***
"Bagaimana kabar Helena? Apakah dia sudah sehat dan dalam keadaan baik?" tanya Zion kepada pria di hadapannya, yang tak lain adalah Riccard, setelah menjauhkan cangkir kopi berbahan dasar keramik dari bibirnya dan menyimpan di atas meja.
Zion dan Riccard bertemu di sebuah cafe, duduk santai sambil menikmati secangkir kopi. Pertemuan ini adalah pertemuan biasa sebagai teman, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di waktu senggang bagi keduanya.
Sebelum menjawab pertanyaan Zion, Riccard membawa cangkir miliknya ke bibirnya, menyeruput cairan hitam itu dengan penuh kenikmatan. "Dia baik-baik saja dan hari ini sudah kembali bekerja," ucap Riccard sambil menyimpan cangkir ke atas meja dan membalas tatapan Zion.
"Syukurlah," gumam Zion. "Aku sengaja tidak menghubunginya karena tidak ingin mengganggu," tambah Zion.
Riccard tersenyum, "Seharusnya kau menghubunginya saja. Dia tidak mungkin keberatan jika yang menanyakan kabarnya adalah calon mertuanya sendiri," ujarnya, membuat Zion tertawa pelan.
"Aku jadi tidak sabar untuk menikahkan mereka. Selama ini Mansionku sangat sepi, dan aku membayangkan Helena akan memberiku banyak cucu-cucu yang lucu," ucap Zion sambil terkekeh pelan.
"Kita tidak ada bedanya," timpal Riccard. "Entah kapan Willem akan menikah," tambahnya sambil merenung, mengingat sang putra yang belum menikah padahal usianya sudah 31 tahun.
"Kalau kamu tidak bertindak, sepertinya dia tidak akan menikah dalam waktu dekat," kekeh Zion.
Riccard menatap serius sebelum berkata, "Tidak semudah yang kau bayangkan."
Kali ini, Zion menimpali dengan desahan pelan. Mereka hanyalah orang tua yang berharap melihat anak-anak mereka menikah dan membentuk keluarga. Namun, anak-anak mereka agak sulit diatur, terutama Riccard.
Zion tidak khawatir lagi karena putra tirinya akan segera menikah. Meskipun memiliki seorang putra kandung, kehidupan pria itu bukan lagi urusan Zion.
***
Ocean's Edge Café
Sejenak, Helena menarik pandangannya dari layar laptopnya dan beralih ke ponsel yang baru saja diambilnya dari atas meja.
Helena mengusap layar canggih tersebut dan mencari nama kontak sang Ibu, Careen. Setelah menemukannya, Helena membuka bagian pesan dan mulai mengetik pesan yang siap dikirimkan kepada sang ibu.
Helena: "Aku akan mampir ke apartemenmu sore ini, Mom. Mungkin aku akan menginap disana. Pekerjaanku sangat banyak dan aku ingin fokus menyelesaikannya."
Mommy: "Hem, tapi jangan lupa makan dan minum vitaminmu, sayang."
Helena tersenyum saat mendapat balasan langsung dari sang Ibu.
Helena: "Oke, Mom. Terima kasih!"
Mommy: (mengirim emoji hati)
Setelah bertukar pesan dengan sang Ibu, Helena mematikan layar ponselnya. Ia menghela napas sejenak sebelum memperhatikan laptopnya yang sedang menyala.
Helena menyelesaikan sisa pekerjaan yang belum selesai dengan teliti hingga benar-benar rampung. Setelah itu, ia bersiap untuk pulang ke apartemennya.
Helena membutuhkan waktu dan ruang untuk merenungkan segala yang terjadi antara dirinya dan Fernan. Dengan tekad kuat, ia berusaha mencari cara untuk membuktikan kebenaran atas asumsi sang kakak, Willem, tentang kekasihnya tersebut.
Setelah Helena menghabiskan waktu bersama Caroline, Brianna, dan Maureen, tadi di lantai dasar, ketiganya memberikan solusi yang sama padanya.
Mereka menyarankan Helena untuk memastikan kebenaran tentang hubungan gelap Fernan dengan seorang wanita yang hingga saat ini masih belum diketahui identitasnya oleh Helena.
Saat berlalu tanpa terasa, pekerjaan Helena akhirnya selesai. Ia mematikan layar laptopnya dan merapikan benda tipis itu sebelum melipatkannya. Helena kemudian melanjutkan dengan merapikan beberapa berkas di atas meja kerjanya.
Berdiri dari duduknya, Helena bergerak menuju rak khusus di pojok ruangan. Dengan cermat, ia menyimpan berkas yang baru saja diselesaikannya di rak tersebut dengan rapi.
Setelah itu, Helena kembali ke meja kerjanya. Dia menyimpan ponselnya dalam tas dan meraih kunci mobil yang ada di sana. Dengan langkah mantap, Helena keluar dari ruangan dan menuju lift.
Helena memasuki lift dan turun ke lantai dasar menuju tempat parkir mobilnya. Setelah itu, dia mengemudikan kendaraannya meninggalkan area cafe.
***
Setelah menghabiskan sekitar 20 menit di perjalanan, Helena akhirnya tiba di apartemen. Dengan hati lega, ia memarkirkan mobilnya di basement dan segera turun dari kendaraan tersebut.
Helena melangkah menuju lobby setelah sebelumnya mengunci pintu mobil secara otomatis. Tanpa ragu, ia langsung menuju lift dan memasukinya sebelum menekan tombol untuk lantai tempat unit apartemennya berada.
Ting!
Lift berbunyi dan berhenti, serta pintu yang terbuka lebar menandakan Helena telah sampai di lantai yang dituju.
Deg!
Setelah beberapa langkah meninggalkan lift, Helena berhenti di hadapan seorang pria. "Kamu?" gumamnya dengan ekspresi bingung. Keningnya berkerut saat menatap sang pria.
Sang pria bergeming, menatap terpaku pada Helena.
"Heros, mengapa kamu selalu mengikutiku?! Kamu mau apa, huh?!" amuk Helena, semakin jengah terhadap kehadiran Heros, sang Detective sejuta pesona.
Heros tampak menghela napas pendek sambil memindai pandangan ke sekeliling sebelum akhirnya memfokuskan perhatiannya pada Helena.
"Mengapa kamu selalu menuduh sembarangan, huh?" desisnya sambil berdiri tegak dengan tangan di pinggang di hadapan sang gadis.
"Aku tidak menuduh, tapi nyatanya kamu berada di sini! Kamu sengaja mengikutiku, kan?! Ayo, ngaku!" desak Helena dengan tegas.
“Tidak, itu bukan yang sebenarnya,” tangkas Heros sebelum melanjutkan, “Aku memang tinggal di sini. Aku memiliki unit di gedung ini sejak lama!” Tekannya dengan tegas.
Helena sontak mengerutkan kening. "Memiliki unit di sini? Sudah sejak lama? Kamu jangan coba-coba membohongiku!" tegasnya sambil memberikan peringatan.
"Hmm, tempo lalu kau membuat nyawaku berada dalam bahaya. Karena kau melihatku disini, kau mengira bahwa aku mengikutimu. Padahal di sini adalah tempat tinggalku!" desis Heros dengan nada tegas.
Helena terdiam, menatap Heros dengan tatapan penuh selidik. Rasanya sulit baginya untuk mempercayai pria ini, karena Helena tahu persis seperti apa sosok Heros.
"Dan sekarang setelah kau tahu kebenarannya, kau tidak berniat meminta maaf kepadaku, baby Helen?" Heros mengangkat sebelah alis sambil menatap Helena dengan tatapan nakal.
Sang gadis kemudian menatap dengan jengah.
“Sedari awal, yang membuat masalah bukan aku sebenarnya, tetapi kau!” tambah Heros, semakin memojokkan Helena.
“Aku?” ulang Helena memicingkan mata sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
Mengangguk pelan, Heros menjawab, "Hm. Memangnya siapa lagi! Karena kecelakaan kecil, aku tidak sengaja mencium bibirmu, lalu kau menuduhku dan menamparku di tempat umum. Luar biasa!" Desisnya sambil menjeda sejenak sebelum melanjutkan, "Yang kedua, kau menuduhku mengikutimu hanya karena melihatku berada di tempat ini tanpa mau bertanya lebih jelas dan tanpa mau mendengar penjelasanku. Bagus, Helena Roberto!” temanya diakhir kalimat.
Helena terdiam sambil menggigit bibirnya. Entah apa yang ia rasakan saat ini setelah mendengar ucapan Heros. Hatinya berdebar-debar, campuran antara kebingungan dan rasa bersalah, namun gengsi mengakuinya.
“Dan sekarang, hari ini, sore ini, dan detik ini, kau kembali mengulang hal yang sama, menuduhku! Apa jangan-jangan kau sengaja, huh?" Heros melangkah semakin dekat pada Helena dan berhenti saat posisinya hampir tak berjarak dengan sang gadis galak.
Kali ini Helena tampak keberatan atas asumsi Heros,“Apa yang kamu bilang? Sengaja?” Helena tidak terima. “Jangan sembarangan menuduhku!” desisnya sambil menatap tajam pada Heros.
Sang detective banjingan justru terkekeh pelan. "Bagaimana rasanya dituduh? Menyenangkan atau bagaimana?" tanyanya dengan nada mengejek dan tatapan meremehkan.
Helena kemudian berdecak kesal sambil mengibaskan tangan ke udara. "Sudahlah, kamu tidak usah banyak bicara! Kalau kamu memang benar tinggal di sini, coba sekarang tunjukkan padaku dimana unit apartemen mu berada," tantangnya dengan berani.
“Apa perlu aku tunjukkan kepadamu?” tanya Heros.
“Tentu. Sangat perlu! Karena... selain kamu b******k dan b******n, kamu adalah tipe pria yang tidak bisa dipercaya!” Helena menyuarakan tuntutannya dengan nada tegas dan penuh kebencian.
“Kau bilang apa? b******k dan banjingan, huh?” desis Heros sambil melangkah maju, dan Helena refleks mundur.
Dengan gesit, Heros meraih pinggang ramping Helena dan menekan tubuh sang gadis pada dinding. “Mulutmu sangat pedas, baby Helen,” bisik Heros, kemudian meraih tengkuk Helena dan menyatukan bibirnya dengan bibir kenyal sang gadis.
“Hhmmpptt…"
Helena hanya bisa terdiam, tersentak oleh tindakan tak terduga Heros. Sang detective banjingann kembali memberikan sentuhan pada bibirnya.
***