***
Heros menatap Helena dengan tatapan penuh intimidasi. Dengan langkah mantap, ia mendekati gadis itu, cepat tangannya meraih pergelangan tangan Helena, mendorong tubuhnya dengan kuat hingga sang gadis terhimpit tegak pada dinding.
Helena tersentak kaget. "Heros, lepaskan aku! Apa yang akan kamu lakukan, b******k!" teriak Helena sambil meronta-ronta, berjuang untuk melepaskan diri dari genggaman sang detective tampan.
Dengan lembut, Heros meniup permukaan wajah Helena, membuat sang gadis terdiam, terpaku memandangi wajah tampannya, sementara dadanya berdebar kencang.
Heros merapatkan tubuhnya, sambil mencekal kedua tangan sang gadis di atas kepala. "Kau telah melakukan kesalahan besar dengan menamparku, Nona Roberto!" desis Heros dengan tajam.
"Aku menamparmu karena kamu bersikap kurang ajar!" balas Helena dengan penuh keberanian, menatap Heros dengan tajam, tak kalah dari tatapan sang pria.
Terkekeh pelan, sebelah tangan Heros menuju bibir kenyal Helena. Dengan gerakan sensual, ia mengusap permukaan benda kenyal tersebut dengan lembut menggunakan ibu jarinya.
Sejenak, Heros membayangkan sensasi saat ia mengulum dan menghisap. "Apakah nona cantik dan seksi ini tidak paham makna sebuah kecelakaan? Sehingga kau berpikir bahwa aku bersikap kurang ajar padamu?" ujarnya dengan nada tajam.
"Kamu menciumku! Kamu pikir aku sudi dicium oleh pria b******k seperti kamu?!" desis Helena, membuat Heros terkekeh pelan sekali lagi.
"Memangnya kenapa kau sampai tidak sudi dicium olehku? Bukankah aku cukup tampan dan... menarik? Bahkan wanita-wanita di luar sana mengantri untuk dicium olehku," kata Heros sambil tangan berpindah dari bibir Helena menuju pipi mulusnya. Dengan lembut, ia membelai pipi itu, merasakan betapa mulusnya kulit wajah sang gadis.
Helena terengah, berusaha menggerakkan kakinya tetapi Heros mengunci pergerakannya. "Aku tidak peduli seberapa banyak wanita yang menanti ciumanmu! Sekarang lepaskan aku dan... menyingkirlah!" desis Helena dengan tegas.
"Kau pikir kau akan semudah itu lolos dariku setelah kau menamparku di tempat umum dan membuatku malu?" Heros menatap remeh, sambil menguatkan cengkeramannya di tengan Helena.
"Selain menamparmu, apalagi yang kamu harapkan? Berterima kasih karena kamu telah menciumku? Atau... membalas ciumanmu?" Helena melontarkan pertanyaan tajam, menatap Heros dengan penuh tantangan.
Heros mengangguk pelan. "Yang terakhir lebih menarik. Membalas ciumanku. Aku tidak yakin kau akan menolak," ucapnya dengan nada percaya diri, sementara matanya menyiratkan tantangan yang dalam pada sang gadis.
"Cih!" Helena mendecih, menatap Heros dengan jijik. "Bermimpilah!" ucapnya tegas, menunjukkan ketegasan dan keengganannya.
"Sungguh kau yakin? Yakin tidak akan terlena?" Heros semakin mendekatkan wajahnya dengan Helena, menciptakan ketegangan yang terasa di antara mereka.
“Heros…” suara Helena terdengar terputus-putus karena rasa gugup yang melanda. Helena memiringkan wajah ke samping kiri, sehingga bibir Heros menempel di pipinya, menciptakan momen yang penuh dengan ketegangan dan keintiman.
Heros terkekeh pelan sebelum meraih dagu runcing Helena, membawa wajah cantik itu menghadap ke arah wajahnya. Dengan tatapan tajam, Heros mendekat perlahan dan menyatukan bibirnya dengan bibir Helena dalam sebuah ciuman yang memikat.
“Hhmmppttt…”
Helena memejamkan mata pasrah, membiarkan Heros mengulum bibirnya. Tak lama berselang, Heros menyeringai di tengah jalinan bibir mereka saat Helena membalas ciuman dengan penuh gairah.
Dengan penuh gairah, sang gadis menggerakkan bibirnya dan membalas dengan menghisap bibir Heros. Perlahan, Heros melonggarkan cekalan tangan di pergelangan Helena hingga akhirnya melepaskannya, membiarkan kebebasan kembali dirasakan oleh sang gadis.
Saat ini, Helena mengalungkan kedua tangannya di leher kekar Heros, membiarkan jari-jari lentiknya menyusup ke sela-sela rambut sang pria. Dengan penuh gairah, Helena meremas manja, dan tak berapa lama kemudian, ia menggenggam rambut Heros dengan kuat, lalu menariknya.
Ciuman bibir terlepas. Dengan gesit, Helena menggerakkan kepala dan menghantam wajah Heros dengan keningnya.
Bug!
Sang pria tersentak, tubuhnya terhuyung akibat serangan tiba-tiba dari Helena. Dengan gerakan yang gesit, Helena mengepalkan tangan kanannya, siap melayangkan tinju mematikan ke arah wajah Heros.
Dengan kegesitan yang luar biasa, sang pria menghindar dari serangan Helena. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih lanjut, Helena yang pemberani dengan lincah beralih menyerang bagian tubuh yang lain.
Bug!
"Argh … f*****g s**t!" Erang Heros sambil berjongkok, meraih sang junior yang terasa ngilu akibat serangan kejam dari Helena.
Helena mendekat perlahan, kemudian dengan lincah menekuk tangannya sebelum menjatuhkan pukulan kuat tepat di atas punggung Heros, membuat sang pria menggumam kesakitan.
Bug!
Nyaris jatuh ke lantai, Heros dengan susah payah mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Dengan tatapan tajam, ia menatap Helena. Heros mendelikkan kedua matanya ketika gadis itu mengacungkan moncong pistol yang diambilnya dari dalam mini tasnya ke arah Heros.
Sleeeppp!
"Oh, damn!" Heros melompat menjauh ketika proyektil melesat dari senjata api di tangan Helena. Senjata tersebut beroperasi tanpa suara yang mencolok karena kedap suara.
Tanpa ragu, Helena maju mendekati Heros. Gadis itu tetap gigih meskipun tembakan pertamanya meleset dari sasaran. Dengan mantap, ia kembali melepaskan peluru ke arah Heros.
Sleeeppp!
Untunglah sang detektif tampan berhasil menghindari serangan peluru untuk yang kedua kalinya dengan gesit.
Sadar akan ancaman yang mengintai, Heros dengan gesit mendekat pada Helena. Dengan cepat, ia meraih tangan sang gadis dan berhasil merampas pistol dari genggamannya.
“Hentikan atau ku tembak kepalamu!” desak Heros sambil menekan ujung senjata ke kening Helena.
Sang gadis cantik malah terkekeh pelan. “Aku bersedia bercinta denganmu jika kau mampu melukaiku,” tantang Helena dengan nada menantang.
Heros mengangkat sebelah alisnya, menatap Helena dengan nada meremehkan. "Benarkah?"
“Bahkan aku belum pernah se-serius ini dalam hidupku,” pungkas Helena. “Selama ini, kau hanya bercinta dengan jalang, bukan? Kau seharusnya tahu betapa nikmatnya bercinta dengan seorang gadis perawan. I’m a virgin!”
Glek!
Tiba-tiba, Heros menelan ludah dengan kasar, sementara tangannya tetap memegang erat pistol di kening Helena.
"Apakah kau tertarik?" Angguk Helena dengan tajam.
“Aku…” kalimat Heros terputus saat Helena dengan cepat menangkap pergelangan tangannya.
Mengambil kesempatan saat Heros sedikit lengah, gadis itu dengan cepat merebut kembali pistolnya dari tangan Heros. Dengan gesit, ia mengangkat sebelah kakinya lalu menyerang dengan lututnya di antara kedua paha Heros.
Bug!
“Argh!” Heros mengerang kesakitan sambil menekuk tubuhnya.
Bug!
Setelah Helena menambah pukulan di punggungnya, Heros roboh. Ia tersungkur di lantai, merintih tak berdaya.
Helena mendekat dan jongkok di hadapan Heros sebelum berkata, "Jangan sekali-kali berpikir kau bisa memperdayaku seperti yang biasa kau lakukan pada wanita di luar sana! Aku bukan mereka, dan... aku tak akan ragu untuk membunuhmu, tidak peduli siapapun kau!" Detective TDB?” Helena berdecak remeh sambil menyapu ujung pistolnya di garis wajah Heros dengan penuh keangkuhan. "Di mataku, kau tak lebih dari seorang peternak hewan!" Hinanya sebelum berdiri dan melenggang masuk ke dalam lift.
Mendengar hinaan dari sang Princess Roberto, Heros sontak tertawa sambil berbaring di lantai marmer. Tanpa ragu, ia kemudian bangkit dan berdiri tegap.
"Virgin?" gumamnya, lalu terkekeh.
“Peternak hewan?” Kali ini, Heros tertawa. “Baiklah, baby Helen, sebentar lagi aku akan menunjukkan padamu betapa dahsyatnya hujaman seorang pria yang kau sebut seperti seorang peternak!” Desisnya sambil berlalu menuju sebuah pintu unit apartemen di sana.
Heros membuka pintu akses dan masuk ke dalam. Ternyata, ia memiliki unit apartemen di gedung yang sama dengan Helena. Bahkan, posisi unit mereka bersebelahan, dan kali ini murni karena suatu kebetulan.
Heros menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang luas dengan ukuran king-size. Terbaring dengan posisi terlentang, ia membawa salah satu tangan ke arah antara kedua pahanya.
Menyentuh dengan lembut bagian yang masih agak terasa nyeri, Heros meringis ketika teringat akan rasa sakit yang ia rasakan ketika diserang oleh Helena sebelumnya.
“Dia lebih berbahaya daripada Ibunya,” gumam Heros sambil terkekeh pelan. “Padahal, sekilas dilihat, dia terlihat seperti gadis lugu.” Heros mendesah kasar. “Aku pikir Clarissa adalah satu-satunya wanita yang dingin dan galak, ternyata ada yang lebih berbahaya. Anak macan! Macan perawan!”
Heros tertawa seperti orang gila. Kemudian, ia bangkit dari pembaringan dan berdiri tegak di samping ranjang. Dengan langkah panjang, Heros menuju kamar mandi, masuk, dan melepaskan satu per satu pakaian yang melekat di tubuh atletisnya.
Heros bergerak menuju shower dan berdiri di bawah pancuran sebelum menyalakan kran. Air dingin segera mengalir dan membasahi tubuh telanjangnya.
•
Dengan kasar, Helena menutup pintu mobil. Dengan cepat ia memasang seatbelt di tubuhnya dan menyalakan mesin mobil. Tak lama kemudian, kendaraan itu mulai melaju meninggalkan gedung tersebut menuju Mansion, tempat tinggalnya.
Beberapa menit berlalu, Helena melirik pada arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia mendesah kesal saat menyadari bahwa waktu yang diberikan oleh sang Ibu hanya tersisa lima menit lagi.
“Aku pasti tidak akan sampai tepat waktu. Aku akan terlambat,” gumam Helena sambil fokus memperhatikan jalan.
Helena mengambil sebuah alat komunikasi dan memasangkannya di telinga kanannya. Dengan cekatan, ia mengambil ponsel dari dalam mini bag-nya dan menelepon seseorang.
“Halo, sayang...” suara bariton seorang pria di ujung telepon bergema di telinga Helena.
“Dad…” Helena bergumam sambil fokus pada jalan.
“Ibumu menunggu di teras dengan alat peledaknya. Kau di mana, sayang?” tanya pria itu, yang ternyata adalah Ayah Helena, Riccard Roberto.
Helena meringis mendengar ucapan sang Ayah, "Aku masih di perjalanan. Lumayan jauh, Dad. Aku pasti akan terlambat dari waktu yang diberikan oleh Mom."
"Kamu tidak biasanya begini. Ada apa, sayang?" tanya Riccad.
Helena mendesah kasar sebelum menjawab pertanyaan sang ayah, "Tadi ada orang gila yang merecoki, Dad. Dan sekarang aku butuh bantuanmu."
Setelah itu, Helena mengungkapkan keinginannya pada sang Ayah dan pria tersebut dengan senang hati setuju untuk membantu putrinya. Tak lama kemudian, Helena tiba di Mansion. Namun, kendaraannya berhenti tepat di depan pintu gerbang.
"Permisi, Nona Helen," seru seorang bodyguard menghampiri Helena.
Helena turun dari mobil dan dengan tegas menyuruh bodyguard, "Bawa mobilku pergi. Cepat!"
Setelah mobilnya diambil alih dan diamankan oleh pria tersebut, Helena melangkah ke dalam area mansion yang luas. Dari kejauhan, ia melihat sang ibu berdiri di teras depan, menatapnya dengan tatapan tajam.
Saat Helena menghentikan langkahnya di hadapan wanita paruh baya itu, waktu terasa berhenti sejenak.
"Dari apartemen, berjalan kaki?" tanya Careen pada putrinya, dengan nada sindiran yang sarcastic.
"Tidak. Aku titipkan mobilku pada bodyguard karena aku tahu Mom akan membakarnya," jawab Helena dengan santai. Wajahnya sama persis dengan sang ibu, tanpa ekspresi.
Careen diam dan tetap menatap tajam Helena. Sementara itu, Helena menghela nafas sebelum berkata, "Tadi ada kecelakaan di jalan yang membuat lalu lintas sangat padat. Itu sebabnya aku terlambat."
"Kamu membuat semua orang cemas, Helen. Kamu belum pulih," ujar Careen.
"Aku sudah merasa baik-baik saja, Mom. Hanya demam, dan sekarang tubuhku sudah lebih baik. Oh, ayo lah, jangan terlalu khawatir seperti ini. Aku bukan gadis yang lemah, Mom," ujar Helena dengan tegas.
"Helena!" tegur Careen dengan tatapan tajam pada sang putri, membuat gadis itu seketika menutup rapat kedua bibirnya.
"Apa kamu tidak memahami seberapa khawatirnya orang tuamu?"
"Aku mengerti," jawab Helena sambil melanjutkan, "aku hanya bosan, Mom. Aku menghabiskan waktu sendirian di apartemen, tidur di sana. Tadi aku hanya sebentar bertemu dengan Freya dan Leanor," terangnya panjang lebar.
Tiba-tiba, suara bariton seorang pria terdengar di belakang Careen. "Ada apa ini? Suara kalian terdengar sampai ke dalam," ujar Riccard sambil berhenti dan berdiri di antara sang istri dan sang putri. Ia menatap keduanya bergantian. "Hem? Apa kalian sedang bertengkar?"
"Tidak, Dad. Aku hanya menjawab pertanyaan Mom dan menjelaskan mengapa aku terlambat pulang," jawab Helena sambil melirik sebentar pada Ibunya sebelum melanjutkan, "Aku masuk dulu, aku lapar. Permisi." Kemudian dia melangkah pergi, meninggalkan kedua orang tuanya di situ.
Careen memiringkan tubuhnya dan menatap datar ke arah punggung sempit sang putri. Sementara itu, Riccard menghela nafas panjang.
"Jangan terlalu keras padanya, Careen," tegur Riccard.
Careen menarik pandangannya dari dalam Mansion dan beralih menatap sang suami. "Aku mengajarkan tentang kedisiplinan!" ucapnya dengan nada sarkas.
"Kedisiplinan yang kau terapkan bisa saja membahayakan dia. Bagaimana jika di jalan, dia lupa akan keselamatannya hanya karena mengejar 20 menit yang kau berikan, hem?"
Careen terdiam.
Riccard menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan, "Dia sudah dewasa dan mampu menjaga dirinya. Jangan terlalu membatasi kebebasannya."
Mendengus, Careen desis, "Kamu selalu saja membelanya!"
"Dia adalah putri yang sangat kusayangi, tentu saja aku akan membelanya," sahut Riccard sebelum mendekat pada Careen dan hendak mencium bibir wanita itu.
Careen dengan cepat menghindar, secara tidak langsung menolak kecupan mesra dari sang suami.
"Careen..." panggil Riccard saat sang istri malah masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di sana. "Careen Veronica Roberto!"
"Aku tidak ingin kau menciumku, Roberto!" seru Careen dengan suara tinggi sambil melangkah semakin jauh.
Sementara itu, Riccard terkekeh pelan sebelum akhirnya melangkah masuk dan menyusul sang istri.
***