Episode 7 : Alasan dan Keputusan

1748 Kata
Sasmita melepas helm-nya dengan tidak bersemangat. Suasana sudah semakin gelap diiringi adzan maghrib yang masih mengalun syahdu, menorehkan sedikit ketenangan bagi Sasmita yang hingga detik ini masih merasa kacau. Sebuah rumah sederhana yang memiliki dua lantai dan menjadi pemberhentian motor Rarendra, tampak begitu menakutkan bagi Sasmita yang memandanginya. Sesuai rencana, sore menjelang malam kini, mereka yang baru pulang kerja, memang berkunjung ke kediaman orang tua Sasmita. Rarendra yang masih merasa serba salah, merasa sangat bersalah kepada Sasmita, mencoba membantu Sasmita dalam melepas helm. Namun, masih seperti seharian ini, Sasmita masih menolaknya. Wanita itu mundur, menjaga jarak kemudian berlalu ke belakang sesaat setelah meletakan helm-nya di atas tempat duduk motor. “Ta, ayo masuk. Magrib, pamali.” Rarendra yang sudah melepas helm-nya dan meletakkannya di tempat duduk motornya, menyusul Sasmita.  “Mas duluan saja. Bukankah Mas sudah biasa datang ke sini? Biasa saja. Anggap saja aku enggak ada kayak biasa,” ucap Sasmita tak bersemangat sembari jongkok dan menatap sedih kaktus yang menjulang tinggi di hadapannya. Tinggi kaktus tersebut sekitar satu meter. Rarendra refleks menelan salivanya. Bergegas ia menyusul Sasmita dan sampai ikut jongkok di sebelah Sasmita. “Kaktus ini hadiah dari Gia. Aku masih ingat, tiga tahun lalu. Gia kasih ini ke aku pas ….” Sasmita tak kuasa melanjutkan ceritanya. “Pas apa ...?” tanya Rarendra penasaran. “Aku disidang, gara-gara pulang subuh-subuh sama mantan.” Sasmita merasa kurang nyaman dengan cerita yang baru saja ia sampaikan. Bahkan, ia menjadi tak enak hati kepada Rarendra.  “Memangnya kalian ngapain saja, subuh-subuh baru pulang apalagi sama mantan?” tanya Rarendra yang memang penasaran. Ia mendongak lantaran Sasmita justru beranjak. Tanpa menatap Rarendra dan masih memasang wajah sebal, Sasmita berkata, “Waktu itu, kami masih pacaran. Ngapain juga Mas tanya, kalau ujung-ujungnya Mas pasti mikirnya ke mana-mana? Tapi maklum, sih. Jangankan Mas, orang tuaku saja enggak percaya. Padahal tanpa pertolongan dia, pasti aku sudah enggak ada.” Rarendra mendengkus dan merasa agak jengkel. Dadanya terasa sesak, sakit. Rarendra berpikir, apakah dirinya cemburu kepada mantan yang sedang Sasmita ceritakan? “Ya sudah, besok kalau aku ketemu sama mantanmu itu, aku mau ngucapin terima kasih. Tanpa dia, kita enggak mungkin ketemu, kan?” “Bahkan aku enggak yakin, dia masih hidup apa enggak? Lagian, kalau dia tahu kelakuan Mas udah nyakitin aku, bisa jadi Mas langsung abis sama dia.” Selain Sasmita yang masih menanggapi Rarendra dengan sinis, Rarendra juga tak berani membalas apalagi berkomentar lebih dikarenakan pria itu sadar, dirinya salah. Dirinya telah melakukan kesalahan fatal. Sadar Rarendra sudah kehabisan kata-kata, Sasmita memutuskan berlalu. Sasmita belum sempat melangkah, tapi suara langkah cepat dan lama-kelamaan terdengar seperti langkah lari, terdengar mendekat. Kenyataan tersebut sukses membuat jantung Sasmita berdetak lebih cepat, dikarenakan Sasmita merasa belum sepenuhnya siap menghadapi orang tuanya, apalagi Suci. Ketegangan menyergap Sasmita yang sampai refleks menahan napas, selain Sasmita yang juga sampai gemetaran. Sasmita dapati, Suci yang mendadak menghentikan langkah larinya. Wanita berhijab dan kali ini mengenakan gamis warna ungu muda tersebut mendadak kehilangan senyumnya, tak lama setelah tatapan mereka bertemu. Sasmita berpikir, apakah kakak perempuannya itu terkejut bahkan kecewa, karena Sasmita turut datang bersama Rarendra? “Berasa jebakan batman, ya?” ucap Sasmita ketus sesaat sebelum memalingkan wajah berikut pandangannya dari Suci. Sasmita melipir menuju sekat taman di seberang. Sebuah pot besar berisi bunga Euphorbia dan sudah menjulang cukup tinggi, menjadi tujuannya. “Ta, jangan asal sentuh. Itu banyak durinya!” tegur Rarendra sambil melangkah cepat menyusul Sasmita tanpa bisa menyembunyikan kekhawatirannya.  Suci refleks menatap lemas Rarendra yang terlihat jelas mengkhawatirkan Sasmita. Sementara itu, Sasmita tak jadi menyentuh bunga penuh duri di hadapannya. “Duri yang kelihatan, jauh lebih baik dari duri yang tersembunyi, kan, Mas? Sama halnya dengan luka berdarah dan luka enggak berdarah, kan? Luka berdarah, semua orang pasti bisa tahu. Tapi luka enggak berdarah? Hanya orang yang merasakannya saja yang mengetahuinya.” Sasmita sengaja menyindir. Ia menoleh dan menatap Rarendra sebelum mengalihkan tatapannya kepada Suci. Seperti dugaannya, kedua sejoli itu langsung celingukan, selain Rarendra yang seketika berhenti melangkah. Beberapa saat kemudian, setelah kebersamaan menjadi diselimuti kesunyian sekaligus kecanggungan, Rarendra berdeham. “Ya sudah, ayo kita masuk,” ucap Rarendra yang sampai mengulurkan tangan kanannya kepada Sasmita. Sadar Sasmita akan kembali bersuara bahkan fatalnya kembali menyindir, Rarendra berkata, “Mita … ayo. Katanya kamu capek, pengen cepat-cepat pulang dan istirahat? Ayo, kita selesaikan di dalam.” Sasmita yang masih bersedekap dan kali ini tak lagi memunggungi kebersamaan, berkata, “Tapi sekarang, … sekarang aku jauh lebih ingin melihat apa yang kalian lakukan, jika kalian diam-diam bertemu di belakangku!” Sasmita tak kuasa membendung kesedihan sekaligus air matanya. Bahkan, ia terisak-isak menatap kecewa Rarendra maupun Suci, silih berganti. Kini, dengan d**a yang terasa semakin sesak, Sasmita menengadah. “Banyak yang bilang, … banyak yang bilang hubungan terlarang pasangan yang sudah menikah tak hanya cukup bergandengan tangan atau bermesraan, … melainkan ….” “Sasmita, jaga ucapanmu!” bentak Sarnia yang kebetulan baru datang tapi sempat menyimak. Ia menatap Sasmita penuh kecewa apalagi di waktu yang sama, Suci sampai menitikkan air mata, meski air mata Sasmita jauh lebih deras dari air mata Suci. “Suci wanita baik-baik!” tegas Sarnia kemudian. “Sebobrok itu kah, aku di mata kalian?! Seenggak berguna itu kah, aku di mata kalian?” lantang Sasmita yang telanjur kecewa. Ia menghela napas dalam, merasa sangat sakit lantaran untuk ke sekian kalinya ia diperlakukan tak adil oleh keluarga bahkan orang tuanya sendiri. “Semuanya sudah jelas. Dan rumah ini yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman, benar-benar menyeramkan! Mungkin kurang lebih seperti ini, suasana neraka!” tegasnya. “Iya. Iya, aku yang salah, aku terima, dan aku mengalah!” Sasmita berlalu dari sana bersama luka yang teramat sulit ia jelaskan. Namun, Sasmita bersumpah akan menjadi orang yang patut dibanggakan. Orang yang tidak terus menerus dipandang sebelah mata bahkan kerap disamakan dengan sampah yang tak bisa didaur ulang. “Jika kalian enggak menginginkan aku, kenapa kalian membiarkan aku tetap ada bersama kalian? Kenapa kalian enggak melepasku dan membiarkanku pergi saja?” batin Sasmita di tengah isaknya. Sasmita akan berjuang dan membuktikannya, ia yang selalu dipandang sebelah mata bahkan oleh orang tuanya sendiri, pasti bisa menjadi pusat perhatian, secepatnya! “Ta … Sasmita?” panggil Rarendra. Namun Sasmita terus melangkah cepat sambil mendekap erat tote bag hitam yang menghiasi pundak kanannya. Rarendra segera memboyong motornya. Ia berniat menyusul Sasmita. “Ren …?” tegur Sarnia berusaha menahan. Tatapan Sarnia menjadi goyah dipenuhi kekhawatiran. Sarnia mencemaskan Suci yang kerap ia tatap dan hingga detik ini masih bungkam. Suci kian menunduk dalam di tengah air matanya yang sibuk berlinang. Sambil terus menuntun motornya meninggalkan pelataran rumah Sarnia, Rarendra berkata, “Maaf, Mah. Aku salah. Enggak seharusnya semua ini tetap dilanjutkan. Selama ini aku sudah berusaha adil menjalankan peranku. Namun, biar bagaimanapun Mita jauh lebih butuh aku. Dan aku benar-benar sayang Mita. Mita istriku yang dengan kata lain, aku harus lebih mengutamakan Mita. Sedangkan mengenai hubunganku dan Suci, tentu enggak bisa lebih. Karena meski dulu kami saling mencintai, semenjak Suci bahkan kalian memaksaku menikahi Mita, semuanya sudah berubah.”  Rarendra sengaja menjeda ucapannya untuk menghela napas, mengisi rongga-rongga dalam kehidupannya yang mendadak kehilangan banyak pasokan udara, gara-gara keadaan pelik yang tengah ia hadapi. “Suci telah menjadi kakak iparku semenjak aku menikahi Mita. Benar-benar seperti apa yang Suci harapkan dari awal.” “Sedangkan apa yang kulakukan selama ini, dengan aku yang masih membiarkan Suci menjadi bagian dari hidupku, aku akui itu murni kesalahanku, kenapa aku tetap membiarkan itu terjadi? Kenapa aku tetap merasa harus bertanggung jawab kepada Suci, padahal sebagai istriku, Mita jauh lebih harus diutamakan dari semuanya.” “Dan jika harus berpoligami seperti saran kalian akhir-akhir ini, aku enggak yakin aku bisa adil. Aku harap, kalian bisa menerima keputusanku, apalagi ini merupakan keinginan kalian dari awal.” “Aku enggak bisa terus-menerus menjadi teman dekat atau itu kekasih Suci, sedangkan aku sudah memiliki istri. Aku ingin fokus dengan Mita. Aku ingin fokus dengan keluarga kecil kami. Jadi, mulai sekarang, tolong, jangan salahkan Mita lagi.” “Kamu yang minta, Ci. Dan kalian yang memaksaku menjalani semua ini. Namun, Mita sungguh membuatku jatuh cinta. Mita berbeda, dan Mita selalu memberikan yang terbaik. Mita selalu membuatku bahagia tanpa harus membuatku menjadi orang lain.” Rarendra yang bertutur kelewat sabar tanpa mengurangi sopan santunnya, sampai agak membungkuk kepada Sarnia, sebelum berlalu dari sana. Kepergian Rarendra yang tetap pamit dengan sopan, disusul dengan kepergian Suci yang masuk ke dalam rumah. Suci berlari kencang layaknya kedatangannya ketika mendengar suara motor Rarendra, terparkir di depan teras rumah beberapa saat lalu.  Sarnia gamang, tak kuasa menerima kenyataan. Suci putrinya yang begitu teladan jelas terluka sangat dalam. Bergegas ia masuk rumah dan tak lupa mengunci pintunya. “Ci …?” “Sudah, Mah … jangan dibahas lagi.” “Tapi, Ci? Kamu dan Rendra saling mencintai, dan Sasmita harus tahu, apalagi Sasmita sudah membuatmu harus mengalah dari awal.” “Tapi Rendra sudah memilih, Mah. Dan apa yang Rarendra katakan memang benar. Kesalahan memang bermula karena aku. Aku yang membuat semua ini terjadi, meski jujur, hingga detik ini, bahkan sampai kapan pun, aku tetap sangat mencintai Rarendra.” “Semuanya akan berubah, jika kita menceritakan semuanya kepada Sasmita. Apalagi dari awal, yang Rarendra lamar itu kamu, bukan Sasmita!” “Tapi Rendra benar-benar sudah memilih bahkan mencintai Mita, Mah. Tadi Mamah dengar sendiri, kan …?” Suci terisak-isak di balik pintu kamarnya  ia kunci.  “Nanti Mamah bantu buat bahas ini ke Sasmita. Sasmita harus mau apalagi biar bagaimanapun, dia juga salah.” Tak seperti biasa, kali ini Suci sungguh ingin sendiri tanpa orang lain bahkan Sarnia sang mamah, dan selalu menjadi temannya berbagi pikiran. Rarendra, semua yang pria itu katakan beberapa saat lalu sudah jelas. Rarendra memilih Sasmita. Rarendra mencintai Sasmita tanpa mau memiliki hubungan lain bahkan dengan Suci. Rarendra telah berubah. Rarendra yang sekarang bukanlah Rarendra yang dulu dan akan selalu berusaha menjaga perasaan Suci. Rarendra yang sekarang hanya menginginkan Sasmita tanpa yang lain. “Untuk aku yang begitu rapuh, bersabarlah. Kamu harus semakin bersabar, karena semuanya akan indah pada waktunya ….” Suci terpejam pasrah mengikuti bisikan-bisikan hatinya yang perlahan sedikit menorehkan rasa tenang, mengajaknya untuk berdamai dengan kenyataan.  “Aku yakin, cepat atau lambat Tuhan akan membukakan pintu hati orang-orang. Tuhan akan membukakan pintu hati Rendra, bahwa akulah wanita yang selama ini tulus mencintainya.” Suci tetap dengan keputusannya. Ia akan tetap mencintai Rarendra dengan keyakinan, semuanya akan indah pada waktunya. Sedangkan Sang Pemilik Kehidupan juga akan menyatukan cintanya dengan Rarendra, secepatnya. Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN