Naila menaruh telunjuknya di antara bibirnya, memberi isyarat, agar Zayn diam dan tidak berbicara sehingga dapat membuat Brian mendengar mereka. Brian mengangkat telepon dari seseorang, hal itu membuat Naila semakin penasaran.
Zayn hanya bisa menggelengkan kepalanya terheran, ketika melihat tingkah mantan kekasihnya yang sudah seperti anggota FBI yang tengah mencari informasi. Lihat bagaimana matanya dalam mengawasi pacar 6 bulannya.
Zayn mengalihkan pandangannya dan mendapati salah satu pegawainya tengah menatapnya dengan pandangan aneh. Zayn merutuki dirinya sendiri, ini pasti terlihat memalukan. Bagaimana tidak, ia sedang duduk di lantai di belakang meja bersama dengan seorang wanita gila yang tidak kunjung membiarkannya berdiri.
Zayn ingin bangkit berdiri namun Naila langsung menahan nya dengan cara menarik lengan atasnya. "Kau mau kemana, Brian bisa melihatmu."
"Kau membuatku malu di antara para pegawaiku. Biarkan aku berdiri aku tidak akan memberitahu pria itu jika kekasihnya sedang membuntutinya."
"Zayn."Panggil Naila, sekali lagi melarang pria itu untuk berdiri.
"Apa!."
"Eoh."Naila bergeser lebih dekat ke arah Zayn ketika Brian pergi keluar Cafe dan melewati meja mereka.
Aku akan segera ke sana Haewon-ah.
Itulah yang Naila dengar ketika Brian melewati mereka dan mengatakan tentang hal itu di telepon. Itu berarti Brian akan bertemu dengan seseorang. Hal itu semakin membuat Naila penasaran bukan main.
Naila berdiri diikuti oleh Zayn seraya mengebas celananya yang kotor akibat duduk di atas lantai. Naila terus menatap Brian, ia berjalan ke arah pintu seraya bersembunyi di balik pilar Cafe. Zayn mendekati Naila dan berdiri di belakangnya untuk melihat apa yang Naila lihat.
"Mau kemana dia! Memegang ponselnya tapi tidak juga meneleponku."gumam Naila yang membuat Zayn meliriknya.
"Mungkin dia sedang sibuk."Ucapan Zayn membuat Naila menoleh padanya dengan wajah kesal. Apanya yang sibuk, bahkan jika sedang makan pun bisa, kalau dia memang berniat untuk menghubungi Naila.
"Apa itu sibuk menurutmu! Dia bahkan bisa bertemu dengan temannya di Cafe kenapa menelpon ku saja tidak bisa."
Tiba-tiba saja ada sebuah telepon masuk, Naila mengambil ponsel dari dalam saku celananya dan melihat nama Brian di layar ponselnya. Kedua mata Naila melebar terkejut, kenapa bisa kebetulan seperti ini.
Bukannya mengangkat teleponnya Naila malah mengedarkan pandangannya ke arah lain. Seolah mencari-cari sesuatu. Zayn melihat nama Brian di telepon wanita itu, tapi bukannya mengangkatnya dia malah tidak jelas memperhatikan hal lain.
"Tadi kau ingin dia meneleponmu, kenapa sekarang malah tidak diangkat."
Naila beralih menatap Zayn dengan pandangan terheran, sumpah demi apapun Zayn tak mengerti dengan sikap wanita itu. Naila memang sulit dimengerti bahkan ketika mereka berpacaran dulu.
"Bukankah ini aneh, aku baru membicarakannya dan dia meneleponku. Apa dia memasang alat penyadap di sini. Sakit."Rintih Naila ketika Zayn menjitak kepalanya.
"Kau benar-benar terlalu banyak nonton film, sudah ku katakan padamu jangan ikut-ikut keponakanmu yang keseringan menonton Conan. Lihat,.. Kau jadi sedikit gila."
"Siapa yang kau sebut gila!. Ini aneh kau tidak bisa melihatnya."
"Tidak aneh, mungkin saja dia baru bisa meneleponmu."
"Oh kau membela Brian rupanya. Kau itu berada di pihak siapa sebenarnya."Naila melemparkan tatapan sengit pada Zayn dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Bolehkah Zayn marah-marah sekarang, Naila benar-benar menguji kesabarannya.
"Yah mati."sungut Naila heboh ketika melihat sambungan telepon Brian berhenti. Ini semua karena perdebatan konyolnya dengan Zayn. Wajah Naila memberenggut menatap Zayn dengan tatapan kesal.
"Apa! menyalahkanku. Itu karena kau terlalu banyak berpikir tidak jelas. Aku tidak akan membiarkan siapapun memasang benda-benda aneh di tempatku. Lagi pula tidak ada untungnya bagi Brian untuk menyadap pembicaraanmu."
"bisa saja dia melakukannya."timpal Naila kesal. Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi, Brian kembali meneleponnya hal itu membuat Naila bersemangat untuk mengangkatnya.
"Brian, kau dimana?."
"Maafkan aku,.. Jangan salah paham. Wanita itu hanya teman kerja, kami baru saja menemui klien dan rumah kami satu arah."Ucapan Brian membuat Naila terdiam, mencoba mencerna perkataannya. Apakah itu benar, Naila masih ragu.
"Kau dimana? Kenapa baru menelponku, kau tahu aku menunggu teleponmu sejak semalam."Zayn terhenyak mendengarnya, kalimat itu terasa tak asing baginya. Jadi.. inikah yang wanita itu rasakan ketika ia tak memberikan kabar tepat waktu ketika mereka sedang berpacaran dulu.
Ayah Naila mengatakan Naila tak bisa tidur dan marah-marah tidak jelas pagi ini, karena menunggu telepon dari kekasihnya. Zayn mengalihkan pandangannya, menatap mobil Brian yang masih terparkir di parkiran Cafe.
"Aku sedang di luar. Aku akan mengunjungimu nanti sepulang kerja. Kau ada waktu."
"tentu saja ada. Jika kau tidak muncul dan menjelaskannya secara langsung aku akan benar-benar marah."
Brian tertawa di sebrang sana, membuat senyum mengembang di bibir Naila.
"Baiklah. Kau sedang apa? Kau di rumah?."
Pertanyaan Brian membuat kedua mata Naila membulat sempurna. Ia menjauhkan teleponnya dari telinga dan menatap Zayn kebingungan.
"Aku dimana?."
"Di Mars, kenapa kau tanya aku. Menurutmu kau dimana. Apa kau tidak bisa membacanya?."Zayn menunjuk logo Cafe Evanio yang berada di area meja kasir dengan tatapan kesal. Naila menganggukan kepalanya dan kembali ke telepon untuk menjawabnya, namun ia urungkan ketika sadar akan sesuatu.
"Brian akan tahu aku membututinya jika dia mendengar dimana aku berada bodoh!."
"Bodoh,"ucap Zayn mengulangi apa yang Naila katakan tentang dirinya. Dasar wanita itu. "Jawab saja terserah kau, kenapa tanya aku."Gerutu Zayn kesal, siapa yang tak kesal ketika kau dikatakan bodoh. Naila benar-benar membuatnya emosi bukan main.
"Aku di sebuah Cafe, tapi aku lupa namanya. Cafe ini buruk sekali."Bolehkah Zayn mengusirnya dari sini, bisa-bisanya Cafe sebagus ini dikatakan buruk. Apa dia tidak tahu Cafe ini di beri bintang lima oleh banyak kritikus.
"Bersama dengan temanmu?."pertanyaan Brian membuat Naila melirik Zayn sinis.
"Tidak bisa dikatakan teman juga."jawab Naila yang membuat Zayn berdecak, tak percaya mendengar apa yang wanita itu katakan.
"Eum.. kalau begitu sampai nanti, aku harus pergi ke suatu tempat."
"Kau mau kemana?."
"Ke rumah.. bibiku, keponakannya sedang sakit dan memintaku untuk ke sana."Naila terdiam untuk beberapa saat sebelum mengatakan Ya dengan suara ditarik-tarik.
"Sampai nanti."
Ponselnya di tutup, hal itu membuat Naila semakin dibuat penasaran. Ia tak percaya dengan apa yang Brian katakan. Bak elang matanya kembali mengawasi gerak-gerik Brian. Mobilnya menyala dan mulai bergerak untuk pergi. Ketika mobil itu melaju untuk keluar dari area Cafe, Naila menarik tangan Zayn untuk sama-sama melihat kemana Brian pergi.
"berhenti menarik tanganku."ucap Zayn lalu melepaskan tangannya yang digenggam Naila.
"Bantu aku membuntuti Brian."
"Tidak mau."Tolak Zayn yang membuat Naila menatap Zayn protes.
"Hei Zayn Evans. Apa kau tidak kasihan padaku."
"Aku tidak mau masuk ke dalam urusan percintaan kalian."
"Apa kau cemburu!."
"Apa kau sudah gila."timpal Zayn yang membuat Naila menahan tawa.
Zayn mengalihkan pandangannya ke arah lain. Begitu pula dengan Naila yang kembali memperhatikan mobil Brian yang akan berbelok ke jalan trotoar.
"Zayn. Ayo cepat atau kita akan kehilangan Brian." Zayn tidak peduli, ia malah berjalan masuk dan meninggalkan Naila sendirian.
"Kau mau kemana? Tolong bantu aku."Naila berjalan membuntuti Zayn yang akan masuk ke dalam Cafe, langkahnya terhenti ketika seorang tamu Cafe berjalan keluar dari dalam.
Zayn menyingkir dari badan jalan agar kedua wanita itu bisa keluar. Sementara Naila mengikuti apa yang Zayn lakukan, berdiri di belakangnya seperti seorang itik yang mengikuti induk semang.
"Tidak mau. Aku tidak mau ikut dalam permainan kekanak-kanakan mu itu. Jika dia selingkuh maka cari saja pria lain. Jangan merepotkan ku."
"Uangku tidak bisa menyewa taksi untuk membuntuti Brian sepanjang perjalanan. Jika aku bisa maka aku akan beli mobil dan menyetirnya sendiri."
Zayn membalikan tubuhnya dan menatap Naila tajam. Dahinya mengerut, kedua tangannya terkepal menahan emosi. Zayn mencoba menghilangkan emosinya, tapi cukup sulit karena dia terlalu marah.
"Kalau begitu putuskan dia. Apa kau tidak bisa memilih pria yang lebih baik. Jika dia selingkuh maka ya sudah, tinggalkan dia. Apa kau tidak punya harga diri dengan mengemis cinta padanya, seolah hanya dia pria yang dapat kau kencani."
"Karena aku mencintainya." Ucap Naila dengan bibir bergetar menahan emosi. Hal itu membuat Zayn bungkam. Hatinya tertegun, namun ada rasa lain, sedikit pedih ketika mendengar hal itu.
Naila merasa hatinya memanas, matanya mulai berkaca-kaca. Ucapan Zayn benar-benar melukai harga dirinya.
"Kau benar-benar keterlaluan."gerutu Naila berpaling dari hadapan Zayn seraya menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya.
Baiklah jika Zayn tidak mau, Naila akan naik taksi tidak peduli uang nya akan terkuras karena mengikuti Brian. Ia terlalu penasaran, perselingkuhan bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan. Naila berdiri di pinggir jalan untuk menyetop taksi, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya. Naila kenal siapa mobil tersebut, mobil yang baru saja ia tumpangi. Zayn membuka pintu mobil nya agar Naila bisa naik, tapi wanita itu hanya diam dan membuang arah pandangnya ke arah lain.
"Naiklah aku akan membantumu."seru Zayn namun wanita itu tetap diam seolah tak melihatnya di sana." Aku minta maaf. Ucapanku kasar. Sekarang naiklah sebelum Brian pergi lebih jauh lagi."
Naila tetap tidak peduli, Zayn merasa begitu frustasi. Ya dia kasar dan juga sudah minta maaf. Tapi Naila tetap tidak mau memaafkan nya dan naik dengan segera. Wanita merepotkan.
"Baiklah, aku akan membelikan mu baskin Robbins Freshly 24."
"Jika kau berbohong mati kau."ucap Naila kelewat cepat. Bibir Zayn berkedut menahan tawa, ternyata wanita itu tidak berubah. Kesukaannya masih sama seperti 2 tahun lalu.
"Ayo berangkat."