Episode 6 : Kesempatan dan Ketegasan

2143 Kata
Episode 6 : Kesempatan dan Ketegasan *** Kesempatan, Sasmita memberikannya dua hari kemudian. Sasmita memutuskan pulang. Malam ini, sepulang kerja layaknya biasa, Rarendra menyusul ke kontrakan Giani dan membawa Sasmita berikut ranselnya, bersamanya. Giani ada di sana ditemani Adi, melepas Sasmita dengan perasaan gamang. Giani takut, Sasmita kembali terluka karena Rarendra kembali menorehkan luka. “Kok rasanya seperti melepas anak perempuan sendiri, yah, Di? Apalagi, aku juga turut andil dalam keputusan Mita.” Linangan air mata Giani, menorehkan isi hatinya yang dipenuhi kekhawatiran terhadap Sasmita. Adi menghela napas pelan seiring sebelah tangannya yang merangkul punggung sang kekasih. “Enggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di depan. Tapi kita harus percaya, sebaik-baiknya rencana manusia, rencana sekaligus garisan takdir Tuhan, lebih baik dari segalanya. Dan kalaupun Sasmita justru kembali terluka, tentu itu juga tetap menjadi yang terbaik untuk Sasmita. Tentunya, Tuhan sudah memiliki yang lebih baik dan hanya menunggu waktu yang tepat kapan Sasmita bisa memilikinya.” Meski apa yang Adi katakan benar, Giani tetap tidak bisa tenang. Apalagi Giani paham, Sasmita berjuang sendiri. Benar-benar sendiri karena keluarga bahkan orang tua yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan utama seseorang, justru menjadi sumber utama luka dari seorang Sasmita. *** Kontrakan Rarendra dalam keadaan kurang terawat. Memang tidak berantakan, tapi hampir semuanya berdebu. Meski merasa lelah dengan sederet pekerjaan kantor yang sudah menguras waktu berikut tenaganya, Sasmita tetap menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.  Sasmita langsung membersihkan semuanya. Tak hanya meja dan kursi yang dilap, sebab piring berikut gerabah di rak dan turut berdebu, juga Sasmita bereskan. Tanpa terkecuali, seperangkat sprei berikut selimut yang langsung Sasmita ganti. Sasmita benar-benar melakukan semuanya, karena besoknya, Sasmita tidak ada waktu luang dan memang harus bekerja sejak pagi.  Tak tinggal diam, Rarendra juga turun langsung mengepel lantai, sebelum kemudian menjemur setiap pakaian berikut selimut dan sprei yang Sasmita cuci menggunakan tangan. Dan ketika Rarendra menjemur semuanya di gantungan teras kontrakan mereka tinggal, Sasmita juga bergegas mandi menggunakan air hangat yang sebelumnya sudah Rarendra siapkan. *** Hingga detik ini, mereka masih belum saling bicara. Mereka tak ubahnya orang asing yang dipaksaa untuk tinggal bersama. Sedangkan untuk makan malam, Rarendra memesan nasi goreng melalui aplikasi online. Nasi goreng kesukaan Sasmita. “Ta …?” Rarendra menatap sendu Sasmita yang duduk di hadapannya. Mereka makan di ruang depan, di meja, tapi duduk di tikar dan saling berhadapan. Sasmita masih mendiamkan Rarendra. Tak hanya belum bicara, karena menatap saja, Sasmita dengan rambutnya yang masih setengah basah, tidak melakukannya. Sasmita masih menunduk, menatap kosong nasi goreng yang masih memenuhi piringnya. “Kamu mau makan apa?” tanya Rarendra yang juga menjadi tidak berselera makan. Ia meletakan sendok berikut garpunya lantaran Sasmita terlihat sangat tidak berselera. Padahal, nasi goreng yang Rarendra pesan merupakan makanan favorit Sasmita. “Aku enggak lapar, Mas,” balas Sasmita akhirnya, meski tanpa menatap Rarendra. Rarendra yang telanjur menyodorkan ponselnya ke hadapan Sasmita, berkata, “Pesan saja, kamu mau makan apa? Pilih yang masih buka.” Sesaat setelah menatap layar ponsel Rarendra, Sasmita juga menatap pemiliknya. Sasmita menggeleng tak bersemangat. Semuanya terasa hambar bahkan asing. Ketidaknyamanan yang Sasmita rasakan membuatnya merasa begitu sungkan kepada Rarendra yang biasanya menjadi satu-satunya tempatnya bermanja. “Enggak, Mas. Aku beneran enggak laper. Ini, aku simpan di kulkas saja, buat sarapan besok.” Ketika Sasmita nyaris beranjak, Rarendra mencekal salah satu pergelangan tangan Sasmita, di mana perlahan, cekalan tersebut berubah menjadi genggaman penuh rasa sayang dan sukses membuat Sasmita terdiam. “Biar aku saja yang simpan. Kamu mau aku buatkan teh manis sekalian?” ucap Rarendra. Tanpa menatap yang bersangkutan, Sasmita yang masih bungkam berangsur mengangguk. Sasmita pasrah lantaran ia tidak tahu harus berbuat apa? Sekitar empat menit kemudian, Rarendra kembali dengan dua buah cangkir teh manis. Berbeda dari kebanyakan orang, teh manis buatan Rarendra selalu dalam keadaan bersih sekaligus hangat, kendati pria itu tidak memakai teh celup. Rarendra membuatnya dengan cara berbeda dan dikata pria itu, agar bisa langsung dinikmati tanpa harus menunggu.  Dan berbeda dari sebelumnya, kali ini Rarendra justru duduk di sebelah Sasmita sesaat setelah pria itu meletakan kedua cangkir berisi tehnya di meja. Tak seperti biasa, kali ini Rarendra juga sampai mendekap Sasmita. Sebuah kenyataan yang membuat Sasmita menitikkan air mata. Setelah apa yang terjadi dan sampai membuat pikiran Sasmita kacau, Sasmita bahkan nyaris kehilangan selera hidup, apa yang Rarendra lakukan sungguh membuat Sasmita terenyuh. Memang tanpa kata, tapi setiap ciuman berikut sentuhan yang Rarendra layangkan menjamahi tubuh Sasmita, menegaskan pria itu begitu takut kehilangan Sasmita. Dan Sasmita berpikir, Rarendra benar-benar menyesal. “Ta …?” panggil Rarendra lirih. Sasmita yang hingga detik ini belum berani menatap Rarendra, berangsur menyeka air matanya menggunakan kedua jemari tangannya. “Aku mau langsung tidur, Mas. Sudah malam. Besok, sebelum pukul tujuh, aku sudah harus di kantor. Ada proyek yang harus dibahas lebih awal,” ucap Sasmita masih belum menatap Rarenda. Rarendra yang masih menatap Sasmita, mengangguk-angguk paham. “Minum dulu tehnya, habis itu kita tidur. Aku masukin motor dulu.” Sasmita mengangguk paham, masih belum berani menatap Rarendra. Sebelum Rarendra kembali, bahkan Rarendra masih menuntun motornya untuk masuk, Sasmita sudah berlalu sembari membawa dua cangkir bekas teh mereka dan isinya sudah tandas. Rarendra melepas kepergian sang istri dengan tatapan penuh sesal. Tak seperti biasa, kali ini Rarendra juga langsung tidur di belakang Sasmita dan mendekapnya erat. Sasmita refleks terjaga, membuka matanya detik itu juga. Apalagi, tak lama setelah itu, Rarendra juga menyesap leher Sasmita dan membuat Sasmita menggeliat menahan geli bersama rasa aneh yang seketika menguasai. Rahim Sasmita sampai bergetar karenanya. Dan bisa Sasmita pastikan, ada bekas yang tertinggal di lehernya. “Ta, aku tahu kamu belum tidur.” Sasmita tak menjawab. Matanya masih sibuk bergetar mengiringi detak jantungnya yang kacau karena biar bagaimanapun, apa yang Rarendra lakukan beberapa saat lalu, merupakan yang pertama kali Sasmita dapatkan.  “Kita pindah, yuk?” bisik Rarendra kemudian sambil sesekali menciumi tangan kanan Sasmita dan masih didekapnya erat dari belakang. Tempat tidur di hadapan Sasmita dan biasanya ditempati Rarendra, masih kosong. “Pindah gimana?”  “Pindah rumah. Rencananya, aku ingin beli rumah. Minggu apa Sabtu sore, kita lihat-lihat dulu. Kamu yang pilih.” Sasmita tak menjawab. Jangankan rumah, tinggal di kolong jembatan saja, asal masih bersama Rarendra, Sasmita nyaman-nyaman saja. Memang sebodoh itu Sasmita. Hingga untuk berharap saja, kini Sasmita sudah langsung takut terluka. Namun kata Giani, Sasmita harus tegas bahkan posesif. Tak hanya kepada Rarendra, melainkan Suci dan keluarga mereka. **** Keesokan harinya, suara cukup berisik yang terdengar dari dapur, membuat Rarendra terbangun. Pria itu refleks tersenyum, menikmati suasana tempat tinggalnya yang kembali hidup. Sasmita sungguh sudah menghidupkan tempat tinggal mereka, beda ketika wanita itu tidak ada. Masih sekitar pukul lima pagi, ketika Rarendra memastikan waktu melalui jam dinding yang menghiasi petak kamar mereka. Meski masih berat, ia berangsur bangkit menuju dapur yang jaraknya tak seberapa, sekitar lima meter, dengan langkah terseok. Dekapan yang tiba-tiba Sasmita dapatkan dari belakang sukses membuat wanita itu tercengang. Jantungnya seolah lepas detik itu juga, bersama dirinya yang juga refleks lupa bernapas.  “Kalau memang enggak keburu masak, enggak apa-apa. Kita masih bisa makan di luar, kan? Nanti kalau ada waktu senggang, baru. Lagian kamu kan belum lama tidur.” Suara Rarendra terdengar masih serak. Dan ketika Sasmita pastikan, suaminya itu berbicara dengan mata yang masih terpejam, tampak masih sangat mengantuk. Mungkin karena semalaman tadi, ia telah membuat pria itu terjaga sebab tamu bulanan kali ini sukses membuat perut Sasmita terasa sangat sakit. Seperti ada banyak benda tajam tak kasat mata di perut bahkan rahim Sasmita, yang dengan keji melukai. Hanya saja, mengenai masak dan bekal yang baru saja Rarendra bahas, kenyataan itu membuat Sasmita yang sedang dalam zona sensitif, teringat dengan kebiasaan Suci maupun Rarendra di belakangnya. Keduanya kerap makan bersama. Entah menyantap bekal, makan di rumah, atau malah … lebih. Sasmita refleks menelan salivanya. Merasa dongkol, kemudian meninggalkan bawang merah yang awalnya tengah ia iris di atas talenan. Dengan berat dan sambil mengatur napas pelan, ia bertanya, “Jadi, bekal-bekal yang selama ini aku buat, sebenarnya Mas makan, apa buang?” Menunggu balasan Rarendra, sukses membuat napas Sasmita menjadi semakin pendek bahkan terbatas. Sakit, sesak, emosi, semua itu menyiksa Sasmita. “Kenapa kamu ngomong begitu?” Suara Rarendra tak seserak sebelumnya. Kini suaranya cenderung terdengar sadar bahkan serius. “Karena aku lihat sendiri, Mbak Suci sering nemuin Mas ke kantor. Mbak Suci bawa bekal sedangkan Mas juga rutin antar jemput Mbak Suci. Itu baru sedikit fakta yang aku tahu, belum yang lebih.” Semakin ditahan, semakin sakit pula hati Sasmita. Dengan mata yang menjadi dikuasai rasa panas dan dirasanya sudah sampai basah, Sasmita menyingkirkan kedua tangan Rarendra. Rarendra menolak melepaskan Sasmita dan semakin mengeratkan dekapan. “Iya, aku salah, Ta.” Balasan Rarendra seolah membuat bagian dalam dadaa Sasmita kembali terlepas. Entah itu kepingan jantung yang patah, atau malah kepingan hati yang telanjur retak bersama kenyataan hubungan Rarendra dengan Suci yang Sasmita ketahui.  “Tapi pengakuan Mas juga enggak bisa nyembuhin sakit yang aku rasakan, Mas. Seandainya memang iya, kenapa juga enggak dari awal? Kenapa dari awal, Mas enggak nikah sama Mbak Suci saja?” Rarendra bungkam.  “Mas bahkan selalu diam kalau aku bahas. Mas sama sekali enggak ada ketegasan. Yakin, masih mau mempertahankan kesempatan?” “Kita fokus ke kita saja.” “Tapi aku saja enggak yakin ada ‘kita’, Mas. Aku hanya ingin ketegasan Mas. Karena jika terus begini, yang ada kita hanya saling melukai. Semuanya masih sama, aku bebasin Mas. Hanya saja, jika memang Mas enggak sepenuhnya ke aku, Mas lepasin aku dulu.” “Ta ….” “Keinginanku sederhana, kok, Mas. Sedangkan setelah apa yang terjadi, aku juga harus lebih berbenah diri. Jangankan orang lain, orang tua bahkan saudaraku saja, tega. Dari dulu, memang sudah begini, kan? Itu juga yang bikin aku berharap banyak kepada Mas. Mas datang dengan banyak perhatian yang selama ini enggak pernah aku dapatkan bahkan dari orang tuaku sendiri. Tapi ternyata, terlalu berharap juga membuatku semakin terluka. Kecewa.” “Jadi, apa yang harus aku lakukan, kalau pun pengakuan dan permintaan maafku enggak bisa mengobati lukamu?” tanya Rarendra kemudian. Sasmita yang sudah berlinang air mata, menghela napas dalam. “Kalau pun aku meminta ketegasan Mas, kita duduk bersama orang tua kita bahkan Mbak Suci, Mas mengakui kesalahan Mas dan janji enggak akan mengulangi, aku juga enggak yakin itu bisa jadi jaminan semuanya enggak akan terulang ….” Sasmita mengembuskan napasnya melalui mulut. “Ya sudah Mas, ini masih terlalu pagi. Aku enggak mau yang lain berspekulasi aneh, gara-gara mataku bengkak lagi.” Sasmita hendak kembali meraih bawang merah berikut pisaunya, ketika Rarendra berkata, “ya sudah, sepulang kerja, kita ke rumah orang tua kamu.” Sasmita tidak tahu, apakah dirinya patut senang karena akhirnya Rarendra memberikan sinyal baik, atau justru sebaliknya? Kenyataannya yang sedang sangat sensitif, membuat Sasmita sulit berpikir jernih. “Kita fokus dengan kemauanmu. Asal kamu bahagia dan aku bisa menebus kesalahanku,” bisik Rarendra sembari menghujani kepala Sasmita dengan kecupan. Sebuah kenyataan yang menjadi kesibukannya semenjak malam tadi. “Terus, sampai sekarang Mas masih komunikasi sama Mbak Suci?” Sasmita sungguh tidak bisa mengontrol mulutnya untuk tidak bertanya. Rarendra yang masih mengunci kepala Sasmita dengan ciuman, mengangguk-angguk. Sasmita bisa merasakannya.  “Kapan terakhir kalian berkomunikasi?” tanya Sasmita lagi. “Pagi pertama saat kamu pergi. Aku menghubunginya, menanyakan keberadaanmu. Setelah tahu kamu enggak pulang ke rumah orang tuamu, aku enggak menghubunginya lagi.” “Tapi Mbak Suci masih menghubungi Mas?” sergah Sasmita cepat tanpa memberi jeda terhadap balasan Rarendra. Rarendra berdeham, dan Sasmita artikan, pria itu membenarkan anggapannya. Sasmita refleks menelan salivanya bersama rasa kecewa tak terbendung yang mengiringi. Kembali ia merasa dongkol luar biasa, akibat hubungan Rarendra dan suci. “Kalian salah. Sudah tahu kalian ada rasa, masih saja diam-diam di belakangku, padahal Mas saja selalu menghindariku.” “Selama ini, hubungan kita enggak lebih dari tinggal bersama dan terikat dalam status, kan? Bahkan mungkin karena Mbak Suci juga, Mas menolakku, Mas hanya menjadikanku istri pajangan?” “Mungkin orang-orang menganggap kita sebagai pasangan yang bahagia, apalagi sekadar pulang larut dan diantar oleh pria saja, orang-orang akan berpikir telah terjadi macam-macam. Jujur saja, semua yang terjadi semakin membuatku yakin, bahwa dari awal, semuanya memang sudah enggak beres.” “Meski aku kecewa berat sama Mbak Suci, sebagai laki-laki, harusnya Mas tegas dari awal. Mas yang paling salah apalagi Mas sudah berani menikahiku!” Sasmita masih berucap tegas. “Jangan memintaku untuk enggak marah apalagi enggak membahas yang sudah-sudah. Kalian apalagi Mas enggak tahu betapa sakit bahkan traumanya aku gara-gara apa yang kalian lakukan, kan?” Sasmita menghela napas dalam sambil terpejam pasrah. “Iya, Ta. Aku salah. Aku akan memperbaiki semuanya!” ucap Rarendra tegas dan terdengar berat. Sasmita memalingkan wajah dan menepis keberadaan wajah Rarendra yang masih tidak mau melepaskannya. Dalam benaknya, Sasmita bertanya-tanya, mampukah ia kembali percaya kepada Rarendra walau hanya sedikit, dikarenakan Sasmita yakin, mengakhiri hubungan mereka, bisa menjadi solusi terbaik? Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN