu pasti shalat subuh saja susah kah? mau jadi apa rumah tanggamu, kalau kamu begini terus setiap harinya? mau jadi apa hidup anaku, kalau istrinya tidak berguna macam kamu. Coba lah berubah jangan cuma bisa dandan saja!" Aku bahkan sudah lama enggak pernah dandan lagi. Aku bahkan enggak berani lagi menatap cermin lama lama, karena saking takutnya aku melihat kondisi kulitku sendiri. "Segera pergi ke rumah ibu dan kamu bereskan semua ruangan. Baju baju ibu juga banyak yang kotor. Kamu pergi sekarang!" Mas faisal menunjuk ke arah pintu. Dan aku termangu. Bukan karena aku tidak mau membantu mertuaku. Tapi cara menyuruhnya itu persis seperti aku adalah seorang pembantu. Ngilu hatiku. "baik mas." Aku pergi bukan karena aku menjadi istri yang patuh padanya. Tapi karena aku tidak mau berdebat dengannya. *** "Ada apa?" Aku bertemu dengan Nilam, karena mau meminjam uang untuk membayar hutang. Aku juga akan meminta padanya untuk mencari pekerjaan untuk ku. Aku tidak mau begini terus, karena aku harus menyelamatkan mentalku. "Aku mau minta tolong, apa masih boleh?" Dia mengangguk pelan. "Tentu saja. Ayo bilang kamu butuh bantuan apa dariku?" "Aku pinjem uang enam ratus buat bayar hutang ke warung. Dan aku juga ingin kembali kerja. Bisakah kamu mencarikan pekerjaan untuk ku?" Dia menatapku lamat lamat dan memegang tangan ku. Kedua matanya berkaca kaca dan dia menggeleng pelan. "Kamu ko ancur begini sih, ay. Kamu bilang dong, kenapa sebenarnya?" "Aku enggak mau gibah, Lam. Aku baik baik saja. Tapi aku memang harus keluar dari lingkaran ini. Aku enggak mau terus begini." keluhku. "Aku kagum banget sama kamu. Kamu tetap diam dan membela suamimu, meski sebenarnya aku sudah tahu bagaimana dia saat ini. Dia dan Madona sering berduaan. Maaf, aku baru bilang, karena aku enggak mau pernikahan kalian ancur. Namun buktinya tidak aku katakan malah membuatmu terus berharap pada laki laki b******k itu. Kamu dulu sangat diperjuangkan olehnya!" Aku tersenyum dengan air mata yang segera aku usap. Aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Aku harus segera tegar dan berdiri kokoh melawan mereka sendirian. "Aku akan kasih kamu satu juta. Dan kamu enggak perlu mengembalikannya. Oh, iya. Untuk pekerjaan, aku akan memintanya pada pak Akbar. Dia itu baik sekali. Dia bahkan selalu memberikan aku bonus yang banyak. Dan aku bersyukur kerja dengannya. Oh, iya. Sekarang pak akbar itu duda. istrinya selingkuh katanya, dan mereka cerai." Aku terdiam. "Aku berharap Pak AKbar menemukan perempuan yang sangat baik. Karena dia juga memang orangnya sangat baik. Perempuan bodoh saja yang mau selingkuh darinya." ujarnya. Aku terdiam karena itu bukan lah ranah ku. "Eh, itu pak akbar. Aku mengajak ketemuan di sini karena kita mau meeting di sini jam sepuluh nanti. Aku malas kalau harus ke kantor dulu." ujarnya. Ku lihat Pak Akbar masuk dan duduk, sekilas aku merasa bahwa laki laki itu menatap padaku, dan aku tidak berani menatap balas karena merasa tidak pantas. Namun ... "Pak ini Ayana, sahabat saya. Ayana, ini Pak Akbar.Kamu masih ingatkan?" Aku mengangguk, Pak Akbar memberikan tangannya padaku seraya tersenyum. "Apa kabar Ayana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN