BAB 2| Penghianatan Fernan

1921 Kata
*** Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit di jalan, Helena tiba di apartemen. Memarkirkan mobilnya di basement, Helena meraih mini bag di kursi di sampingnya. Kemudian, Helena membuka seatbelt dan dengan cepat turun dari mobil. Setelah mengunci kendaraan secara otomatis, ia bergegas melangkah menuju lobby. Helena bergerak menuju lift yang akan membawanya ke lantai 20 tempat unit apartemennya berada. Setelah masuk ke dalam lift, Helena menekan tombol yang sesuai, dan tak lama berselang, lift pun bergerak naik menuju lantai yang dituju oleh Helena. Setelah beberapa menit, Helena tiba di lantai unit apartemennya dan berdiri di depan pintu. Dengan membuka akses pintu, Helena memasuki kediamannya yang penuh dengan privasi. Helena langsung menuju kamar. Setelah melemparkan mini bag di tangannya ke atas ranjang, ia melangkah menuju kamar mandi. Tanpa menutup pintu kamar mandi, Helena membuka pakaiannya dan melepaskan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya hingga akhirnya berada dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benang pun. Helena menuju shower dan berdiri di bawahnya. Setelah membuka keran air, ia membiarkan air dingin mengalir dan membasahi tubuh polosnya. Tak begitu lama kemudian, Helena selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit sebatas paha. Dengan cepat, Helena masuk ke dalam walk-in closet untuk berpakaian dan mengeringkan rambutnya. Setelah selesai dengan semua kegiatannya, ia keluar dari walk-in closet dan menuju ranjang. Tiba-tiba ponsel Helena berdering. Ia menyambar tasnya dan mengambil ponsel di dalamnya. Dengan layar yang menyala, ekspresi wajah Helena tampak sumringah saat melihat nama kontak sang kekasih, "Fernan". “Halo, sayang,” jawab Helena setelah panggilan terhubung, lalu menempelkan ponsel di telinga kanannya. “Halo, honey. Bagaimana keadaanmu?” tanya Fernan di ujung telepon. “Masih sakit?” Dengan senyum di wajah cantiknya, Helena menjawab, “Sudah jauh lebih baik. Sekarang aku di apartemen.” "Tumben di apartemen. Sedang apa di sana?" tanya Fernan. Sejenak, Helena mendesah pelan sebelum menjawab, "Tidak, aku hanya ingin ke sini saja. Tadi habis bertemu dengan Freya dan Leanor." "Oh begitu rupanya. Baiklah, aku hanya ingin memastikan keadaanmu saja, honey. Aku sangat cemas. Aku tidak bisa fokus bekerja karena terus memikirkan keadaanmu," ujar Fernan dengan suara yang penuh kelembutan. Tersenyum, Helena pun membalas, “Kamu selalu terlalu perhatian, Fernan. Meskipun aku hanya demam biasa, tapi … terima kasih atas kepedulianmu.” “Kau bicara apa, honey? Wajar jika aku merasa cemas terhadap kekasihku, calon istriku. Aku yakin semua pria merasakan hal yang sama seperti aku karena aku sungguh mencintaimu,” ujar Fernan terdengar penuh ketulusan. Helena semakin melebarkan senyum, "Sepertinya kondisiku semakin membaik setelah mendengar rayuanmu," ia terkekeh pelan sebelum melanjutkan, "Aku harap rayuan ini hanya untukku saja, bukan untuk wanita lain di luar sana." Helena bergurau dengan penuh keceriaan. Hening ... Fernan tidak langsung menanggapi, membuat Helena terdiam sesaat. Kemudian, Fernan berkata, “Percayalah, aku hanya mencintaimu seorang, Helena. Perjuangan besar bagiku ketika meminta restu orang tuamu.” Helena mengangguk pelan, “Aku tahu. Aku hanya bergurau, Fernan. Kau tidak perlu menanggapinya dengan serius. Aku tahu bahwa kau sungguh-sungguh.” “Hm, jangan pernah ragu padaku. Aku tak pernah menganggap hubungan ini sebagai main-main. Aku ingin serius dan ingin segera meresmikan hubungan kita,” suara Fernan terdengar sangat serius di ujung telepon. “Baiklah, aku percaya padamu. Dan … aku pun tidak sabar, sama seperti kamu,” balas Helena. Namun, kali ini, entah mengapa Helena agak ragu saat mengatakannya. Namun cepat-cepat ia menepis pikiran negatif yang menurutnya tidak jelas. "Oh, iya, bagaimana pekerjaanmu di sana? Apakah semuanya lancar?" tanya Helena. "Semuanya lancar, honey. Mungkin beberapa hari lagi aku baru bisa kembali. Aku harap kamu tidak keberatan," ujar Fernan. “Tentu saja aku tidak keberatan. Kamu sibuk mengurus pekerjaanmu dan aku tahu rasanya. Aku mendukungmu sepenuhnya. Fokuslah pada pekerjaanmu dan ... jangan terlalu khawatir tentang aku. Aku baik-baik saja di sini,” ucap Helena dengan penuh pengertian. “Terima kasih, sayang. Kamu memang sangat pengertian. Aku merasa sangat beruntung memilikimu,” ujar Fernan. Helena tersenyum sebelum akhirnya menyudahi panggilan telepon dengan kekasihnya. Sejenak, dia menatap layar ponsel yang masih menyala sebelum akhirnya mematikannya dan meletakkannya di atas nakas. Helena membaringkan tubuhnya di kasur sebelum menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya. Ia mencoba mengistirahatkan tubuhnya sebentar, dan… Mood-nya agak membaik setelah berbicara dengan kekasihnya tadi. Sementara di tempat lain, di sebuah hotel tempat Fernan menginap selama berada di luar kota, Fernan melemparkan ponselnya agak jauh dari posisinya. Ia duduk di pinggir ranjang dengan kedua kakinya terbuka lebar. Di depannya, seorang wanita bersimpuh dan mendongak padanya. Sebelah tangan sang wanita tengah menggenggam miliknya dan mengurut lembut. Sesekali Fernan mendesis menahan kenikmatan sambil menatap penuh gairah pada sang wanita. "Lain kali, ketika aku sedang berbicara dengan Helena, jangan lakukan apapun," ujar Fernan pada sang wanita dengan suara serak. “Kamu terlalu lama berbicara dengannya, sayang. Aku sampai muak mendengarnya,” ucap sang wanita sebelum menjulurkan lidahnya dan menjilat ujung keperkasaan Fernan dengan gerakan memutar. Fernan mencengkeram sprei dengan kuat sambil memejamkan mata. d**a bidangnya terlihat naik turun dengan cepat akibat deru nafas yang memburu. Gerakan lidah sang wanita saat menggoda keperkasaannya membuat tak tahan ingin menghujam. "Arrgh…" Fernan mengerang ketika sang wanita memasukkan batang keperkasaannya ke dalam mulut hangatnya. Mengulum, menghisap serta memaju mundurkan kepala, membuat batang yang semakin tegang tampak keluar masuk dari dalam mulutnya. Fernan menyatukan rambut panjang sang wanita, lalu membantu memajukan dan mundurkan kepalanya seiring dengan gerakan intens yang tengah dilakukannya. Fernan semakin mengerang nikmat saat sang wanita mengulum dengan cepat dan menghisap ujung keperkasaannya dengan kuat. Tak lama kemudian, Fernan mengerang dalam kenikmatan yang memuncak. "Aahh, Helena..." ia mendesis, mendesahkan nama sang kekasih. Fernan berimajinasi bahwa wanita yang kini memberinya kenikmatan adalah Helena, gadis yang katanya sangat ia cintai. Sang wanita hampir tersedak oleh cairan putih kental yang dimuntahkan oleh rudal bengkak Fernan ke dalam mulutnya. Dia mengusap dagunya dan menjilat sensual di sekitar bibirnya sambil berdiri di hadapan Fernan. “Jujur saja, aku ingin sekali mendengarkanmu mendesahkan namaku, Fer, bukan nama Helena,” ujar sang wanita sambil naik ke atas pangkuan Fernan. Dengan posisinya yang mengangkangi sang pria, dia mengarahkan salah satu buah dadanya ke mulutnya. Sebelum memberikan jawaban, Fernan mengulum p****g sang wanita dan menghisapnya sambil meremas kuat p******a yang lainnya. “Aahhhh…” sang wanita mendesah panjang merasakan kenikmatan dari sapuan lidah Fernan serta hisapan pada putingnya, sekaligus merasakan rasa nyeri ketika pria itu meremas p******a yang lainnya dengan kuat. “Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu,” tegas Fernan setelah menyudahi hisapannya, lalu berdiri sambil meraih pinggang ramping sang wanita. “Karena yang ada dalam pikiranku saat menyetubuhimu hanyalah Helena.” Lanjut Fernan sebelum menghempaskan tubuh telanjang sang wanita ke kasur. Wanita tersebut memekik tertahan dan Fernan dengan cepat mengungkung tubuhnya. “Hanya Helena, karena aku sangat mencintainya,” desis Fernan dengan tegas. Fernan menyangga salah satu kaki jenjang sang wanita dengan sebelah tangan. Mengangkat agak tinggi, lalu… “Aakhhhh…” sang wanita memekik kesakitan saat Fernan memasuki liang kenikmatannya tanpa ampun. “Buka kedua kakimu lebar-lebar dan nikmatilah setiap sentuhan dari ku. Tidak perlu banyak menuntut!” Tegas Fernan sambil mendorong keperkasaannya dan menghentak kuat pinggulnya. “Aahhh, Fernan” desah sang wanita. Jari-jari lentiknya mencengkeram sprei dengan kuat sambil membusungkan dadanya. Wajahnya menengadah ke langit-langit kamar sambil menutup kedua matanya dengan erat. Sementara itu, Fernan mendekatkan wajahnya. Ia menjulurkan lidahnya, menyapu kulit leher jenjang sang wanita, mencium dan menghisapnya dengan penuh gairah. Sementara itu, pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan ritme yang semakin lama semakin ditingkatkan. Tubuh polos sang wanita tersentak-sentak seiring dengan hentakan pinggul Fernan. Sebelah tangan Fernan terulur meraih buah d**a sang wanita dan meremasnya dengan penuh gairah. “Ahhh, honey! Oh, Helena… kau begitu nikmat,” racau Fernan dengan gerakan pinggul yang semakin tak terkontrol. Fernan, pria berusia 28 tahun, adalah kekasih dari Helena. Fernan dan Helena telah menjalin hubungan selama dua tahun dan hubungan mereka telah mendapat restu dari kedua keluarga besar, baik dari keluarga Helena maupun keluarga Fernan. Dan tidak lama kemudian, kedua pihak keluarga telah sepakat untuk meresmikan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius dengan pernikahan. Sementara itu, apa yang Fernan lakukan saat ini bersama wanita lain tidak diketahui oleh siapapun, termasuk Helena dan keluarganya. Selama ini, Helena menganggap Fernan sebagai pria yang baik dan setia. Namun, kenyataannya, pria itu tidak lebih baik dari pria b******k di luar sana. Selama hampir setahun, Fernan terus melakukan seks dengan wanita lain di belakang Helena. Alasannya sungguh tidak masuk akal, Fernan berdalih bahwa Helena tidak mau berhubungan intim dengannya selama ini. Wanita itu tetap pada keputusannya untuk menunggu sampai setelah pernikahan sebelum melakukan hubungan seksual. Fernan sungguh muak dengan pemikiran kolot Helena. Baginya, seks adalah bagian dari kesenangan hidup dan ia tidak melihat ada yang salah jika mereka melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bagi Fernan, keperawanan juga bukanlah hal yang begitu penting. *** Beberapa saat kemudian… Kring! Kring! Kring! Bunyi alarm di meja samping ranjang terdengar nyaring. Meskipun masih dengan kedua mata tertutup rapat, Helena mengulurkan tangan dan mematikan alarm tersebut. Perlahan ia membuka mata, kemudian meraih ponsel dan melihat angka jam di sana. Rupanya sudah malam, tepatnya jam 9. Helena pun mendesah pelan. Mendudukkan tubuhnya di kasur, Helena mundur ke belakang dan menyandarkan punggung pada headboard. Ia menatap serius layar ponselnya dan melihat empat panggilan tak terjawab dari sang Ibu. “Mom…” gumamnya. Keningnya berkerut sambil mengusap-ngusap layar canggih tersebut dengan ibu jarinya, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran. Kemudian Helena menempelkan ponsel di telinga kanan setelah menekan tombol panggil pada kontak sang Ibu. Menunggu sesaat, dan tak berselang lama suara wanita paruh baya itu menggema di pendengarannya. “Apa perlu Mommy mengirimkan seluruh bodyguard yang ada di Mansion ini untuk mencari keberadaanmu, Helena Livy Roberto?” Suara tegas dan garang sang Ibu terdengar di ujung telepon. Helena menghela nafas sambil memijat pangkal hidung mancungnya. Kepalanya tiba-tiba pusing setelah mendengar suara galak sang Ibu, "Aku masih di apartemen, Mom. Aku tertidur," jelaskannya. “Baik. Kalau begitu, Mom akan meledakkan gedung itu sekarang. Hem, lima menit dari sekarang!” Ancam Careen di sana. “Aku akan pulang. Tolong siapkan makanan untukku karena aku sangat lapar,” ujar Helena dengan nada tegas, tanpa ingin berdebat. “Mommy tunggu! Jangan lebih dari waktu 20 menit. Lebih dari itu, Mommy akan membakar mobilmu, kamu dengar?” ancam Careen dengan nada serius. “Iya, aku mendengar,” jawab Helena sebelum menjauhkan ponsel dari telinganya dan menyudahi panggilan tersebut. Sejenak Helena menghela nafas. Bukan bahwa ia kesal terhadap Ibunya, namun Helena berpikir bahwa sikap wanita paruh baya itu terlalu berlebihan. Hanya karena ia sempat demam, sang Mommy bersikap demikian. Sungguh, Helena merasa bingung dengan perlakuan yang ditunjukkan. Helena menyimpan ponsel di atas meja samping ranjang sebelum menurunkan kedua kakinya dari ranjang. Menapak pada lantai yang dingin, Helena berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Helena masuk ke dalam kamar mandi untuk sekadar menggosok gigi dan membasuh wajahnya. Tak lama berselang, Helena selesai dan keluar dari kamar mandi. Ia bergegas menuju walk-in closet. Setelah mengganti pakaian, Helena meninggalkan ruangan tersebut dan menuju ranjang. Sebelum meninggalkan kamarnya, Helena sempat merapikan tempat tidur dengan cermat. Kini, Helena telah keluar dari unit apartemennya. Setelah menutup pintu utama dengan hati-hati, Helena berjalan menuju lift melalui lorong yang sepi. Beberapa menit kemudian, Helena berhenti di depan pintu lift. Dengan mantap, ia menekan tombol yang tersedia di sana dan tak lama berselang, pintu lift terbuka lebar untuknya. Helena tidak langsung masuk ke dalam lift. Dengan kening berkerut, ia menatap sosok pria di dalam lift tersebut dengan penuh curiga. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, menatap pria tersebut dengan penuh selidik. “Tentu saja, untuk menghukummu karena kau telah berani menamparku!” desis sang pria dengan nada tajam. Deg! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN